Cerita Malam Itu
Selepas menjemput dan mengantarkan Papanya pulang, Narda pergi lagi untuk berkumpul dengan teman-temannya.
“Jian mana?” tanya Narda begitu ia sampai di tempat tongkrongannya namun tak melihat keberadaan Jian.
“Udah pergi daritadi, lo kok lama?” tanya Riko.
Narda meminum kopi yang ia yakini milik Hasbi karena itu adalah selera kopi Hasbi. “Diajak makan dulu tadi sama bokap gue.”
Riko hanya menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian Hasbi datang dengan sepiring gorengan di tangannya. “Lah kok kopi gue tinggal segini? Gak mungkin gelasnya bocor, kan?”
“Gue yang minum,” jawab Narda.
“Kenapa lo gak mesan sendiri?”
“Malas,”
Keadaan pun hening, Riko dan Hasbi sedang sibuk bermain mobile game di ponsel mereka. Sementara Narda hanya diam sambil menatap ke arah kendaraan yang silih berganti berlalu lalang di jalan. Matanya pun menangkap sosok yang ia kenal. Sosok yang tak lain adalah Zeline itu sedang berjalan di trotoar seorang diri. Mata Narda terus mengikuti Zeline. Ia baru sadar bahwa tempat tongkrongannya dan teman-temannya ini tak jauh dari rumah Zeline. Jadi, wajar saja jika ia melihat Zeline di sini.
Narda yang tak tega melihat Zeline berjalan seorang diri pun akhirnya memutuskan untuk menghampirinya. Ia bangkit dari duduknya dan menyempatkan diri untuk menghabiskan kopi Hasbi yang tadi sempat ia minum.
“Gue cabut dulu,” pamit Narda lalu bergegas memakai helm dan menyalakan mesin motornya.
“Narda! Kopi gue,” teriakan Hasbi masih dapat Narda dengar namun ia tidak terlalu memedulikannya. Narda pun melajukan motornya untuk menghampiri Zeline.
Narda men-sejajarkan laju motornya dengan kecepatan berjalan Zeline. Zeline yang menyadari hal itu pun memberhentikan langkahnya. Begitu pula dengan Narda.
“Mau gue antar gak, Kak?” tanya Narda.
Zeline terkekeh. “Gak usah, rumah gue udah dekat. Tapi, kok lo sering banget sih ketemu gue? Lo ngikutin gue?”
“Cuma kebetulan, jangan kepedean,”
Zeline pun terdiam. Ia merasa ucapan candaannya tadi tidak mendapat respon baik dari Narda. Narda pun menyadarinya dan ia merasa bersalah. Narda menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia tidak tahu bagaimana cara meminta maaf.
“Maaf.” Hanya itu yang terlontar dari mulut Narda. Zeline pun tersenyum. “Gapapa, santai. Yaudah gue balik, ya?”
“Gue antar, Kak,”
Zeline pun akhirnya meng-iyakan. Setelah memastikan bahwa Zeline memakai helmnya dan duduk dengan posisi nyaman, Narda mulai melajukan motornya.
“Udah makan?” tanya Narda.
“Hah? Gak kedengeran, Nar,” ujar Zeline dengan sedikit berteriak.
“Udah makan?” Narda pun mengeraskan suaranya.
“Belum,”
“Mau makan dulu? Gue juga lapar,” alibi Narda. Narda berkata demikian agar Zeline mau makan.
“Hmm.. boleh. Gue tahu tempat makan yang enak, mau ke sana gak?”
Narda hanya mengangguk. Zeline pun menunjukkan arah jalannya kepada Narda.
Narda dan Zeline pun sampai di warung sate padang kesukaan Zeline. Keduanya pun berjalan masuk ke dalam warung tersebut. Namun tiba-tiba saja Zeline menghentikan langkahnya. Ia membeku di tempatnya dengan pandangan lurus ke depan. Hal itu membuat Narda yang berada di belakangnya pun kebingungan. Narda pun segera melihat ke arah yang Zeline lihat. Di sana ada Natha dan seorang gadis yang ia asumsikan bahwa gadis itu adalah Bella. Natha dan Bella sedang tertawa bersama. Keduanya tampak sangat bahagia.
Narda pun menarik pelan lengan Zeline. “Gue tiba-tiba mau makan nasgor.” Zeline yang ditarik pun hanya menurut saja.
Tanpa menunggu lama, keduanya pun pergi dari sana untuk menuju penjual nasi goreng. Sepanjang perjalanan Narda selalu melihat ke arah spion untuk memastikan keadaan Zeline.
“Turun, Kak,” pinta Narda.
Zeline pun turun dan melepas helmnya. Lalu ia berjalan lebih dulu. Narda pun mengikutinya. Setelah memesan nasi goreng untuk dirinya dan Zeline, Narda duduk di hadapan Zeline yang masih diam.
“Kelihatan banget, ya?” tanya Zeline tiba-tiba.
Narda hanya menaikkan sebelah alisnya. Zeline menatap Narda. “Tentang gue yang suka sama Natha.”
“Iya,” jawab Narda apa adanya.
“Lucu, ya, gue suka sama sahabat gue sendiri.” Zeline tertawa, menertawakan dirinya sendiri.
“Gak ada yang lucu soal perasaan seseorang,”
“Tapi, harusnya gue sadar kalau akhirnya akan ada dua ending. Bakal happy ending kalau dia juga punya perasaan yang sama dan gue sama dia bisa bersama. Dan bakalan sad ending kalau ternyata cuma friendzone–”
“Dan harusnya tuh gue udah tahu sama resiko yang akan terjadi. Tapi nyatanya gue masih belum bisa terima, gue masih suka sakit hati setiap dengar dia cerita tentang cewek yang dia suka.” Zeline tersenyum miris.
“Yang namanya rasa sakit hati itu wajar, namanya juga menyangkut perasaan,”
Zeline menatap Narda tepat di manik mata pria itu. “Menurut lo, sekarang gue harus apa?”
“Move on,”
Zeline terkekeh. “Gue juga maunya gitu, Nar. Tapi belum bisa.” Zeline menundukkan kepalanya.
Narda bisa melihat bagaimana rapuhnya Zeline yang disebabkan oleh rasa patah hatinya.
“Pelan-pelan, gak usah terburu-buru karena semua butuh proses,”
Malam itu, untuk pertama kalinya Zeline bisa berkeluh kesah dengan orang lain. Yang anehnya orang itu belum lama ia kenal. Tapi Zeline sudah merasa nyaman berkeluh kesah kepada Narda. Ia merasa Narda seperti adik laki-laki yang bisa melindunginya.
justdoy_it