D-Day
Akad nikah Nandra dan Jea diselenggarakan secara tertutup. Hanya keluarga dan teman dekat saja yang hadir. Nandra bahkan tidak mengizinkan satu pun media untuk meliput acara sakral tersebut.
Berbeda dengan acara resepsi yang digelar malam ini di sebuah hotel mewah. Media diizinkan meliput namun tidak terlalu banyak.
Baik Nandra maupun Jea, sudah terlihat sangat lelah karena sudah berdiri berjam-jam untuk menyalami tamu undangan yang hadir.
“Serius ya, lo undang berapa banyak rekan kerja lo sih?” Omel Jea pada Nandra yang berada di sebelahnya.
“Lupa. Ini juga ditambah kenalan alm. Ayah dulu,” jawab Nandra.
Jea yang di sebelahnya hanya bisa merutuki Nandra. Pasalnya, saat ini ia mengenakan heels yang cukup tinggi. Dan itu membuatnya lelah. Bahkan kakinya sudah lecet.
“Kalian mau duluan aja ke kamar?” Tanya bunda Nandra yang menghampiri mereka karena melihat anak dan menantunya yang sudah kelelahan.
“Tamunya nanti gimana bun?” Tanya Jea.
Bunda Nafisya tersenyum. “Gapapa, nanti biar bunda yang urus. Sana duluan aja istirahat.”
Jea pun mengangguk dan segera berjalan mendahului Nandra. Tanpa disangka, Jea tersandung oleh bagian bawah bajunya. Nandra pun dengan sigap meraih lengan Jea dan memeluk pinggang gadis itu.
“Hati-hati,” ujar Nandra.
Jea pun tersadar dan melepaskan tangan Nandra dari lengannya. Wajah Jea memerah karena malu. Ia pun segera berjalan menjauh dari Nandra agar pria itu tidak melihat wajahnya yang memerah.