Kita
Tak lama setelah mengirimkan pesan pada Zeline, Narda pun sampai di depan rumah Zeline. Narda melihat Zeline sedang berbincang dengan ibunya. Ia pun segera turun dari mobilnya untuk menyapa sekaligus meminta izin kepada ibu Zeline. Setelah selesai, keduanya pun berjalan menuju mobil Narda—lebih tepatnya mobil Leon yang dipinjam oleh Narda. Narda pun membukakan pintu mobil untuk Zeline dan ia melindungi kepala Zeline dengan tangannya agar kepala Zeline tidak terantuk atap mobil. Zeline sudah tidak aneh dengan perlakuan Narda. Zeline berasumsi bahwa Narda adalah pria dengan acts of service sebagai love languagenya.
Tanpa menunggu lama, Narda melajukan mobilnya membelah jalanan yang sore itu tidak terlalu ramai. Narda melirik ke arah Zeline.
“Kenapa, Kak?” Tanya Narda.
Zeline mengernyitkan dahinya. Ia tak mengerti maksud dari pertanyaan Narda barusan.
“Lo abis nangis, kan?”
Zeline cukup terkejut. Bagaimana lelaki itu bisa menyadarinya? Bahkan ibunya yang sedari tadi berbincang dengannya saja tidak menyadari hal itu. Apakah Narda sedetail itu?
“Nggak,” jawab Zeline. Ia pun mengalihkan pandangannya menatap ke luar jendela mobil.
“Lo pembohong yang buruk, Kak. Tapi, kalau gak mau cerita gak masalah,”
Zeline menghembuskan napasnya berat. Ia menatap lurus ke depan. “Iya, gue nangis karena Natha.”
Mendengar nama Natha disebut, Narda menepikan mobilnya. “Dia bilang apa?”
“Ya kayak yang kemarin. Dia bilang kalau dia udah putus sama Bella dan minta gue kasih kesempatan ke dia,” ujar Zeline
“Tapi, gue bilang kalau dia udah telat. Seperti yang lo bilang, gue ini bukan opsi. Dan di satu sisi, gue juga udah menata hati gue dan mencoba buka hati gue buat orang lain,” sambung Zeline.
Narda hanya mengangguk. Tanpa Zeline sadari, Narda tersenyum tipis. Entah kenapa hatinya merasa senang setelah mendengar penuturan Zeline barusan. Ia merasa bahwa ia masih mempunyai kesempatan untuk mengisi hati gadis itu.
“Oh iya, lo mau cerita apa?” Tanya Zeline untuk mengalihkan topik tentang Natha. Ia tidak mau sedih lagi karena mengingatnya.
Narda memandang lurus kedepan. Tangannya meremas kemudi hingga buku-buku tangannya memutih. Wajahnya memerah.
Zeline mengusap tangan Narda. “Are you okay?”
Narda mencoba menstabilkan emosinya. Ia pun mengangguk.
“Ini soal Papa, mungkin lo juga udah tahu kan Papa gue orangnya gimana, Kak?”
Zeline pun mengangguk. Sejak lama ia sudah mengetahui bagaimana sifat Papa Narda dan Natha. Sosok ayah yang suka memaksakan kehendaknya. Sosok ayah yang tidak suka dibantah. Sosok ayah yang jarang ada untuk anak-anaknya. Ia mengetahui itu semua dari Natha. Natha adalah korban dari pemaksaan kehendak beliau. Papanya selalu memaksa Natha untuk masuk ke jurusan Natha sekarang—manajemen. Padahal jurusan impian Natha adalah arsitektur. Hal itu dilakukan beliau karena beliau ingin anak-anaknya meneruskan perusahaan beliau. Natha menurut pada Papanya agar tidak berimbas ke adiknya. Natha melakukan banyak perjanjian kepada Papanya untuk adiknya. Natha adalah sosok yang mengorbankan segalanya hanya untuk adiknya. Natha mengorbankan masuk ke jurusan yang bukan impiannya agar Narda bisa masuk ke jurusan yang ia inginkan. Bahkan Natha berjanji untuk meneruskan bisnis papanya agar Narda bisa bebas memilih pekerjaan yang ia miliki. Namun Natha tak pernah mengatakan seberapa banyak pengorbanannya untuk Narda. Baginya, kebahagiaan Narda yang utama.
“Dia ngelakuin apa, Nar?” Tanya Zeline.
“Terakhir, dia mukul gue di hari di mana gue chat mau ke rumah lo tapi lo bilang lagi capek,”
Zeline terkejut dan seketika merasa bersalah. “Maaf.”
Narda menggelengkan kepalanya. “Bukan salah lo, Kak.”
“Kok bisa dipukul?”
“Udah biasa sih. Setiap gue ngebantah apa yang dia suruh, pasti dia lakuin itu,” jelas Narda
Zeline mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi kiri Narda. Ia mengelusnya lembut. “Sakit, ya?”
Narda menoleh ke arah Zeline. Ia menggelengkan kepalanya.
“Gue minta maaf karena waktu itu gue gak nemuin lo.” Zeline pun menarik tangannya dari pipi Narda. Namun Narda menahannya. “Biarin gini dulu, Kak.” Narda memejamkan matanya. Zeline pun kembali mengelus pipi Narda dengan ibu jarinya.
Nyaman Itu yang dirasakan Narda. Untuk beberapa saat keduanya dalam posisi seperti itu.
“Nar,” panggil Zeline pelan.
Narda membuka matanya. “Hm?”
“Sebenarnya gue mau ngasih tahu sesuatu,”
Keduanya kembali ke tempat masing-masing. Suasana berubah menjadi sedikit tegang.
“Gue mau kasih lo kesempatan,”
Narda mengernyitkan dahinya.
“Soal kita. Soal perasaan lo ke gue, soal pengakuan lo tempo hari,”
“Maksudnya lo mau jadi pacar gue, Kak?”
Zeline mengangguk.
“Yakin? Jangan karena kasihan, Kak,”
“Nggak, ini serius. Gue rasa lo emang udah mulai ngubah persepsi gue tentang cowok lebih muda. Lo dewasa Nar dan ya gue rasa harusnya perasaan itu gak mandang umur,”
“Jadi, kita pacaran?”
“Iya?” Zeline tersenyum malu.
Narda mati-matian menahan rasa senangnya. Ia rasanya ingin teriak namun tidak mungkin. Ia pun ingin memeluk Zeline namun ia takut Zeline tak menyukainya.
“Makasih, Kak. Kalau gitu kita lanjut jalan-jalan, ya?”
Zeline hanya mengangguk. Dua-duanya bukanlah orang yang pandai mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata. Sehingga mereka menyampaikan rasa senang mereka dengan perlakuan. Keduanya pun menghabiskan waktunya bersama dengan pergi ke berbagai tempat.
Justdoy_it