justdoyit

image


Pintu coffee shop tempat Zeline part time terbuka dan menampilkan sosok Natha yang sedang tersenyum ke arah Zeline. Natha pun menghampiri Zeline yang berada di balik meja kasir.

“Udah makan belum, Zel?” Tanya Natha.

“Belum sempat,”

“Yaudah, abis ini makan yuk?” Tanya Natha antusias. Zeline hanya mengangguk.

“Selesai jam 8, kan?”

Lagi, Zeline hanya mengangguk. “Lo tunggu di luar aja, gue mau ambil tas dulu.”

Natha pun menuruti ucapan Zeline. Ia melangkahkan kakinya keluar dari sana dan menunggu di atas motornya. Tak butuh waktu lama, Zeline pun keluar. Tanpa mau menunggu lama, Natha pun segera memasangkan helm ke kepala Zeline. Zeline yang diperlakukan seperti itu pun merasa senang hingga ia berusaha keras untuk menahan senyumannya.

Natha pun melajukan motornya menuju warung nasi goreng tempat mereka biasa makan. Kali ini Zeline tidak bisa menahan senyumannya karena ia sangat senang Natha menepati janjinya.

Natha yang ia kenal kembali. Begitulah pikirnya

Natha yang saat itu melihat ke arah spion pun melihat raut wajah sumringah milik Zeline pun tersenyum. Ia mengira bahwa usahanya untuk membuat Zeline tidak marah lagi padanya sudah berhasil.

Sekitar lima belas menit, mereka sampai di warung nasi goreng. Keduanya pun turun dan memesan pesanan yang biasa mereka pesan.

“Gue minta maaf ya soal beberapa hari lalu dan tadi,” ujar Natha.

“Iya,”

“Udah gak marah, kan?” Tanya Natha memastikan. Zeline hanya diam saja. Hal itu membuat Natha takut, ia menatap Zeline sendu.

Tiba-tiba saja Zeline tersenyum lebar. “Iya, mana bisa gue marah lama sama sahabat gue.”

Natha pun lega mendengar penuturan Zeline barusan. Ia pun merangkul pundak Zeline. “Sayang banget deh gue sama lo, Zel.”

Ini bukan kali pertama bagi Zeline untuk mendengar kata 'sayang' dari Natha, namun tetap saja hatinya selalu berdebar setiap kali kata itu keluar dari mulut Natha.

“Zel, gue mau ngomong deh,” ujar Natha sembari mengunyah makanannya.

“Ya ngomong aja,”

“Nanti aja abis makan, biar enak.” Natha tersenyum dan melanjutkan makannya. Dan tanpa ia sadari, ucapannya tersebut membuat Zeline penasaran dan bertanya-tanya.

Tepat setelah selesai makan, Natha pun merubah posisi duduknya agar lebih leluasa menatap Zeline.

“Jadi, gue tuh lagi suka sama cewek. Tapi, gue belum tau sih dia suka juga atau nggak. Dan akhir-akhir ini gue lagi berusaha buat lebih dekat ke dia. Kalau gue nembak dia dalam waktu dekat, menurut lo kecepatan gak?”

Deg

Sesak, itulah yang dirasakan Zeline saat ini. Ia sudah menduga suatu hari nanti Natha akan memberitahunya perihal ini, namun ia tidak menduga akan secepat ini. Rasanya lidah Zeline kelu. Ia kehilangan kata-katanya. Air mata pun rasanya memberontak ingin keluar dari pelupuk matanya, namun dengan mati-matian ia menahannya.

“Zel?” Natha menepuk pundak Zeline pelan.

Zeline pun tersadar. “Hah?”

Hanya itu yang dapat ia katakan. Otaknya tak dapat berpikir lagi.

“Lo kenapa?” Tanya Natha.

“Gue kenapa? Gapapa kok.” Zeline memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Walau nyatanya hatinya sesak.

“Jadi?”

“Ya kalau menurut gue kecepatan sih, soalnya kan baru banget. Mungkin lo harus nunggu lagi, tunjukin keseriusan lo lagi ke dia. Iya, gitu deh.” Zeline tertawa. Tertawa sumbang hingga Natha bingung dibuatnya.

