justdoyit

Setelah membaca pesan singkat dari Narda yang menyatakan bahwa pria itu sudah ada di depan rumahnya, Zeline pun dengan malas bangkit dari kasurnya dan berjalan untuk membuka pintu rumahnya. Benar saja, pria itu berdiri tepat di depan pintu rumah Zeline. Narda menyunggingkan senyumnya, membuat matanya membentuk bulan sabit.

“Aku bawa sarapan, Kak.” Narda mengangkat bungkusan yang ia bawa.

“Duduk,” ujar Zeline cuek. Zeline pun berjalan melewati Narda dan duduk di bangku yang berada di teras rumahnya. Narda pun mengikuti Zeline. Narda sadar bahwa Zeline sedang marah padanya perihal kepindahannya ke Bali.

“Kamu marah karena aku pindah atau karena aku gak kasih tahu kamu dulu?” Tanya Narda.

“Opsi kedua. Sebenarnya aku nggak marah, Nar. Aku cuma kesal sekaligus kecewa. Aku merasa kayak nggak dianggap sama kamu,”

Narda meraih tangan Zeline yang berada di atas meja. Ia menggenggam tangan Zeline. “Maaf, aku bukan nggak mau kasih tahu kamu. Tapi, aku cuma bingung harus ngomong gimana. Aku nggak mau kamu sedih.”

Zeline menatap mata pria dihadapannya itu, mencari kebohongan di mata itu. “Tapi, aku lebih sedih kalau tahu dari orang lain gini.”

“Aku tahu, aku minta maaf, ya.” Narda tersenyum lembut dan ibu jarinya mengelus tangan Zeline yang ia genggam.

Zeline pun hanya mengangguk.

“Ayo,” ajak Narda.

Zeline mengernyitkan dahinya. “Kemana?”

“Make some good memories before I go,”

Zeline terdiam, ia tersadar bahwa besok Narda akan berangkat ke Bali.

“Aku malas,” ujar Zeline.

“Ini hari terakhir aku, Kak. Yakin gak mau?”

Zeline mendengus sebal. Ia pun beranjak dari duduknya. “Tunggu, aku mau mandi dulu.”

Narda pun hanya mengangguk.


Narda membawa Zeline ke taman bermain. Mereka menaiki banyak wahana. Hari itu, yang ada dipikiran Narda adalah membuat Zeline tersenyum dan bahagia karena ia tidak tahu kapan lagi ia bisa bertemu secara langsung dengan Zeline. Yang jelas tidak dalam waktu dekat, sebab ia harus merintis perusahaan itu sampai sukses, yang artinya akan butuh waktu bertahun-tahun.

Matahari pun mulai menghilang. Mereka berdua pun memutuskan untuk makan malam di sebuah warung makan terdekat.

“Makasih, Nar,” ujar Zeline.

Narda menoleh ke arah Zeline dan tersenyum. Zeline hanya diam dan menatap Narda. Ia menatap setiap detail wajah Narda. Ia ingin merekam senyum manis Narda, mata indah Narda, dan semua yang ada pada diri Narda di dalam ingatannya.

“Hari ini senang gak, kak?” tanya Narda.

Zeline hanya mengangguk dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Nyatanya, hari ini tidak semenyenangkan itu karena ia sadar ketika hari ini berakhir artinya ia harus melepas Narda untuk pergi esok hari. Dan ia tidak tahu pasti kapan akan bertemu dengan Narda lagi. Jika ia boleh jujur, ia tidak rela jika harus berjauhan dengan Narda. Namun, ia juga tak bisa bersikap egois untuk menahan Narda dan menghancurkan mimpi Narda.

“Kenapa?” tanya Narda yang berhasil membuyarkan lamunan Zeline.

Zeline tersenyum. “Gapapa.”

“Bohong. Kamu pasti lagi mikirin soal aku pindah, kan?”

Zeline hanya diam. Narda berhasil menebak tepat pada sasaran.

“Kak, jangan khawatir. Aku bakal nelepon atau bahkan video call kamu,”

Zeline mengangguk. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa perkataan Narda bukan hanya sekedar penenang. Ia tahu Narda adalah tipe orang yang memegang setiap perkataannya.

justdoy_it

image


Tepat pukul 9, Narda sampai di rumah Zeline seperti yang sudah ia janjikan. Narda terkekeh melihat penampilan gadis di hadapannya. Sementara gadis itu hanya mengerutkan dahinya. Narda pun tersenyum dan merapikan rambut gadis itu.

“Kamu gak mandi, ya?” ujar Narda setelah selesai merapikan rambut gadisnya.

Zeline yang awalnya tersipu atas perlakuan pria di hadapannya pun berubah menjadi kesal begitu pria itu melontarkan pertanyaan tersebut.

Zeline meninju pelan lengan Narda. “Enak aja, aku mandi. Aku tuh kesiangan, terus tadi langsung nyiapin sarapan buat kamu. Kamu pasti lupa sarapan, kan?”

Narda menganggukkan kepalanya. Zeline pun menarik lengan pria itu dan mendudukkannya di bangku yang berada di teras rumahnya. Gadis itu membuka kotak makan yang berisi nasi goreng kesukaan Narda.

“Makan dulu,” pinta Zeline.

Narda pun hanya menurut. Ia mulai menyendokkan nasi itu ke dalam mulutnya. Zeline tersenyum puas melihatnya. Setelah tiga tahun pacaran dengan Narda, Zeline sedikit banyaknya mengenal kebiasaan-kebiasaan Narda.

“Udah.” Narda berdiri dari duduknya dan melangkah untuk pergi dari sana. Zeline yang melihatnya pun dengan sigap menahan tangan pria itu dan mendorong bahu pria itu agar duduk kembali di tempatnya tadi.

“Mau kemana?”

“Ya mau pamit sama Mama kamu,”

Zeline meletakkan botol minum di hadapan Narda. “Minum susunya dulu.”

Lagi, Narda menuruti perintah kekasihnya itu. Mungkin bagi sebagian orang yang melihat, ini terlihat kekanakan. Tapi, bagi Narda ini hal yang biasa. Ia pun menghabiskan susu yang ada di botol itu.

“Good boy,” ujar Zeline sembari mengelus pucuk kepala Narda.

“Then, can I get a kiss or at least a hug?” Narda mengedipkan sebelah matanya.

Zeline yang salah tingkah pun langsung berpura-pura membereskan peralatan makan yang digunakan Narda tadi. “Apaan sih? Ayo, nanti kesiangan.”

