Sebuah Obrolan Malam

image


Malam itu, langit tampak indah dengan bulan dan bintang yang menghiasinya. Setelah menjelaskan kesalahpahaman kepada Jilan, adik Luna, Jeffin dan Luna memilih untuk duduk di lantai teras rumah Luna sambil memandang langit malam.

“Jadi, bapak ngapain ke sini?” tanya Luna yang memecah keheningan. Jeffin yang ditanya pun tersenyum ke arah langit malam. “Gak ada agenda spesial, hanya ingin merealisasikan proses pendekatan dengan kamu aja.”

Luna hanya menganggukkan kepalanya setelah mendengar jawaban Jeffin barusan.

“Coba liat bintang-bintang itu, Lun,” pinta Jeffin sambil menunjuk ke arah jejeran bintang-bintang indah yang ada di langit malam itu. Luna pun menuruti perkataan Jeffin untuk melihat jejeran bintang itu.

“Terlihat indah, bukan?”

Luna hanya mengangguk. Lagi, Jeffin tersenyum dan berkata, “Tapi, kamu tau gak kalau bintang yang terlihat indah dan mungkin dianggap sempurna itu juga punya kelemahan?”.

Luna hanya diam hingga akhirnya Jeffin berkata, “Dia punya kelemahan, contohnya dia gak akan bisa kita lihat saat adanya matahari.”

“Sama seperti saya, orang mungkin menganggap saya sempurna—” Jeffin menjeda ucapannya sejenak, kemudian melanjutkannya, “Saya kaya, tampan, karir saya juga bagus. Tapi, mereka gak tahu kalau saya punya banyak kekurangan.”

“Emangnya kekurangan bapak apa?”

“Ada banyak, Lun. Saya juga khawatir kalau kamu masih tetap mau saya dekati atau tidak setelah tau kekurangan saya,”

“Gimana bapak bisa bilang begitu sementara saya aja gak tau kelemahan bapak apa?”

“Karena menurut saya ini bisa membuat orang jauh dari saya,”

“Jangan terlalu overthinking tentang sesuatu yang bahkan belum terjadi, Pak,”

Jeffin terkekeh. “Sulit, saya terlalu takut.” Luna menoleh ke arah Jeffin yang sedang menunduk. Ia memegang bahu pria itu dan membuat pria itu mengangkat kepalanya. Manik mata mereka bertemu.

“Semua orang punya kekurangannya masing-masing. Dan menurut saya, orang yang benar-benar tulus sayang sama bapak akan menerima segala kekurangan itu—”

“Sebaliknya, orang yang memang tidak tulus akan meninggalkan kita hanya karena hal itu. Harusnya bapak bersyukur kalau mereka pergi, artinya mereka bukan orang yang tepat untuk berada di hidup bapak,”

Jeffin diam dan masih setia menatap Luna, hingga akhirnya ia berkata, “Lun, can I hug you?”. Luna yang merasa saat ini pria di hadapan itu butuh sebuah pelukan pun langsung melebarkan tangannya, mengisyaratkan jika pria itu boleh memeluknya.

Jeffin yang diberikan izin tersebut pun langsung memeluk Luna dengan erat. Ia meletakkan kepalanya di bahu Luna, sementara Luna entah dorongan dari mana, ia mengusap punggung pria itu. Ia mencoba menenangkan pria itu.

“Jangan khawatir, Pak. Suatu hari nanti akan ada sosok yang akan menerima dan melengkapi kekurangan bapak itu,”

Jeffin melepaskan pelukannya. “Apakah orang itu kamu, Lun?”. Luna mengangkat bahunya. “Gak tau, saya gak bisa prediksi apa yang akan terjadi kedepannya.” Jeffin tersenyum mendengarnya. “Saya harap itu kamu, Lun.”

Luna pun mengalihkan pandangannya pada jam tangan yang dikenakannya. Jam menunjukkan pukul 23.00 WIB.

“Mending sekarang bapak pulang. Udah jam segini, saya juga mau istirahat,”

“Yah Lunanya balik lagi jadi yang biasa, padahal tadi manis banget,” ujar Jeffin seraya tersenyum. Luna yang mendengarnya pun hanya memutar bola matanya malas.

“Yaudah saya pamit. Ibu kamu mana?”

“Ibu pasti udah tidur jam segini,”

“Kalau gitu sampaikan aja ke ibu kamu. Saya pamit.” Jeffin pun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi dari sana.

Setelah Luna melihat Jeffin dan mobilnya sudah pergi dari rumahnya, ia pun masuk ke dalam rumahnya.

justdoy_it

“Kamu gak perlu takut kalau mereka meninggalkanmu hanya karena kekurangan yang kamu miliki, karena itu artinya mereka bukan orang yang tepat di hidupmu.” — Naluna Asmadya (FKTM AU, 2021)