Begitu sesak ia rasa, namun tak dapat menangis. Sehingga ia melampiaskannya dengan sebuah tawa.

“Lo kenapa?”

“Gapapa. Oh iya, gue lupa kalau gue harus balik sekarang soalnya ibu gue pesan sesuatu. Nanti kita lanjut di chat aja, ya?” Tanpa menunggu persetujuan dari Natha, Zeline pun langsung membayar nasi goreng mereka dan pergi dari sana.

Air mata yang sejak tadi ia tahan pun keluar begitu saja membasahi pipinya. Pikirannya kosong, ia tidak tahu kemana ia berjalan. Ia hanya mengikuti kemana pun kakinya membawanya.

justdoy_it

image


Pintu coffee shop tempat Zeline part time terbuka dan menampilkan sosok Natha yang sedang tersenyum ke arah Zeline. Natha pun menghampiri Zeline yang berada di balik meja kasir.

“Udah makan belum, Zel?” Tanya Natha.

“Belum sempat,”

“Yaudah, abis ini makan yuk?” Tanya Natha antusias. Zeline hanya mengangguk.

“Selesai jam 8, kan?”

Lagi, Zeline hanya mengangguk. “Lo tunggu di luar aja, gue mau ambil tas dulu.”

Natha pun menuruti ucapan Zeline. Ia melangkahkan kakinya keluar dari sana dan menunggu di atas motornya. Tak butuh waktu lama, Zeline pun keluar. Tanpa mau menunggu lama, Natha pun segera memasangkan helm ke kepala Zeline. Zeline yang diperlakukan seperti itu pun merasa senang hingga ia berusaha keras untuk menahan senyumannya.

Natha pun melajukan motornya menuju warung nasi goreng tempat mereka biasa makan. Kali ini Zeline tidak bisa menahan senyumannya karena ia sangat senang Natha menepati janjinya.

Natha yang ia kenal kembali. Begitulah pikirnya

Natha yang saat itu melihat ke arah spion pun melihat raut wajah sumringah milik Zeline pun tersenyum. Ia mengira bahwa usahanya untuk membuat Zeline tidak marah lagi padanya sudah berhasil.

Sekitar lima belas menit, mereka sampai di warung nasi goreng. Keduanya pun turun dan memesan pesanan yang biasa mereka pesan.

“Gue minta maaf ya soal beberapa hari lalu dan tadi,” ujar Natha.

“Iya,”

“Udah gak marah, kan?” Tanya Natha memastikan. Zeline hanya diam saja. Hal itu membuat Natha takut, ia menatap Zeline sendu.

Tiba-tiba saja Zeline tersenyum lebar. “Iya, mana bisa gue marah lama sama sahabat gue.”

Natha pun lega mendengar penuturan Zeline barusan. Ia pun merangkul pundak Zeline. “Sayang banget deh gue sama lo, Zel.”

Ini bukan kali pertama bagi Zeline untuk mendengar kata 'sayang' dari Natha, namun tetap saja hatinya selalu berdebar setiap kali kata itu keluar dari mulut Natha.

“Zel, gue mau ngomong deh,” ujar Natha sembari mengunyah makanannya.

“Ya ngomong aja,”

“Nanti aja abis makan, biar enak.” Natha tersenyum dan melanjutkan makannya. Dan tanpa ia sadari, ucapannya tersebut membuat Zeline penasaran dan bertanya-tanya.

Tepat setelah selesai makan, Natha pun merubah posisi duduknya agar lebih leluasa menatap Zeline.

“Jadi, gue tuh lagi suka sama cewek. Tapi, gue belum tau sih dia suka juga atau nggak. Dan akhir-akhir ini gue lagi berusaha buat lebih dekat ke dia. Kalau gue nembak dia dalam waktu dekat, menurut lo kecepatan gak?”

Deg

Sesak, itulah yang dirasakan Zeline saat ini. Ia sudah menduga suatu hari nanti Natha akan memberitahunya perihal ini, namun ia tidak menduga akan secepat ini. Rasanya lidah Zeline kelu. Ia kehilangan kata-katanya. Air mata pun rasanya memberontak ingin keluar dari pelupuk matanya, namun dengan mati-matian ia menahannya.

“Zel?” Natha menepuk pundak Zeline pelan.