Narda terkekeh melihat tingkah menggemaskan Zeline. Ia pun berjalan menuju mobilnya.


Narda dan Zeline sudah dalam perjalanan menuju tempat yang hanya Narda yang tahu. Gadis itu menyerahkan semuanya pada Narda. Bahkan, gadis itu sudah tertidur sejak sepuluh menit perjalanan dimulai. Narda sesekali melihat ke arah gadisnya dan tersenyum. Ia sangat bersyukur karena memiliki Zeline sebagai gadisnya. Gadis yang selalu mendukungnya di setiap keadaan. Gadis yang selalu meredam amarahnya. Gadis yang selalu memberikan yang terbaik untuknya.

“Thank you, Kak,” ujar Narda pelan sambil mengelus lembut rambut gadis itu dengan tangan kirinya.


Bertepatan dengan mereka yang sampai di tempat tujuan, Zeline bangun dari tidurnya. Ia pun terpukau dengan pemandangan di hadapannya.

“Suka gak, Kak?” tanya Narda.

Zeline menganggukkan kepalanya. “Udah lama aku gak ke pantai, makasih, ya.”

Narda hanya mengangguk.

Hari itu, mereka menghabiskan waktunya dengan makan dan berjalan-jalan di sekitar pantai. Hingga akhirnya di sinilah mereka, duduk di atas pasir untuk menunggu sunset.

“Udah lama, ya?” tanya Zeline.

“Apa?”

“Kita gak jalan begini. Ya walaupun sebelum-sebelumnya kita selalu nyempatin buat makan bareng dan hal lainnya. Tapi, kali ini aku ngerasa kita benar-benar punya waktu berdua,”

Narda mengangguk setuju. “Selama ini kita dikejar kesibukan masing-masing.”

Zeline mengangguk. Selanjutnya keduanya hanya diam sambil melihat matahari yang mulai tenggelam.

“Kak,” panggil Narda.

Zeline pun menoleh. “Hm?”

“Aku boleh rangkul kakak gak?” tanya Narda.

Zeline tersenyum dan mengangguk. Narda yang mendapat izin pun langsung merangkul Zeline.

Bagi Zeline, sisi Narda yang ini tidak pernah berubah. Pria itu selalu meminta izin ketika ia ingin sesuatu. Padahal jika dipikir lagi, hanya untuk sekadar memeluk atau menggenggam tangan adalah hal yang biasa bagi sepasang kekasih. Namun bagi Narda, untuk mendapatkan semua itu ia harus izin terlebih dahulu karena ia tidak mau membuat pasangannya tidak nyaman dengan itu.

Hari itu, keduanya benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan menciptakan momen yang sudah lama tidak tercipta.

justdoy_it

Tepat pukul 9, Narda sampai di rumah Zeline sesuai seperti yang sudah ia janjikan Narda terkekeh melihat penampilan gadis di hadapannya. Sementara gadis itu hanya mengerutkan dahinya. Narda pun tersenyum dan merapikan rambut gadis itu.

“Kamu gak mandi, ya?” ujar Narda setelah selesai merapikan rambut gadisnya.

Zeline yang awalnya tersipu atas perlakuan pria di hadapannya pun berubah menjadi kesal begitu pria itu melontarkan pertanyaan tersebut.

Zeline meninju pelan lengan Narda. “Enak aja, aku mandi. Aku tuh kesiangan, terus tadi langsung nyiapin sarapan buat kamu. Kamu pasti lupa sarapan, kan?”

Narda menganggukkan kepalanya. Zeline pun menarik lengan pria itu dan mendudukkannya di bangku yang berada di teras rumahnya. Gadis itu membuka kotak makan yang berisi nasi goreng kesukaan Narda.

“Makan dulu,” pinta Zeline.

Narda pun hanya menurut. Ia mulai menyendokkan nasi itu ke dalam mulutnya. Zeline tersenyum puas melihatnya. Setelah tiga tahun pacaran dengan Narda, Zeline sedikit banyaknya mengenal kebiasaan-kebiasaan Narda.

“Udah.” Narda berdiri dari duduknya dan melangkah untuk pergi dari sana. Zeline yang melihatnya pun dengan sigap menahan tangan pria itu dan mendorong bahu pria itu agar duduk kembali di tempatnya tadi.

“Mau kemana?”

“Ya mau pamit sama Mama kamu,”

Zeline meletakkan botol minum di hadapan Narda. “Minum susunya dulu.”

Lagi, Narda menuruti perintah kekasihnya itu. Mungkin bagi sebagian orang yang melihat, ini terlihat kekanakan. Tapi, bagi Narda ini hal yang biasa. Ia pun menghabiskan susu yang ada di botol itu.

“Good boy,” ujar Zeline sembari mengelus pucuk kepala Narda.

“Then, can I get a kiss or at least a hug?” Narda mengedipkan sebelah matanya.

Zeline yang salah tingkah pun langsung berpura-pura membereskan peralatan makan yang digunakan Narda tadi. “Apaan sih? Ayo, nanti kesiangan.”

Narda terkekeh melihat tingkah menggemaskan Zeline. Ia pun berjalan menuju mobilnya.


Narda dan Zeline sudah dalam perjalanan menuju tempat yang hanya Narda yang tahu. Gadis itu menyerahkan semuanya pada Narda. Bahkan, gadis itu sudah tertidur sejak sepuluh menit perjalanan dimulai. Narda sesekali melihat ke arah gadisnya dan tersenyum. Ia sangat bersyukur karena memiliki Zeline sebagai gadisnya. Gadis yang selalu mendukungnya di setiap keadaan. Gadis yang selalu meredam amarahnya. Gadis yang selalu memberikan yang terbaik untuknya.

“Thank you, Kak,” ujar Narda pelan sambil mengelus lembut rambut gadis itu dengan tangan kirinya.


Bertepatan dengan mereka yang sampai di tempat tujuan, Zeline bangun dari tidurnya. Ia pun terpukau dengan pemandangan di hadapannya.

“Suka gak, Kak?” tanya Narda.

Zeline menganggukkan kepalanya. “Udah lama aku gak ke pantai, makasih, ya.”

Narda hanya mengangguk.

Hari itu, mereka menghabiskan waktunya dengan makan dan berjalan-jalan di sekitar pantai. Hingga akhirnya di sinilah mereka, duduk di atas pasir untuk menunggu sunset.

“Udah lama, ya?” tanya Zeline.

“Apa?”

