Hari Pertama
Pagi itu, seorang gadis bernama Naluna Asmadya sedang sibuk memilih pakaian yang akan ia pakai. Pasalnya, hari ini adalah hari pertamanya untuk kembali bekerja setelah sekitar dua tahun lalu. Dua tahun lalu Naluna atau yang akrab disapa dengan Luna itu memilih untuk mengorbankan pekerjaannya karena ia ingin kuliah.
Sekarang Luna sudah memasuki semester lima, baginya sudah cukup waktu yang ia gunakan untuk mengetahui pola kuliahnya dan menyesuaikannya dengan jam kerjanya. Luna mengambil kelas karyawan malam hari agar ia bisa bekerja di pagi harinya.
“Duh.. gue jadi deg-degan lagi nih,” ujarnya sambil mematut dirinya di depan cermin.
Setelah ia merasa cukup dengan penampilannya. Ia segera keluar dari kamarnya dan berpamitan dengan ibunya. Luna pun berjalan menuju stasius kereta. Kali ini ia lebih memilih naik kereta untuk menghemat ongkos. Karena jika ia menggunakan layanan ojek online akan sangat mahal, mengingat kantor Luna yang cukup jauh.
Luna sampai di kantor barunya 15 menit sebelum jam masuk. Ia pun masuk ke ruangannya dan duduk di mejanya. Baru saja Luna mendudukkan dirinya, sudah ada interuksi untuk briefing. Ia pun segera bergabung untuk berkumpul bersama rekannya yang lain.
Tepat pukul 8, Luna memulai pekerjaannya. Ia mulai menelepon nasabah yang terdapat pada data yang sudah diberikan padanya.
Sudah sekitar dua jam Luna menelepon ke banyak nomor, namun hasilnya masih nihil. Belum ada nasabah yang ingin mengajukan pinjaman kembali. Luna tahu pekerjaan seperti ini tidak mudah untuk dijalani, tapi ia harus tetap semangat.
Sayangnya, hingga hari pertamanya usai Luna belum juga mendapatkan customer pertamanya. Ia mengusap wajahnya. Dalam bulan ini ia harus berhasil mendapatkan lima customer. Dan itu bukan hal mudah.
“Ayo Luna, lo harus semangat!” Ia menyemangati dirinya sendiri.
“Gak pulang, Lun?” Tanya Sera, salah satu timnya.
“Eh, ini mau pulang kok. Lo mau pulang juga?”
Sera mengangguk, “Gue udah dijemput juga. Duluan ya, Lun.” Luna pun mengangguk dan tersenyum.
Sepeninggal Sera, Luna pun keluar dari ruangan dan bangunan kantornya. Ia berjalan menuju stasiun kereta. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul 17.15.
“Masih cukup waktunya,” batin Luna.
“Hari ini mungkin gagal, tapi masih ada hari esok. Semoga berhasil!” Luna terus menyemangati dirinya sendiri karena itulah caranya agar tidak menyerah dengan mudah.