Zeline pun tersadar. “Hah?”

Hanya itu yang dapat ia katakan. Otaknya tak dapat berpikir lagi.

“Lo kenapa?” Tanya Natha.

“Gue kenapa? Gapapa kok.” Zeline memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Walau nyatanya hatinya sesak.

“Jadi?”

“Ya kalau menurut gue kecepatan sih, soalnya kan baru banget. Mungkin lo harus nunggu lagi, tunjukin keseriusan lo lagi ke dia. Iya, gitu deh.” Zeline tertawa. Tertawa sumbang hingga Natha bingung dibuatnya.

Begitu sesak ia rasa, namun tak dapat menangis. Sehingga ia melampiaskannya dengan sebuah tawa.

“Lo kenapa?”

“Gapapa. Oh iya, gue lupa kalau gue harus balik sekarang soalnya ibu gue pesan sesuatu. Nanti kita lanjut di chat aja, ya?” Tanpa menunggu persetujuan dari Natha, Zeline pun langsung membayar nasi goreng mereka dan pergi dari sana.

Air mata yang sejak tadi ia tahan pun keluar begitu saja membasahi pipinya. Pikirannya kosong, ia tidak tahu kemana ia berjalan. Ia hanya mengikuti kemana pun kakinya membawanya.

justdoy_it

Pintu coffee shop tempat Zeline part time terbuka dan menampilkan sosok Natha yang sedang tersenyum ke arah Zeline. Natha pun menghampiri Zeline yang berada di balik meja kasir.

“Udah makan belum, Zel?” Tanya Natha.

“Belum sempat,”

“Yaudah, abis ini makan yuk?” Tanya Natha antusias. Zeline hanya mengangguk.

“Selesai jam 8, kan?”

Lagi, Zeline hanya mengangguk. “Lo tunggu di luar aja, gue mau ambil tas dulu.”

Natha pun menuruti ucapan Zeline. Ia melangkahkan kakinya keluar dari sana dan menunggu di atas motornya. Tak butuh waktu lama, Zeline pun keluar. Tanpa mau menunggu lama, Natha pun segera memasangkan helm ke kepala Zeline. Zeline yang diperlakukan seperti itu pun merasa senang hingga ia berusaha keras untuk menahan senyumannya.

Natha pun melajukan motornya menuju warung nasi goreng tempat mereka biasa makan. Kali ini Zeline tidak bisa menahan senyumannya karena ia sangat senang Natha menepati janjinya.

Natha yang ia kenal kembali. Begitulah pikirnya

Natha yang saat itu melihat ke arah spion pun melihat raut wajah sumringah milik Zeline pun tersenyum. Ia mengira bahwa usahanya untuk membuat Zeline tidak marah lagi padanya sudah berhasil.

Sekitar lima belas menit, mereka sampai di warung nasi goreng. Keduanya pun turun dan memesan pesanan yang biasa mereka pesan.

“Gue minta maaf ya soal beberapa hari lalu dan tadi,” ujar Natha.

“Iya,”

“Udah gak marah, kan?” Tanya Natha memastikan. Zeline hanya diam saja. Hal itu membuat Natha takut, ia menatap Zeline sendu.

Tiba-tiba saja Zeline tersenyum lebar. “Iya, mana bisa gue marah lama sama sahabat gue.”

Natha pun lega mendengar penuturan Zeline barusan. Ia pun merangkul pundak Zeline. “Sayang banget deh gue sama lo, Zel.”

Ini bukan kali pertama bagi Zeline untuk mendengar kata 'sayang' dari Natha, namun tetap saja hatinya selalu berdebar setiap kali kata itu keluar dari mulut Natha.

“Zel, gue mau ngomong deh,” ujar Natha sembari mengunyah makanannya.

“Ya ngomong aja,”

“Nanti aja abis makan, biar enak.” Natha tersenyum dan melanjutkan makannya. Dan tanpa ia sadari, ucapannya tersebut membuat Zeline penasaran dan bertanya-tanya.

Tepat setelah selesai makan, Natha pun merubah posisi duduknya agar lebih leluasa menatap Zeline.

“Jadi, gue tuh lagi suka sama cewek. Tapi, gue belum tau sih dia suka juga atau nggak. Dan akhir-akhir ini gue lagi berusaha buat lebih dekat ke dia. Kalau gue nembak dia dalam waktu dekat, menurut lo kecepatan gak?”