“Kita gak jalan begini. Ya walaupun sebelum-sebelumnya kita selalu nyempatin buat makan bareng dan hal lainnya. Tapi, kali ini aku ngerasa kita benar-benar punya waktu berdua,”

Narda mengangguk setuju. “Selama ini kita dikejar kesibukan masing-masing.”

Zeline mengangguk. Selanjutnya keduanya hanya diam sambil melihat matahari yang mulai tenggelam.

“Kak,” panggil Narda.

Zeline pun menoleh. “Hm?”

“Aku boleh rangkul kakak gak?” tanya Narda.

Zeline tersenyum dan mengangguk. Narda yang mendapat izin pun langsung merangkul Zeline.

Bagi Zeline, sisi Narda yang ini tidak pernah berubah. Pria itu selalu meminta izin ketika ia ingin sesuatu. Padahal jika dipikir lagi, hanya untuk sekadar memeluk atau menggenggam tangan. Namun bagi Narda, untuk mendapatkan semua itu ia harus izin terlebih dahulu karena ia tidak mau pasangannya tidak nyaman dengan itu.

Keduanya menghabiskan hari itu dengan menciptakan momen.

justdoy_it

Tepat pukul 9, Narda sampai di rumah Zeline sesuai seperti yang sudah ia janjikan Narda terkekeh melihat penampilan gadis di hadapannya. Sementara gadis itu hanya mengerutkan dahinya. Narda pun tersenyum dan merapikan rambut gadis itu.

“Kamu gak mandi, ya?” ujar Narda setelah selesai merapikan rambut gadisnya.

Zeline yang awalnya tersipu atas perlakuan pria di hadapannya pun berubah menjadi kesal begitu pria itu melontarkan pertanyaan tersebut.

Zeline meninju pelan lengan Narda. “Enak aja, aku mandi. Aku tuh kesiangan, terus tadi langsung nyiapin sarapan buat kamu. Kamu pasti lupa sarapan, kan?”

Narda menganggukkan kepalanya. Zeline pun menarik lengan pria itu dan mendudukkannya di bangku yang berada di teras rumahnya. Gadis itu membuka kotak makan yang berisi nasi goreng kesukaan Narda.

“Makan dulu,” pinta Zeline.

Narda pun hanya menurut. Ia mulai menyendokkan nasi itu ke dalam mulutnya. Zeline tersenyum puas melihatnya. Setelah tiga tahun pacaran dengan Narda, Zeline sedikit banyaknya mengenal kebiasaan-kebiasaan Narda.

“Udah.” Narda berdiri dari duduknya dan melangkah untuk pergi dari sana. Zeline yang melihatnya pun dengan sigap menahan tangan pria itu dan mendorong bahu pria itu agar duduk kembali di tempatnya tadi.

“Mau kemana?”

“Ya mau pamit sama Mama kamu,”

Zeline meletakkan botol minum di hadapan Narda. “Minum susunya dulu.”

Lagi, Narda menuruti perintah kekasihnya itu. Mungkin bagi sebagian orang yang melihat, ini terlihat kekanakan. Tapi, bagi Narda ini hal yang biasa. Ia pun menghabiskan susu yang ada di botol itu.

“Good boy,” ujar Zeline sembari mengelus pucuk kepala Narda.

“Then, can I get a kiss or at least a hug?” Narda mengedipkan sebelah matanya.

Zeline yang salah tingkah pun langsung berpura-pura membereskan peralatan makan yang digunakan Narda tadi. “Apaan sih? Ayo, nanti kesiangan.”

Narda terkekeh melihat tingkah menggemaskan Zeline. Ia pun berjalan menuju mobilnya.


Narda dan Zeline sudah dalam perjalanan menuju tempat yang hanya Narda yang tahu. Gadis itu menyerahkan semuanya pada Narda. Bahkan, gadis itu sudah tertidur sejak sepuluh menit perjalanan dimulai. Narda sesekali melihat ke arah gadisnya dan tersenyum. Ia sangat bersyukur karena memiliki Zeline sebagai gadisnya. Gadis yang selalu mendukungnya di setiap keadaan. Gadis yang selalu meredam amarahnya. Gadis yang selalu memberikan yang terbaik untuknya.

“Thank you, Kak,” ujar Narda pelan sambil mengelus lembut rambut gadis itu dengan tangan kirinya.


Bertepatan dengan mereka yang sampai di tempat tujuan, Zeline bangun dari tidurnya. Ia pun terpukau dengan pemandangan di hadapannya.

“Suka gak, Kak?” tanya Narda.

Zeline menganggukkan kepalanya. “Udah lama aku gak ke pantai, makasih, ya.”

Narda hanya mengangguk.

Hari itu, mereka menghabiskan waktunya dengan makan dan berjalan-jalan di sekitar pantai. Hingga akhirnya di sinilah mereka, duduk di atas pasir untuk menunggu sunset.

“Udah lama, ya?” tanya Zeline.

“Apa?”

“Kita gak jalan begini. Ya walaupun sebelum-sebelumnya kita selalu nyempatin buat makan bareng dan hal lainnya. Tapi, kali ini aku ngerasa kita benar-benar punya waktu berdua,”

Narda mengangguk setuju. “Selama ini kita dikejar kesibukan masing-masing.”

Zeline mengangguk. Selanjutnya keduanya hanya diam sambil melihat matahari yang mulai tenggelam.

“Kak,” panggil Narda.

Zeline pun menoleh. “Hm?”

“Aku boleh rangkul kakak gak?” tanya Narda.

Zeline tersenyum dan mengangguk. Narda yang mendapat izin pun langsung merangkul Zeline.

Bagi Zeline, sisi Narda yang initidak pernah berubah. Pria itu selalu meminta izin ketika ia igin sesuatu. Padahal jika dipikir lagi, hanya untuk sek

Tepat pukul 9, Narda sampai di rumah Zeline sesuai seperti yang sudah ia janjikan Narda terkekeh melihat penampilan gadis di hadapannya. Sementara gadis itu hanya mengerutkan dahinya. Narda pun tersenyum dan merapikan rambut gadis itu.

“Kamu gak mandi, ya?” ujar Narda setelah selesai merapikan rambut gadisnya.

Zeline yang awalnya tersipu atas perlakuan pria di hadapannya pun berubah menjadi kesal begitu pria itu melontarkan pertanyaan tersebut.

Zeline meninju pelan lengan Narda. “Enak aja, aku mandi. Aku tuh kesiangan, terus tadi langsung nyiapin sarapan buat kamu. Kamu pasti lupa sarapan, kan?”

