Sebuah Momen

image


Tepat pukul 9, Narda sampai di rumah Zeline seperti yang sudah ia janjikan. Narda terkekeh melihat penampilan gadis di hadapannya. Sementara gadis itu hanya mengerutkan dahinya. Narda pun tersenyum dan merapikan rambut gadis itu.

“Kamu gak mandi, ya?” ujar Narda setelah selesai merapikan rambut gadisnya.

Zeline yang awalnya tersipu atas perlakuan pria di hadapannya pun berubah menjadi kesal begitu pria itu melontarkan pertanyaan tersebut.

Zeline meninju pelan lengan Narda. “Enak aja, aku mandi. Aku tuh kesiangan, terus tadi langsung nyiapin sarapan buat kamu. Kamu pasti lupa sarapan, kan?”

Narda menganggukkan kepalanya. Zeline pun menarik lengan pria itu dan mendudukkannya di bangku yang berada di teras rumahnya. Gadis itu membuka kotak makan yang berisi nasi goreng kesukaan Narda.

“Makan dulu,” pinta Zeline.

Narda pun hanya menurut. Ia mulai menyendokkan nasi itu ke dalam mulutnya. Zeline tersenyum puas melihatnya. Setelah tiga tahun pacaran dengan Narda, Zeline sedikit banyaknya mengenal kebiasaan-kebiasaan Narda.

“Udah.” Narda berdiri dari duduknya dan melangkah untuk pergi dari sana. Zeline yang melihatnya pun dengan sigap menahan tangan pria itu dan mendorong bahu pria itu agar duduk kembali di tempatnya tadi.

“Mau kemana?”

“Ya mau pamit sama Mama kamu,”

Zeline meletakkan botol minum di hadapan Narda. “Minum susunya dulu.”

Lagi, Narda menuruti perintah kekasihnya itu. Mungkin bagi sebagian orang yang melihat, ini terlihat kekanakan. Tapi, bagi Narda ini hal yang biasa. Ia pun menghabiskan susu yang ada di botol itu.

“Good boy,” ujar Zeline sembari mengelus pucuk kepala Narda.

“Then, can I get a kiss or at least a hug?” Narda mengedipkan sebelah matanya.

Zeline yang salah tingkah pun langsung berpura-pura membereskan peralatan makan yang digunakan Narda tadi. “Apaan sih? Ayo, nanti kesiangan.”

Narda terkekeh melihat tingkah menggemaskan Zeline. Ia pun berjalan menuju mobilnya.


Narda dan Zeline sudah dalam perjalanan menuju tempat yang hanya Narda yang tahu. Gadis itu menyerahkan semuanya pada Narda. Bahkan, gadis itu sudah tertidur sejak sepuluh menit perjalanan dimulai. Narda sesekali melihat ke arah gadisnya dan tersenyum. Ia sangat bersyukur karena memiliki Zeline sebagai gadisnya. Gadis yang selalu mendukungnya di setiap keadaan. Gadis yang selalu meredam amarahnya. Gadis yang selalu memberikan yang terbaik untuknya.

“Thank you, Kak,” ujar Narda pelan sambil mengelus lembut rambut gadis itu dengan tangan kirinya.


Bertepatan dengan mereka yang sampai di tempat tujuan, Zeline bangun dari tidurnya. Ia pun terpukau dengan pemandangan di hadapannya.

“Suka gak, Kak?” tanya Narda.

Zeline menganggukkan kepalanya. “Udah lama aku gak ke pantai, makasih, ya.”

Narda hanya mengangguk.

Hari itu, mereka menghabiskan waktunya dengan makan dan berjalan-jalan di sekitar pantai. Hingga akhirnya di sinilah mereka, duduk di atas pasir untuk menunggu sunset.

“Udah lama, ya?” tanya Zeline.

“Apa?”

“Kita gak jalan begini. Ya walaupun sebelum-sebelumnya kita selalu nyempatin buat makan bareng dan hal lainnya. Tapi, kali ini aku ngerasa kita benar-benar punya waktu berdua,”

Narda mengangguk setuju. “Selama ini kita dikejar kesibukan masing-masing.”

Zeline mengangguk. Selanjutnya keduanya hanya diam sambil melihat matahari yang mulai tenggelam.

“Kak,” panggil Narda.

Zeline pun menoleh. “Hm?”

“Aku boleh rangkul kakak gak?” tanya Narda.

Zeline tersenyum dan mengangguk. Narda yang mendapat izin pun langsung merangkul Zeline.

Bagi Zeline, sisi Narda yang ini tidak pernah berubah. Pria itu selalu meminta izin ketika ia ingin sesuatu. Padahal jika dipikir lagi, hanya untuk sekadar memeluk atau menggenggam tangan adalah hal yang biasa bagi sepasang kekasih. Namun bagi Narda, untuk mendapatkan semua itu ia harus izin terlebih dahulu karena ia tidak mau membuat pasangannya tidak nyaman dengan itu.

Hari itu, keduanya benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan menciptakan momen yang sudah lama tidak tercipta.

justdoy_it