Deg

Sesak, itulah yang dirasakan Zeline saat ini. Ia sudah menduga suatu hari nanti Natha akan memberitahunya perihal ini, namun ia tidak menduga akan secepat ini. Rasanya lidah Zeline kelu. Ia kehilangan kata-katanya. Air mata pun rasanya memberontak ingin keluar dari pelupuk matanya, namun dengan mati-matian ia menahannya.

“Zel?” Natha menepuk pundak Zeline pelan.

Zeline pun tersadar. “Hah?”

Hanya itu yang dapat ia katakan. Otaknya tak dapat berpikir lagi.

“Lo kenapa?” Tanya Natha.

“Gue kenapa? Gapapa kok.” Zeline memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Walau nyatanya hatinya sesak.

“Jadi?”

“Ya kalau menurut gue kecepatan sih, soalnya kan baru banget. Mungkin lo harus nunggu lagi, tunjukin keseriusan lo lagi ke dia. Iya, gitu deh.” Zeline tertawa. Tertawa sumbang hingga Natha bingung dibuatnya.

Begitu sesak ia rasa, namun tak dapat menangis. Sehingga ia melampiaskannya dengan sebuah tawa.

“Lo kenapa?”

“Gapapa. Oh iya, gue lupa kalau gue harus balik sekarang soalnya ibu gue pesan sesuatu. Nanti kita lanjut di chat aja, ya?” Tanpa menunggu persetujuan dari Natha, Zeline pun langsung membayar nasi goreng mereka dan pergi dari sana.

Air mata yang sejak tadi ia tahan pun keluar begitu saja membasahi pipinya. Pikirannya kosong, ia tidak tahu kemana ia berjalan. Ia hanya mengikuti kemana pun kakinya membawanya.

justdoy_it

image


Natha masih terus menatap cemas ke arah tribun penonton. Dengan perasaan cemasnya, Natha memulai pertandingan. Sesekali ia melihat ke arah tribun untuk memastikan apakah sosok Zeline sudah berada di sana atau belum. Namun hasilnya nihil. Yogi, teman satu tim sekaligus sahabatnya menegur Natha dan menyuruh Natha untuk fokus. Natha pun meminta maaf dan mulai memfokuskan dirinya pada pertandingan.

Tepat di sepuluh menit terakhir pertandingan, Zeline datang dan duduk di kursi kosong yang tersisa. Ia pun merasa lega karena masih bisa melihat Natha bermain. Setidaknya dia menepati janjinya untuk menonton walau hanya di sepuluh menit terakhir.

Pertandingan pun usai dan dimenangkan oleh tim Natha. Sorakan para penonton pun terdengar. Tak jarang dari mereka meneriaki nama Natha. Natha yang masih berdiri di tengah lapangan pun kembali melihat ke arah penonton untuk mencari sosok Zeline. Ia pun tersenyum begitu melihat sosok yang ia cari sedari tadi sedang duduk di sana sambil mengacungkan jempol kepadanya.

“Eh itu siapanya Natha?” seseorang di sebelah Zeline bersuara.

“Gak tahu, pacarnya mungkin,” jawab teman di sebelahnya.

Gadis yang bertanya tadi tertawa. “Gak mungkinlah.”

“Gue sih gak tahu, tapi mereka tuh keliatan akrab banget,”

Zeline akhirnya menyadari bahwa dua orang gadis itu sedang membicarakan dirinya. Zeline tak terlalu nyaman menjadi pusat perhatian orang, apalagi ditatap dengan tatapan yang membuatnya risih. Ia pun dengan tergesa pergi dari sana. Ia memutuskan untuk menemui Natha yang sudah berada di pinggir lapangan.

Natha melihat Zeline mendekat ke arahnya pun langsung tersenyum. “Lo gapapa, kan?”

As you can see. Gue gapapa, Nat. Oh iya, selamat, ya.” Zeline mengulurkan tangannya ke arah Natha dan disambut oleh Natha.

“Selamat doang nih?” goda Natha.

Zeline terkekeh. “Emang mau apa?”