Narda menganggukkan kepalanya. Zeline pun menarik lengan pria itu dan mendudukkannya di bangku yang berada di teras rumahnya. Gadis itu membuka kotak makan yang berisi nasi goreng kesukaan Narda.

“Makan dulu,” pinta Zeline.

Narda pun hanya menurut. Ia mulai menyendokkan nasi itu ke dalam mulutnya. Zeline tersenyum puas melihatnya. Setelah tiga tahun pacaran dengan Narda, Zeline sedikit banyaknya mengenal kebiasaan-kebiasaan Narda.

“Udah.” Narda berdiri dari duduknya dan melangkah untuk pergi dari sana. Zeline yang melihatnya pun dengan sigap menahan tangan pria itu dan mendorong bahu pria itu agar duduk kembali di tempatnya tadi.

“Mau kemana?”

“Ya mau pamit sama Mama kamu,”

Zeline meletakkan botol minum di hadapan Narda. “Minum susunya dulu.”

Lagi, Narda menuruti perintah kekasihnya itu. Mungkin bagi sebagian orang yang melihat, ini terlihat kekanakan. Tapi, bagi Narda ini hal yang biasa. Ia pun menghabiskan susu yang ada di botol itu.

“Good boy,” ujar Zeline sembari mengelus pucuk kepala Narda.

“Then, can I get a kiss or at least a hug?” Narda mengedipkan sebelah matanya.

Zeline yang salah tingkah pun langsung berpura-pura membereskan peralatan makan yang digunakan Narda tadi. “Apaan sih? Ayo, nanti kesiangan.”

Narda terkekeh melihat tingkah menggemaskan Zeline. Ia pun berjalan menuju mobilnya.


Narda dan Zeline sudah dalam perjalanan menuju tempat yang hanya Narda yang tahu. Gadis itu menyerahkan semuanya pada Narda. Bahkan, gadis itu sudah tertidur sejak sepuluh menit perjalanan dimulai. Narda sesekali melihat ke arah gadisnya dan tersenyum. Ia sangat bersyukur karena memiliki Zeline sebagai gadisnya. Gadis yang selalu mendukungnya di setiap keadaan. Gadis yang selalu meredam amarahnya. Gadis yang selalu memberikan yang terbaik untuknya.

“Thank you, Kak,” ujar Narda pelan sambil mengelus lembut rambut gadis itu dengan tangan kirinya.


Bertepatan dengan mereka yang sampai di tempat tujuan, Zeline bangun dari tidurnya. Ia pun terpukau dengan pemandangan di hadapannya.

“Suka gak, Kak?” tanya Narda.

Zeline menganggukkan kepalanya. “Udah lama aku gak ke pantai, makasih, ya.”

Narda hanya mengangguk.

Hari itu, mereka menghabiskan waktunya dengan makan dan berjalan-jalan di sekitar pantai. Hingga akhirnya di sinilah mereka, duduk di atas pasir untuk menunggu sunset.

“Udah lama, ya?” tanya Zeline.

“Apa?”

“Kita gak jalan begini. Ya walaupun sebelum-sebelumnya kita selalu nyempatin buat makan bareng dan hal lainnya. Tapi, kali ini aku ngerasa kita benar-benar punya waktu berdua,”

Narda mengangguk setuju. “Selama ini kita dikejar kesibukan masing-masing.”

Zeline mengangguk. Selanjutnya keduanya hanya diam sambil melihat matahari yang mulai tenggelam.

“Kak,” panggil Narda.

Zeline pun menoleh. “Hm?”

“Aku boleh rangkul kakak gak?” tanya Narda.

Zeline tersenyum dan mengangguk. Narda yang mendapat izin pun langsung merangkul Zeline.

Bagi Zeline, sisi Narda yang initidak pernah berubah. Pria itu selalu meminta izin ketika ia igin sesuatu. Padahal jika dipikir lagi, hanya untuk sek

Tepat pukul 9, Narda sampai di rumah Zeline sesuai seperti yang sudah ia janjikan Narda terkekeh melihat penampilan gadis di hadapannya. Sementara gadis itu hanya mengerutkan dahinya. Narda pun tersenyum dan merapikan rambut gadis itu.

“Kamu gak mandi, ya?” ujar Narda setelah selesai merapikan rambut gadisnya.

Zeline yang awalnya tersipu atas perlakuan pria di hadapannya pun berubah menjadi kesal begitu pria itu melontarkan pertanyaan tersebut.

Zeline meninju pelan lengan Narda. “Enak aja, aku mandi. Aku tuh kesiangan, terus tadi langsung nyiapin sarapan buat kamu. Kamu pasti lupa sarapan, kan?”

Narda menganggukkan kepalanya. Zeline pun menarik lengan pria itu dan mendudukkannya di bangku yang berada di teras rumahnya. Gadis itu membuka kotak makan yang berisi nasi goreng kesukaan Narda.

“Makan dulu,” pinta Zeline.

Narda pun hanya menurut. Ia mulai menyendokkan nasi itu ke dalam mulutnya. Zeline tersenyum puas melihatnya. Setelah tiga tahun pacaran dengan Narda, Zeline sedikit banyaknya mengenal kebiasaan-kebiasaan Narda.

“Udah.” Narda berdiri dari duduknya dan melangkah untuk pergi dari sana. Zeline yang melihatnya pun dengan sigap menahan tangan pria itu dan mendorong bahu pria itu agar duduk kembali di tempatnya tadi.

“Mau kemana?”

“Ya mau pamit sama Mama kamu,”

Zeline meletakkan botol minum di hadapan Narda. “Minum susunya dulu.”

Lagi, Narda menuruti perintah kekasihnya itu. Mungkin bagi sebagian orang yang melihat, ini terlihat kekanakan. Tapi, bagi Narda ini hal yang biasa. Ia pun menghabiskan susu yang ada di botol itu.

“Good boy,” ujar Zeline sembari mengelus pucuk kepala Narda.

“Then, can I get a kiss or at least a hug?” Narda mengedipkan sebelah matanya.

Zeline yang salah tingkah pun langsung berpura-pura membereskan peralatan makan yang digunakan Narda tadi. “Apaan sih? Ayo, nanti kesiangan.”

Narda terkekeh melihat tingkah menggemaskan Zeline. Ia pun berjalan menuju mobilnya.


