Prioritas dan Penjelasan

Nandra sedang rapat dengan karyawannya, termasuk Sylvia yang notabenenya adalah sekertaris Nandra. Di tengah-tengah rapat, ponsel milik Nandra bergetar bersamaan dengan munculnya sebuah notifikasi pesan masuk dari Jea.

Ia pun membaca pesan yang dikirimkan oleh Jea. Ternyata gadis itu sedang datang bulan dan meminta tolong untuk dibelikan pembalut. Jea memang tidak mengatakan 'pembalut' secara gamblang, namun Nandra cukup paham karena Bundanya sering meminta tolong untuk dibelikan 'itu'.

“Kalian lanjutkan rapatnya, nanti hasil rapatnya email ke saya. Saya harus pergi.” Nandra berdiri dan melangkah untuk keluar dari ruangan rapat.

Namun Sylvia dengan cepat menahan tangan Nandra. “Bapak mau kemana?”

Nandra menghela napasnya. “Saya kan sudah bilang, saya harus pergi. Ada urusan penting.”

“Apa urusannya lebih penting dari rapat ini pak?”

“Jelas! Ini tentang istri saya, dia prioritas bagi saya. Satu hal lagi, kamu hanya sekertaris saya. Jangan melewati batasan kamu.”

Setelah pernyataan tegas Nandra, ia pun langsung keluar dari ruang rapat. Ia tahu Sylvia kesal dengan perkataannya. Namun ia tidak terlalu memikirkannya, yang ada di pikirannya saat ini hanya Jea. Ia khawatir gadis itu sakit perut atau sebagainya. Untuk itu ia berlari menuju parkiran dan langsung memacu kecepatan mobilnya di atas rata-rata.


Jea sedang meringkuk di atas kasurnya sambil memegangi perutnya. Inilah yang ia benci dari datang bulannya, perutnya akan terasa sangat sakit. Keringat pun bercucuran dari dahinya. Ia hanya berharap Nandra akan segera datang.

Seolah terkabul, Jea mendengar suara pintu apartementnya dibuka dan tertutup kembali. Dan tak lama kemudian ia bisa mendengar suara Nandra yang memanggilnya.

“Jea..” Nandra mengetuk pintu kamarnya.

Ia melihat Nandra masuk ke dalam kamarnya dengan wajah khawatir. Ia pun melihat Nandra segera mendekat ke arahnya.

“Je, kamu mau ke rumah sakit?”

Jea hanya menggelengkan kepalanya. Nandra pun menyerahkan kantung plasik yang berisi pembalut. Ada banyak macam pembalut di dalamnya. Jea pun berusaha untuk duduk dan dibantu oleh Nandra.

“Saya gak tau kamu pakai yang mana, jadi saya ambil masing-masing satu.”

“Lo keluar aja, gue bisa sendiri kok. Lagian gak mungkin juga kan lo ngeliat darahnya.”

“Yaudah, saya bikinin kamu teh hangat sama air hangat di botol dulu ya.” Nandra pun segera keluar dari kamar Jea. Sementara Jea masuk ke dalam kamar mandinya.

Nandra membawa secangkir teh hangat di tangan kanannya dan sebotol air hangat di tangan kirinya. Ia masuk ke dalam kamar Jea. Ia melihat Jea sudah berganti pakaian dan sedang memasang seprai baru.

Nandra menaruh teh hangat dan air hangatnya di nakas sebelah ranjang Jea. Ia pun mendekati Jea dan menahan tangan Jea yang terlihat lemas.

“Biar saya aja, kamu minum tehnya dulu. Terus itu botolnya kamu tempelin ke perut buat redain nyerinya.”

Jea yang sedang tidak ada tenaga untuk berdebat pun menuruti perintah Nandra. Jea duduk di sofa yang ada di kamarnya, lalu ia meminum tehnya. Sementara Nandra yang mengambil alih pekerjaan Jea untuk memasang seprai.

Setelah selesai, Nandra berjalan ke arah Jea dan mengambil duduk di sebelah Jea. “Gimana? Udah enakan?”

Jea pun menganggukkan kepalanya. “Kok lo bisa tau sih soal beginian? Pacar lo sering begini ya?”

“Bunda, bunda yang sering begitu. Saya sering lihat bunda lakuin hal itu, jad sedikit banyak saya tahu.”

“Makasih ya,”

Nandra pun mengangguk. Ia pun berdiri dari duduknya. “Saya ke kamar saya, ya? Kamu istirahat aja.”

“Oh iya, soal pesan dari Sylvia. Saya gak tahu kalau dia akan salah kirim begitu. Dia juga cuma sekertaris saya.”

Selepas mengatakan hal tersebut Nandra keluar dari kamar Jea dan masuk ke kamarnya. Sementara Jea kembali ke ranjangnya. Ia merebahkan tubuhnya sambil memikirkan perkataan Nandra barusan.

justdoy_it