“Traktir kayaknya enak,”

“Eh tapi gak bisa sekarang, soalnya gue sama anak-anak juga ada acara,” sambung Natha. Zeline pun mengangguk mengerti. “Yaudah, kabarin aja lagi. Kalau gitu gue balik deh, ya?”

“Gue antar, ya?”

“Gak usah, Nat,”

“Udah gapapa, lo tunggu di parkiran aja, gue mau ganti baju sekalian bilang sama yang lain,”

Zeline pun hanya bisa pasrah. Ia melangkahkan kakinya untuk menuju parkiran motor. Sepuluh menit ia menunggu namun Natha tak kunjung datang.

“Gue haus deh, gue tinggal beli minum dulu gapapa kali, ya?” pikir Zeline. Akhirnya ia pun pergi mencari warung untuk membeli air mineral.

Baru saja Zeline ingin masuk, ia sudah melihat Natha keluar dengan motornya. Namun Natha tidak sendiri, ia membonceng seorang gadis yang wajahnya tidak terlihat karena tertutup helm. Gadis itu juga mengenakan jaket milik Natha. Zeline mengenali jaket tersebut karena Natha sering memakainya.

Zeline pun memutuskan untuk kembali ke warung tempatnya membeli minuman dan duduk di sana. Pikirannya penuh dengan berbagai macam pertanyaan.

Kenapa Natha tidak memberitahunya?

Kenapa Natha bersikeras mengantarnya kalau akhirnya begini?

justdoy_it

image


Nandra baru saja tiba di rumah sakit. Ia keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa dan berlari masuk ke dalam rumah sakit untuk menuju ruangan Jea yang sebelumnya sudah diberitahukan oleh bundanya. Begitu sampai di depan pintu ruangan Jea, Nandra pun langsung membukanya dan masuk ke dalamnya.

Pemandangan pertama yang Nandra lihat adalah sosok Jea yang terlihat masih lemah dengan sosok mungil yang berada di dekapan Jea. Nandra pun menghampiri keduanya.

Nandra kagum melihat sosok mungil yang berada di dalam dekapan Jea yang tak lain adalah anaknya.

“Mas, aku belum kasih dia nama. Kamu ada saran?” Tanya Jea.

“Jeandra,” kata itu terlontar begitu saja dari bibir Nandra yang masih sibuk memandangi sosok anaknya yang mungil nan tampan.

“Jeandra? Artinya apa, Mas?”

Nandra pun mengalihkan atensinya dari anaknya. Ia menatap Jea yang sedang kebingungan dengan arti dari nama Jeandra.

“Singkatan dari Jea dan Nandra,” ujar Nandra menjawab kebingungan sang istri.

Jea pun tersenyum mendengarnya. Ia menatap putranya sambil menggumamkan nama Jeandra.

“Berarti namanya Jeandra Mahawira, ya?”

Nandra pun tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Nandra mengambil duduk di sisi ranjang yang kosong. Ia pun memeluk Jea beserta putra mereka.

“Je,” panggil Nandra.

“Hm?” Jea menoleh ke arah Nandra yang saat ini sedang menatapnya.

“Terima kasih sudah melahirkan Jeandra,”

Jea tersenyum. “Kamu gak perlu berterima kasih karena ini memang tugasku.”

“Saya merasa beruntung bisa ketemu kamu, Je. Saya harap Jeandra bisa jadi sosok yang tangguh seperti kamu,”

“Aku juga berharap semoga Jeandra bisa jadi sosok yang lembut dan pekerja keras seperti kamu—Ayahnya. Asal gak ngikutin jejak kebodohan ayahnya aja yang gampang ditipu cewek,”

“Je, astaga! Udah setahun loh? Jangan di bahas lagi,”

“Biarin aja, biar kamu ingat kalau kamu pernah sebodoh itu karena berkali-kali tertipu sama Sylvia,” ujar Jea acuh.

Nandra menghela napasnya. Ia pasrah dengan ucapan Jea yang memang benar adanya. “Iya, saya memang bodoh waktu itu.”

Jea pun tersenyum puas mendengar pengakuan Nandra.

Nandra kembali merengkuh Jea. Ia pun mengecup dahi Jea untuk beberapa saat. “Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya. Tolong untuk tetap bersama saya sampai akhir hayat saya.”