Narda dan Zeline sudah dalam perjalanan menuju tempat yang hanya Narda yang tahu. Gadis itu menyerahkan semuanya pada Narda. Bahkan, gadis itu sudah tertidur sejak sepuluh menit perjalanan dimulai. Narda sesekali melihat ke arah gadisnya dan tersenyum. Ia sangat bersyukur karena memiliki Zeline sebagai gadisnya. Gadis yang selalu mendukungnya di setiap keadaan. Gadis yang selalu meredam amarahnya. Gadis yang selalu memberikan yang terbaik untuknya.

“Thank you, Kak,” ujar Narda pelan sambil mengelus lembut rambut gadis itu dengan tangan kirinya.


Bertepatan dengan mereka yang sampai di tempat tujuan, Zeline bangun dari tidurnya. Ia pun terpukau dengan pemandangan di hadapannya.

“Suka gak, Kak?” tanya Narda.

Zeline menganggukkan kepalanya. “Udah lama aku gak ke pantai, makasih, ya.”

Narda hanya mengangguk.

Hari itu, mereka menghabiskan waktunya dengan makan dan berjalan-jalan di sekitar pantai. Hingga akhirnya di sinilah mereka, duduk di atas pasir untuk menunggu sunset.

“Udah lama, ya?” tanya Zeline.

“Apa?”

“Kita gak jalan begini. Ya walaupun sebelum-sebelumnya kita selalu nyempatin buat makan bareng dan hal lainnya. Tapi, kali ini aku ngerasa kita benar-benar punya waktu berdua,”

Narda mengangguk setuju. “Selama ini kita dikejar kesibukan masing-masing.”

Zeline mengangguk. Selanjutnya keduanya hanya diam sambil melihat matahari yang mulai tenggelam.

“Kak,” panggil Narda.

Zeline pun menoleh. “Hm?”

“Aku boleh rangkul kakak gak?” tanya Narda.

Zeline tersenyum dan mengangguk. Narda yang mendapat izin pun langsung merangkul Zeline.

Bagi Zeline, sisi Narda yang initidak pernah berubah. Pria itu selalu meminta izin ketika ia igin sesuatu. Padahal jika dipikir lagi, hanya untuk sek

Tepat pukul 9, Narda sampai di rumah Zeline sesuai seperti yang sudah ia janjikan Narda terkekeh melihat penampilan gadis di hadapannya. Sementara gadis itu hanya mengerutkan dahinya. Narda pun tersenyum dan merapikan rambut gadis itu.

“Kamu gak mandi, ya?” ujar Narda setelah selesai merapikan rambut gadisnya.

Zeline yang awalnya tersipu atas perlakuan pria di hadapannya pun berubah menjadi kesal begitu pria itu melontarkan pertanyaan tersebut.

Zeline meninju pelan lengan Narda. “Enak aja, aku mandi. Aku tuh kesiangan, terus tadi langsung nyiapin sarapan buat kamu. Kamu pasti lupa sarapan, kan?”

Narda menganggukkan kepalanya. Zeline pun menarik lengan pria itu dan mendudukkannya di bangku yang berada di teras rumahnya. Gadis itu membuka kotak makan yang berisi nasi goreng kesukaan Narda.

“Makan dulu,” pinta Zeline.

Narda pun hanya menurut. Ia mulai menyendokkan nasi itu ke dalam mulutnya. Zeline tersenyum puas melihatnya. Setelah tiga tahun pacaran dengan Narda, Zeline sedikit banyaknya mengenal kebiasaan-kebiasaan Narda.

“Udah.” Narda berdiri dari duduknya dan melangkah untuk pergi dari sana. Zeline yang melihatnya pun dengan sigap menahan tangan pria itu dan mendorong bahu pria itu agar duduk kembali di tempatnya tadi.

“Mau kemana?”

“Ya mau pamit sama Mama kamu,”

Zeline meletakkan botol minum di hadapan Narda. “Minum susunya dulu.”

Lagi, Narda menuruti perintah kekasihnya itu. Mungkin bagi sebagian orang yang melihat, ini terlihat kekanakan. Tapi, bagi Narda ini hal yang biasa. Ia pun menghabiskan susu yang ada di botol itu.

“Good boy,” ujar Zeline sembari mengelus pucuk kepala Narda.

“Then, can I get a kiss or at least a hug?” Narda mengedipkan sebelah matanya.

Zeline yang salah tingkah pun langsung berpura-pura membereskan peralatan makan yang digunakan Narda tadi. “Apaan sih? Ayo, nanti kesiangan.”

Narda terkekeh melihat tingkah menggemaskan Zeline. Ia pun berjalan menuju mobilnya.


Narda dan Zeline sudah dalam perjalanan menuju tempat yang hanya Narda yang tahu. Gadis itu menyerahkan semuanya pada Narda. Bahkan, gadis itu sudah tertidur sejak sepuluh menit perjalanan dimulai. Narda sesekali melihat ke arah gadisnya dan tersenyum. Ia sangat bersyukur karena memiliki Zeline sebagai gadisnya. Gadis yang selalu mendukungnya di setiap keadaan. Gadis yang selalu meredam amarahnya. Gadis yang selalu memberikan yang terbaik untuknya.

“Thank you, Kak,” ujar Narda pelan sambil mengelus lembut rambut gadis itu dengan tangan kirinya.


Bertepatan dengan mereka yang sampai di tempat tujuan, Zeline bangun dari tidurnya. Ia pun terpukau dengan pemandangan di hadapannya.

“Suka gak, Kak?” tanya Narda.

Zeline menganggukkan kepalanya. “Udah lama aku gak ke pantai, makasih, ya.”

Narda hanya mengangguk.

Hari itu, mereka menghabiskan waktunya dengan makan dan berjalan-jalan di sekitar pantai. Hingga akhirnya di sinilah mereka, duduk di atas pasir untuk menunggu sunset.

“Udah lama, ya?” tanya Zeline.

“Apa?”

“Kita gak jalan begini. Ya walaupun sebelum-sebelumnya kita selalu nyempatin buat makan bareng dan hal lainnya. Tapi, kali ini aku ngerasa kita benar-benar punya waktu berdua,”

Narda mengangguk setuju. “Selama ini kita dikejar kesibukan masing-masing.”

Zeline mengangguk. Selanjutnya keduanya hanya diam sambil melihat matahari yang mulai tenggelam.

“Kak,” panggil Narda.

Zeline pun menoleh. “Hm?”

“Aku boleh rangkul kakak gak?” tanya Narda.

Zeline tersenyum dan mengangguk. Narda yang mendapat izin pun langsung merangkul Zeline.

