Alasan
Setelah percakapan Luna dengan Ibunya melalui chat tadi, pikiran Luna terbuka dan memilih untuk langsung pulang dan bertemu Jeffin. Luna membuka pintu pagar rumahnya dan ia dapat melihat Jeffin yang sedang duduk di teras rumahnya sambil menatap langit malam. Suara decitan pintu pagar membuah Jeffin mengalihkan atensinya dari indahnya langit malam ke sosok cantik yang ia rindukan, Luna.
Luna semakin mendekat ke arah Jeffin, pria itu pun berdiri dari duduknya dan tersenyum lebar pada Luna.
“Apa kabar, Lun?” Pertanyaan yang terlontar dari bibir Jeffin itu terdengar sangat kaku. Sebab, ia masih merasa atmosfer diantara dirinya dan Luna masih tidak enak.
“Baik,” jawab Luna yang terkesan cuek.
“Kamu udah makan? Kalau belum makan kita makan—”
“Udah. Omongin aja apa yang mau bapak omongin,” ujar Luna yang memotong perkataan Jeffin sebelumnya. Luna sedang malas basa-basi.
Jeffin yang mengerti kalau Luna masih kecewa padanya pun menganggukkan kepalanya. Ia menepuk tempat di sebelahnya. “Duduk dulu, Lun.”
Luna pun menuruti perkataan Jeffin dan duduk di sebelah pria itu.
“Saya minta maaf untuk tindakan saya yang buat kamu terluka—”
“Tapi, saya benar-benar gak ada maksud untuk merendahkan kamu dengan cara itu.” Jeffin terdiam sejenak. Ia menjadi gugup karena aura Luna yang sangat dingin.
“Lalu apa, Pak?”
“Saya kasihan—” belum sempat Jeffin menyelesaikan kalimatnya, Luna pun kembali menyelanya. “Saya gak perlu dikasihani.”
Jeffin sadar, kata-kata yang ia gunakan tidak tepat dan malah membuat semua semakin runyam.
“Lihat? Bapak kasihan sama saya. Bapak menganggap bahwa saya gak kompeten untuk melakukan pekerjaan itu tanpa bapak bantu.” Emosi Luna pun mulai meluap.
“Lun, gak gitu—”
“Terus apa? Jelas sudah bapak barusan bilang kalau bapak kasihan.” Nada suara Luna mulai meninggi. Hal itu membuat Jeffin merutuki mulut bodohnya yang dengan sembarang mengeluarkan kata-kata yang membuat semua semakin runyam.
“Saya rasa pembicaraan kita sudah selesai sampai di sini. Jangan datang ke sini lagi, Pak. Saya gak mau lihat wajah bapak lagi.” Luna berdiri dari duduknya. Jeffin pun dengan cepat menghadang Luna yang bersiap untuk pergi dari sana.
“Luna, maafin saya. Saya janji gak akan lakuin hal seperti ini lagi,”
Luna masih diam dengan wajah tanpa ekspresinya. Membuat Jeffin semakin merasa ketir.
“Tolong beri saya kesempatan sekali lagi. Kalau saya berbuat kesalahan lagi saya yang akan pergi dari kehidupan kamu, Lun,” ujar Jeffin seraya menundukkan kepalanya.
Ucapan Jeffin barusan berhasil membuat Luna membuka suaranya. “Okay.”
Jeffin langsung mendongakkan kepalanya setelah mendengar jawaban mengejutkan dari Luna barusan. “Beneran, Lun?”.
Luna hanya menganggukkan kepalanya. Dengan tiba-tiba Jeffin memeluk Luna. Hal itu membuat Luna tekejut dan juga jantungnya menjadi berdegup kencang.
“Ekhem.. siapa yang bolehin bapak peluk saya?”
“Eh iya, kelepasan.” Jeffin pun melepaskan pelukannya.
“Yaudah bapak boleh pulang,” pinta Luna.
“Yaudah saya pulang, tapi besok pagi saya ke sini lagi buat jemput kamu,” ujar Jeffin. Setelahnya Jeffin langsung pergi dari sana.
Luna masih terdiam di tempatnya. Ia masih menetralkan degup jantungnya.
“Apa gue sakit jantung? Ah tapi gak ada riwayat. Atau jangan-jangan— ah gak mungkin”
Luna pun yang tidak mau memusingkan alasan mengapa jantungnya berdegup kencang pada saat Jeffin memeluknya pun memilih untuk masuk ke dalam rumahnya.
©justdoy_it