Jea yang terharu mendengarnya pun menitikkan air matanya. Kemudian ia mengangguk sebagai balasan bahwa ia setuju untuk terus bersama-sama dengan Nandra sampai akhir.

justdoy_it

image


Siang itu, Aida sedang berada di taman Rumah Sakit. Ia memandang hamparan rumput dan juga bunga yang ada di sana dengan tatapan kosongnya. Setelah secara tidak sengaja ia mendengar pembicaraan antara Mamanya dan Dokter yang menanganinya, semangat Aida tiba-tiba hilang. Ia takut jika suatu hari ia pergi, siapa yang akan menjaga Mamanya? Mamanya hanya punya Aida seorang karena Papanya sudah meninggal sejak ia duduk di bangku SMP.

“Aida..”

Seseorang memanggilnya dan hal itu membuat Aida tersadar dari lamunannya. Ia pun menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat seseorang yang tak asing sedang berjalan mendekat ke arahnya.

“Ai, Lo...” orang tersebut terkejut melihat Aida yang menggunakan baju Rumah Sakit dan juga kursi roda. Ditambah lagi dengan wajah dan bibir pucat Aida yang menambah keyakinan bahwa Aida adalah pasien di sana.

Aida tersenyum lemah, namun senyumannya tetap indah. “Kak Yogi, kakak ngapain di sini?”

Yogi—yang tak lain adalah salah satu sahabat Danish, pria yang Aida sukai. Yogi pun memaksa dirinya untuk sadar dari keterkejutannya dengan keadaan Aida. Ia penasaran dengan penyakit Aida—gadis yang biasanya ia lihat selalu ceria sampai menjadi sosok lemah seperti yang ada di hadapannya saat ini.

“Iya, gue nemenin nenek check up. Terus tadi iseng nyari angin ke sini,”

Aida hanya menganggukkan kepalanya. Bak seseorang yang bisa membaca pikiran, Aida pun berkata, “Kakak pasti penasaran kenapa Aida di sini dengan keadaan begini, 'kan?”

Yogi pun langsung menganggukkan kepalanya.

“Aida salah satu pasien di sini dan lagi ngejalanin pengobatan,”

“Lo sakit apa, Ai?”

“Leukimia jenis akut, lebih tepatnya Acute Myeloblastic Leukemia (AML),”

Bak disambar petir, Yogi sangat terkejut mendengarnya. Ia memang tidak terlalu paham tentang penyakit kanker darah tersebut, tapi ia tahu pasti bahwa penyakit tersebut adalah penyakit yang berbahaya.

Aida pun mendongakkan kepalanya untuk melihat ke arah wajah Yogi yang saat ini sedang berdiri tepat di samping kursi rodanya. “Tolong jangan kasih tau siapapun, terutama Kak Danish ya, Kak?”

Yogi menatap wajah teduh nan lemah di hadapannya. Rasanya ia ingin menangis, namun itu tak mungkin karena akan membuat Aida merasa lebih buruk. Walaupun belum lama mengenal Aida, namun baginya Aida sudah ia anggap seperti adiknya.

“Kak?”

“Eh? Tapi kenapa? Danish berhak tahu, Ai,”

“Aida gak mau, Kak. Cuma ini permintaan Aida, bisa?”

Yogi pun mengangguk pasrah. “Iya, gue gak akan kasih tau siapa-siapa terutama Danish. Tapi, janji sama gue buat sembuh, Ai.

Aida tersenyum miris mengingat fakta bahwa kemungkinan ia sembuh sangat kecil. “Aida gak bisa janjiin apapun karena semua kuasa Tuhan, Kak. Tapi, Aida akan berusaha untuk bertahan semampu Aida.”

Sakit rasanya Yogi mendengar perkataan yang terdengar pasrah dari Aida karena selama yang ia kenal Aida adalah sosok yang selalu optimis. Gadis yang selalu bisa membangkitkan semangat orang lain.

“Kak, bisa tolong antar Aida ke ruangan Aida?”