Bagi Zeline, sisi Narda yang initidak pernah berubah. Pria itu selalu meminta izin ketika ia igin sesuatu. Padahal jika dipikir lagi, hanya untuk sek

Tak lama setelah mengirimkan pesan pada Zeline, Narda pun sampai di depan rumah Zeline. Narda melihat Zeline sedang berbincang dengan ibunya. Ia pun segera turun dari mobilnya untuk menyapa sekaligus meminta izin kepada ibu Zeline. Setelah selesai, keduanya pun berjalan menuju mobil Narda—lebih tepatnya mobil Leon yang dipinjam oleh Narda. Narda pun membukakan pintu mobil untuk Zeline dan ia melindungi kepala Zeline dengan tangannya agar kepala Zeline tidak terantuk atap mobil. Zeline sudah tidak aneh dengan perlakuan Narda. Zeline berasumsi bahwa Narda adalah pria dengan acts of service sebagai love languagenya.

Tanpa menunggu lama, Narda melajukan mobilnya membelah jalanan yang sore itu tidak terlalu ramai. Narda melirik ke arah Zeline.

“Kenapa, Kak?” Tanya Narda.

Zeline mengernyitkan dahinya. Ia tak mengerti maksud dari pertanyaan Narda barusan.

“Lo abis nangis, kan?”

Zeline cukup terkejut. Bagaimana lelaki itu bisa menyadarinya? Bahkan ibunya yang sedari tadi berbincang dengannya saja tidak menyadari hal itu. Apakah Narda sedetail itu?

“Nggak,” jawab Zeline. Ia pun mengalihkan pandangannya menatap ke luar jendela mobil.

“Lo pembohong yang buruk, Kak. Tapi, kalau gak mau cerita gak masalah,”

Zeline menghembuskan napasnya berat. Ia menatap lurus ke depan. “Iya, gue nangis karena Natha.”

Mendengar nama Natha disebut, Narda menepikan mobilnya. “Dia bilang apa?”

“Ya kayak yang kemarin. Dia bilang kalau dia udah putus sama Bella dan minta gue kasih kesempatan ke dia,” ujar Zeline

“Tapi, gue bilang kalau dia udah telat. Seperti yang lo bilang, gue ini bukan opsi. Dan di satu sisi, gue juga udah menata hati gue dan mencoba buka hati gue buat orang lain,” sambung Zeline.

Narda hanya mengangguk. Tanpa Zeline sadari, Narda tersenyum tipis. Entah kenapa hatinya merasa senang setelah mendengar penuturan Zeline barusan. Ia merasa bahwa ia masih mempunyai kesempatan untuk mengisi hati gadis itu.

“Oh iya, lo mau cerita apa?” Tanya Zeline untuk mengalihkan topik tentang Natha. Ia tidak mau sedih lagi karena mengingatnya.

Narda memandang lurus kedepan. Tangannya meremas kemudi hingga buku-buku tangannya memutih. Wajahnya memerah.

Zeline mengusap tangan Narda. “Are you okay?”

Narda mencoba menstabilkan emosinya. Ia pun mengangguk.

“Ini soal Papa, mungkin lo juga udah tahu kan Papa gue orangnya gimana, Kak?”

Zeline pun mengangguk. Sejak lama ia sudah mengetahui bagaimana sifat Papa Narda dan Natha. Sosok ayah yang suka memaksakan kehendaknya. Sosok ayah yang tidak suka dibantah. Sosok ayah yang jarang ada untuk anak-anaknya. Ia mengetahui itu semua dari Natha. Natha adalah korban dari pemaksaan kehendak beliau. Papanya selalu memaksa Natha untuk masuk ke jurusan Natha sekarang—manajemen. Padahal jurusan impian Natha adalah arsitektur. Hal itu dilakukan beliau karena beliau ingin anak-anaknya meneruskan perusahaan beliau. Natha menurut pada Papanya agar tidak berimbas ke adiknya. Natha melakukan banyak perjanjian kepada Papanya untuk adiknya. Natha adalah sosok yang mengorbankan segalanya hanya untuk adiknya. Natha mengorbankan masuk ke jurusan yang bukan impiannya agar Narda bisa masuk ke jurusan yang ia inginkan. Bahkan Natha berjanji untuk meneruskan bisnis papanya agar Narda bisa bebas memilih pekerjaan yang ia miliki. Namun Natha tak pernah mengatakan seberapa banyak pengorbanannya untuk Narda. Baginya, kebahagiaan Narda yang utama.

“Dia ngelakuin apa, Nar?” Tanya Zeline.

“Terakhir, dia mukul gue di hari di mana gue chat mau ke rumah lo tapi lo bilang lagi capek,”

Zeline terkejut dan seketika merasa bersalah. “Maaf.”

Narda menggelengkan kepalanya. “Bukan salah lo, Kak.”

“Kok bisa dipukul?”

“Udah biasa sih. Setiap gue ngebantah apa yang dia suruh, pasti dia lakuin itu,” jelas Narda

Zeline mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi kiri Narda. Ia mengelusnya lembut. “Sakit, ya?”

Narda menoleh ke arah Zeline. Ia menggelengkan kepalanya.

“Gue minta maaf karena waktu itu gue gak nemuin lo.” Zeline pun menarik tangannya dari pipi Narda. Namun Narda menahannya. “Biarin gini dulu, Kak.” Narda memejamkan matanya. Zeline pun kembali mengelus pipi Narda dengan ibu jarinya.

Nyaman Itu yang dirasakan Narda. Untuk beberapa saat keduanya dalam posisi seperti itu.

“Nar,” panggil Zeline pelan.

Narda membuka matanya. “Hm?”

“Sebenarnya gue mau ngasih tahu sesuatu,”

Keduanya kembali ke tempat masing-masing. Suasana berubah menjadi sedikit tegang.

“Gue mau kasih lo kesempatan,”

Narda mengernyitkan dahinya.

“Soal kita. Soal perasaan lo ke gue, soal pengakuan lo tempo hari,”

“Maksudnya lo mau jadi pacar gue, Kak?”

Zeline mengangguk.

“Yakin? Jangan karena kasihan, Kak,”

“Nggak, ini serius. Gue rasa lo emang udah mulai ngubah persepsi gue tentang cowok lebih muda. Lo dewasa Nar dan ya gue rasa harusnya perasaan itu gak mandang umur,”

“Jadi, kita pacaran?”

“Iya?” Zeline tersenyum malu.

