Sehari Sebelum Keberangkatan

Setelah membaca pesan singkat dari Narda yang menyatakan bahwa pria itu sudah ada di depan rumahnya, Zeline pun dengan malas bangkit dari kasurnya dan berjalan untuk membuka pintu rumahnya. Benar saja, pria itu berdiri tepat di depan pintu rumah Zeline. Narda menyunggingkan senyumnya, membuat matanya membentuk bulan sabit.

“Aku bawa sarapan, Kak.” Narda mengangkat bungkusan yang ia bawa.

“Duduk,” ujar Zeline cuek. Zeline pun berjalan melewati Narda dan duduk di bangku yang berada di teras rumahnya. Narda pun mengikuti Zeline. Narda sadar bahwa Zeline sedang marah padanya perihal kepindahannya ke Bali.

“Kamu marah karena aku pindah atau karena aku gak kasih tahu kamu dulu?” Tanya Narda.

“Opsi kedua. Sebenarnya aku nggak marah, Nar. Aku cuma kesal sekaligus kecewa. Aku merasa kayak nggak dianggap sama kamu,”

Narda meraih tangan Zeline yang berada di atas meja. Ia menggenggam tangan Zeline. “Maaf, aku bukan nggak mau kasih tahu kamu. Tapi, aku cuma bingung harus ngomong gimana. Aku nggak mau kamu sedih.”

Zeline menatap mata pria dihadapannya itu, mencari kebohongan di mata itu. “Tapi, aku lebih sedih kalau tahu dari orang lain gini.”

“Aku tahu, aku minta maaf, ya.” Narda tersenyum lembut dan ibu jarinya mengelus tangan Zeline yang ia genggam.

Zeline pun hanya mengangguk.

“Ayo,” ajak Narda.

Zeline mengernyitkan dahinya. “Kemana?”

“Make some good memories before I go,”

Zeline terdiam, ia tersadar bahwa besok Narda akan berangkat ke Bali.

“Aku malas,” ujar Zeline.

“Ini hari terakhir aku, Kak. Yakin gak mau?”

Zeline mendengus sebal. Ia pun beranjak dari duduknya. “Tunggu, aku mau mandi dulu.”

Narda pun hanya mengangguk.


Narda membawa Zeline ke taman bermain. Mereka menaiki banyak wahana. Hari itu, yang ada dipikiran Narda adalah membuat Zeline tersenyum dan bahagia karena ia tidak tahu kapan lagi ia bisa bertemu secara langsung dengan Zeline. Yang jelas tidak dalam waktu dekat, sebab ia harus merintis perusahaan itu sampai sukses, yang artinya akan butuh waktu bertahun-tahun.

Matahari pun mulai menghilang. Mereka berdua pun memutuskan untuk makan malam di sebuah warung makan terdekat.

“Makasih, Nar,” ujar Zeline.

Narda menoleh ke arah Zeline dan tersenyum. Zeline hanya diam dan menatap Narda. Ia menatap setiap detail wajah Narda. Ia ingin merekam senyum manis Narda, mata indah Narda, dan semua yang ada pada diri Narda di dalam ingatannya.

“Hari ini senang gak, kak?” tanya Narda.

Zeline hanya mengangguk dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Nyatanya, hari ini tidak semenyenangkan itu karena ia sadar ketika hari ini berakhir artinya ia harus melepas Narda untuk pergi esok hari. Dan ia tidak tahu pasti kapan akan bertemu dengan Narda lagi. Jika ia boleh jujur, ia tidak rela jika harus berjauhan dengan Narda. Namun, ia juga tak bisa bersikap egois untuk menahan Narda dan menghancurkan mimpi Narda.

“Kenapa?” tanya Narda yang berhasil membuyarkan lamunan Zeline.

Zeline tersenyum. “Gapapa.”

“Bohong. Kamu pasti lagi mikirin soal aku pindah, kan?”

Zeline hanya diam. Narda berhasil menebak tepat pada sasaran.

“Kak, jangan khawatir. Aku bakal nelepon atau bahkan video call kamu,”

Zeline mengangguk. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa perkataan Narda bukan hanya sekedar penenang. Ia tahu Narda adalah tipe orang yang memegang setiap perkataannya.

justdoy_it