Narda mati-matian menahan rasa senangnya. Ia rasanya ingin teriak namun tidak mungkin. Ia pun ingin memeluk Zeline namun ia takut Zeline tak menyukainya.

“Makasih, Kak. Kalau gitu kita lanjut jalan-jalan, ya?”

Zeline hanya mengangguk. Dua-duanya bukanlah orang yang pandai mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata. Sehingga mereka menyampaikan rasa senang mereka dengan perlakuan. Keduanya pun menghabiskan waktunya bersama dengan pergi ke berbagai tempat.

Justdoy_it

Zeline sampai di belakang kampusnya. Ia pun mencari-cari rumah yang dijadikan basecamp oleh Narda dan teman-temannya. Hingga ia melihat sebuah rumah yang pintunya terbuka dan terdengar suara gitar serta nyanyian dari dalam sana. Zeline pun mencuri pandang ke dalam rumah tersebut. Dan benar saja, ia melihat Narda sedang asik bermain gitar dengan teman-temannya.

Zeline tidak ingin kehilangan momen langka pun segera mengambil ponselnya yang berada di sakunya. Ia pun membuka kamera ponselnya dan merekam Narda beserta teman-temannya.

Hingga akhirnya Narda menyadari bahwa ada orang lain di sana. Narda pun menghentikan petikannya pada gitarnya. Hal itu membuat teman-temannya diam dan menoleh ke arah yang sama dengan Narda.

“Kak, Zeline.” Narda bangkit dari duduknya. Ia meletakkan gitarnya di atas sofa dan segera berjalan menghampiri Zeline.

Zeline pun segera menyudahi kegiatan merekamnya. Ia tersenyum kaku. “Hi, Nar.” Ia pun menoleh ke arah teman-teman Narda yang lain dan tersenyum kepada mereka.

Sementara teman-teman Narda masih mematung di sana sambil terus menatap ke arah Zeline.

“Nar, gak mau ngenalin ke kita nih?” Celetuk Hasbi dan diangguki oleh yang lain.

“Sini lo pada,”

Teman-teman Narda pun segera menghampiri Zeline dan Narda.

“Kak, kenalin ini Hasbi, ini Riko, ini Jian. Nah yang dua bocil ini Celan sama Jiro.” Narda memperkenalkan teman-temannya sambil menunjuknya.

“Enak aja bocil, gue udah dewasa, Bang,” sungut Celan tak terima.

Zeline pun tertawa kecil melihatnya. Ia merasa Celan sangat menggemaskan.

“Aku Zeline,” ujar Zeline memperkenalkan dirinya.

“Halo, Kak Zeline,” sapa mereka serempak.

“Kak, nomor WhatsAppnya berapa?” Hasbi memajukan dirinya. Zeline hanya tertawa dan ia meminta ponsel Hasbi agar ia bisa memberikan nomornya. Namun dengan cepat Narda menahannya. “Jangan, Kak. Nanti lo digangguin.”

“Posesif banget lo udah kayak bapaknya aja,” protes Hasbi.

“Kak lo tahu gak kalau lo cewek pertama yang diajak ke sini?” Kali ini Jiro bersuara dan membuat Narda melayangkan tatapan mematikannya pada Jiro. Yang ditatap pun langsung menciut dan berlindung di balik tubuh Jian.

“Kita ngobrol di tempat lain aja, Kak. Mereka berisik,” ajak Narda. Ia pun menarik pelan lengan Zeline untuk membawanya pergi dari sana. Zeline hanya menurut saja.

Narda memberikan helm kepada Zeline dan menyalakan mesin motornya. Zeline pun memakai helmnya dan naik ke motor Narda. Narda pun melajukan motornya menjauh dari sana.


Keduanya sampai di tujuan. Zeline tidak tahu ini di mana. Menurutnya tempat ini indah karena ada danau buatan dan juga dua ayunan di sana. Selain indah, tempat ini tenang. Ia melihat Narda duduk di hamparan rumput hijau dan menghadap ke danau. Zeline pun mengambil duduk di sebelah Narda.

Tidak ada yang membuka suara. Keduanya sedang menikmati apa yang ada di depan mata mereka.

“Kak,” panggil Narda. Zeline pun menoleh ke arah Narda dan berdeham sebagai jawaban dari panggilan Narda.

“Katanya lo gak suka sama cowok lebih muda, ya?”

“Iya, kenapa emang? Dan lo tahu dari mana?”

“Bang Natha,”

Zeline hanya mengangguk. Narda merubah posisi duduknya. Narda duduk menghadap Zeline. Zeline mengernyitkan dahinya.

“Kira-kira gue bisa ngubah itu gak?”

“Apa?”

“Ngubah tentang lo yang gak suka sama cowok lebih muda,”

“Maksudnya gimana?”

“Gue nyaman sama lo, Kak. Gak, gue udah lebih dari sekedar nyaman. Gue udah di tahap suka sama lo, Kak.” Narda menatap Zeline tepat di mata gadis itu. Zeline mengalihkan pandangannya ke arah danau. Zeline terdiam untuk beberapa saat.

“Maaf, Nar. Tapi, gue cuma anggap lo adek. Dan lo tahu kalau gue masih ada perasaan sama abang lo.” Zeline mengalihkan kembali pandangannya pada Narda. Pandangan mereka bertemu.

“Tapi, gue gak butuh kakak lagi. Gue udah punya Bang Natha. Dan untuk urusan perasaan lo sama Bang Natha, mau sampai kapan, Kak? Lo gak capek sakit hati terus?” Narda terus meyakinkan Zeline tanpa gentar.

Zeline tersenyum. “Gue tahu. Tapi, perasaan ini gak mudah buat gue hapus. Natha udah ngisi hati gue hampir tiga tahun.”

“Bukan gak mudah, tapi emang lo yang masih belum ikhlas, Kak,”

Skak kata-kata Narda barusan ada benarnya. Zeline pun sadar itu, dirinya masih belum sepenuhnya ikhlas untuk melepas Natha.

Zeline berdiri dari duduknya. “Gue rasa gak ada yang perlu dibahas lagi. Gue pamit.”

Zeline melangkahkan kakinya menjauh dari sana.

“Gue bakal buktiin kalau cowok lebih muda juga patut lo jadiin pertimbangan, Kak,” teriak Narda karena jarak Zeline dan dirinya sudah mulai jauh.

Zeline mendengarnya, namun ia memilih untuk terus melanjutkan langkahnya.

Justdoy_it

Selepas menjemput dan mengantarkan Papanya pulang, Narda pergi lagi untuk berkumpul dengan teman-temannya.

“Jian mana?” tanya Narda begitu ia sampai di tempat tongkrongannya namun tak melihat keberadaan Jian.

“Udah pergi daritadi, lo kok lama?” tanya Riko.

Narda meminum kopi yang ia yakini milik Hasbi karena itu adalah selera kopi Hasbi. “Diajak makan dulu tadi sama bokap gue.”

Riko hanya menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian Hasbi datang dengan sepiring gorengan di tangannya. “Lah kok kopi gue tinggal segini? Gak mungkin gelasnya bocor, kan?”

“Gue yang minum,” jawab Narda.

“Kenapa lo gak mesan sendiri?”

“Malas,”

Keadaan pun hening, Riko dan Hasbi sedang sibuk bermain mobile game di ponsel mereka. Sementara Narda hanya diam sambil menatap ke arah kendaraan yang silih berganti berlalu lalang di jalan. Matanya pun menangkap sosok yang ia kenal. Sosok yang tak lain adalah Zeline itu sedang berjalan di trotoar seorang diri. Mata Narda terus mengikuti Zeline. Ia baru sadar bahwa tempat tongkrongannya dan teman-temannya ini tak jauh dari rumah Zeline. Jadi, wajar saja jika ia melihat Zeline di sini.

Narda yang tak tega melihat Zeline berjalan seorang diri pun akhirnya memutuskan untuk menghampirinya. Ia bangkit dari duduknya dan menyempatkan diri untuk menghabiskan kopi Hasbi yang tadi sempat ia minum.

“Gue cabut dulu,” pamit Narda lalu bergegas memakai helm dan menyalakan mesin motornya.

“Narda! Kopi gue,” teriakan Hasbi masih dapat Narda dengar namun ia tidak terlalu memedulikannya. Narda pun melajukan motornya untuk menghampiri Zeline.

Narda men-sejajarkan laju motornya dengan kecepatan berjalan Zeline. Zeline yang menyadari hal itu pun memberhentikan langkahnya. Begitu pula dengan Narda.

“Mau gue antar gak, Kak?” tanya Narda.

Zeline terkekeh. “Gak usah, rumah gue udah dekat. Tapi, kok lo sering banget sih ketemu gue? Lo ngikutin gue?”

“Cuma kebetulan, jangan kepedean,”

Zeline pun terdiam. Ia merasa ucapan candaannya tadi tidak mendapat respon baik dari Narda. Narda pun menyadarinya dan ia merasa bersalah. Narda menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia tidak tahu bagaimana cara meminta maaf.

“Maaf.” Hanya itu yang terlontar dari mulut Narda. Zeline pun tersenyum. “Gapapa, santai. Yaudah gue balik, ya?”

“Gue antar, Kak,”

Zeline pun akhirnya meng-iyakan. Setelah memastikan bahwa Zeline memakai helmnya dan duduk dengan posisi nyaman, Narda mulai melajukan motornya.

“Udah makan?” tanya Narda.

“Hah? Gak kedengeran, Nar,” ujar Zeline dengan sedikit berteriak.

“Udah makan?” Narda pun mengeraskan suaranya.

“Belum,”

“Mau makan dulu? Gue juga lapar,” alibi Narda. Narda berkata demikian agar Zeline mau makan.

“Hmm.. boleh. Gue tahu tempat makan yang enak, mau ke sana gak?”

Narda hanya mengangguk. Zeline pun menunjukkan arah jalannya kepada Narda.


Narda dan Zeline pun sampai di warung sate padang kesukaan Zeline. Keduanya pun berjalan masuk ke dalam warung tersebut. Namun tiba-tiba saja Zeline menghentikan langkahnya. Ia membeku di tempatnya dengan pandangan lurus ke depan. Hal itu membuat Narda yang berada di belakangnya pun kebingungan. Narda pun segera melihat ke arah yang Zeline lihat. Di sana ada Natha dan seorang gadis yang ia asumsikan bahwa gadis itu adalah Bella. Natha dan Bella sedang tertawa bersama. Keduanya tampak sangat bahagia.

Narda pun menarik pelan lengan Zeline. “Gue tiba-tiba mau makan nasgor.” Zeline yang ditarik pun hanya menurut saja.

Tanpa menunggu lama, keduanya pun pergi dari sana untuk menuju penjual nasi goreng. Sepanjang perjalanan Narda selalu melihat ke arah spion untuk memastikan keadaan Zeline.

“Turun, Kak,” pinta Narda.

Zeline pun turun dan melepas helmnya. Lalu ia berjalan lebih dulu. Narda pun mengikutinya. Setelah memesan nasi goreng untuk dirinya dan Zeline, Narda duduk di hadapan Zeline yang masih diam.

“Kelihatan banget, ya?” tanya Zeline tiba-tiba.

Narda hanya menaikkan sebelah alisnya. Zeline menatap Narda. “Tentang gue yang suka sama Natha.”

“Iya,” jawab Narda apa adanya.

“Lucu, ya, gue suka sama sahabat gue sendiri.” Zeline tertawa, menertawakan dirinya sendiri.

“Gak ada yang lucu soal perasaan seseorang,”

“Tapi, harusnya gue sadar kalau akhirnya akan ada dua ending. Bakal happy ending kalau dia juga punya perasaan yang sama dan gue sama dia bisa bersama. Dan bakalan sad ending kalau ternyata cuma friendzone–”

“Dan harusnya tuh gue udah tahu sama resiko yang akan terjadi. Tapi nyatanya gue masih belum bisa terima, gue masih suka sakit hati setiap dengar dia cerita tentang cewek yang dia suka.” Zeline tersenyum miris.

“Yang namanya rasa sakit hati itu wajar, namanya juga menyangkut perasaan,”

Zeline menatap Narda tepat di manik mata pria itu. “Menurut lo, sekarang gue harus apa?”

“Move on,”

Zeline terkekeh. “Gue juga maunya gitu, Nar. Tapi belum bisa.” Zeline menundukkan kepalanya.

Narda bisa melihat bagaimana rapuhnya Zeline yang disebabkan oleh rasa patah hatinya.

“Pelan-pelan, gak usah terburu-buru karena semua butuh proses,”

Malam itu, untuk pertama kalinya Zeline bisa berkeluh kesah dengan orang lain. Yang anehnya orang itu belum lama ia kenal. Tapi Zeline sudah merasa nyaman berkeluh kesah kepada Narda. Ia merasa Narda seperti adik laki-laki yang bisa melindunginya.

justdoy_it