Yogi pun mengangguk dan mulai mendorong kursi roda gadis itu untuk masuk ke dalam Rumah Sakit. Tanpa Aida sadari, air mata Yogi jatuh. Pria itu pun segera menghapusnya. Ia mengantar Aida hanya sampai depan ruang rawat Aida, karena kebetulan perawat keluar dari sana dan langsung mengambil alih Aida untuk dibawa masuk. Sebelum pintu ruangan ditutup, Aida sempat tersenyum ke arah Yogi yang membuat hati Yogi semakin sakit melihat senyumannya itu.

justdoy_it

Sore itu, seperti kesepakatan Aida dan Danish, mereka pergi ke taman. Aida terlihat sangat senang karena Danish sudah tidak marah padanya dan ia bisa berhasil mengajak Danish ke taman―lagi. Aida sibuk dengan kegiatannya―mengagumi bunga-bunga indah yang ada di sana. Sementara Danish tersenyum kecil melihat sosok Aida yang tampak bahagia. Bahkan, Danish juga memotret Aida diam-diam.

“Kak, bunga yang ini cantik, ya?” Aida menoleh ke arah Danish dan menunjuk bunga yang ia maksud. Danish yang kala itu sedang memotret Aida pun menjadi gelagapan. Dengan segera ia berpura-pura mengambil foto selfie dirinya.

Aida terkekeh melihatnya. “Aku gak nyangka kalau kakak suka selfie juga.” Danish hanya berdeham sebagai tanda meng-iyakan.

Aida pun kembali berjalan menelusuri taman dan mencari bunga indah selanjutnya untuk menjadi objek fotonya. Danish pun mendorong kursi rodanya sendiri untuk mengikuti Aida.

Hingga akhirnya Aida merasa bahwa dirinya mulai kelelahan namun ia mengabaikan rasa lelah dan sakit yang mendera kepalanya. Ia terus tersenyum mengagumi keindahan bunga-bunga di sana.

Aida pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Danish sambil berkata, “Kak, tolong fotoin Aida sama bunga ini dong!”

IMG-20211119-195704.jpg

Danish terkejut saat melihat darah mengalir dari hidung Aida. “Kamu sakit?”

Aida yang sadar bahwa ia mimisan lagi. Ia pun dengan cepat menyeka darah dari hidungnya menggunakan tangannya. “Gak kok, Kak. Paling ini gara-gara panas aja.”

Ada rasa khawatir dalam diri Danish, namun ia memutuskan untuk meng-iyakan saja alasan Aida. Ia pun mengeluarkan sebotol air mineral dari totebag yang ia bawa. Ia memberikannya kepada Aida. “Minum ini dan duduk di sana.” Danish menunjuk ke arah bangku taman yang tak jauh dari tempat mereka saat ini. Aida pun menerima botol air mineral yang diberikan oleh Danish dan berjalan ke arah bangku yang ditunjuk Danish, lalu duduk di sana.

Danish pun menghampiri Aida, ia melihat wajah Aida yang pucat. “Kita pulang aja.”

“Gak, Kak. Kita belum lama di sini masa udah pulang aja,”

“Kamu lagi sakit, Ai,”

“Aida gak sakit. Aida sehat kok.” Aida mencoba untuk mengembangkan senyumannya meski sakit yang mendera kepalanya sudah semakin parah.

“Cukup! Jangan bohong terus, Ai.” Danish pun mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Kemudian ia menghubungi seseorang. Namun sayangnya orang yang ia hubungi tidak mengangkat teleponnya.

“Kamu kuat jalan sampai rumah, gak?” tanya Danish. Aida pun menganggukkan kepalanya.

Danish dan Aida pun memutuskan untuk pulang. Aida berinisiatif untuk mendorong kursi roda Danish namun Danish melarangnya. Ia menyuruh Aida untuk berjalan di samping kursi rodanya, sementara ia mendorong kursi rodanya sendiri.

justdoy_it

image


Setelah mendapat pesan dari Aida bahwa gadis itu sudah berada di depan rumahnya, Danish bergegas untuk membukakan pintu rumahnya. Begitu pintu terbuka, ia langsung melihat sosok cantik dengan senyuman khasnya.

“Aida bawain makanan nih, Kak,” ujar Aida sembari menunjukkan kantung plastik berisi makanan. Danish pun hanya meresponnya dengan dehaman.

“Makan dulu,” ujar Danish. Aida pun mengangguk lalu membuka dan menyiapkan makanan cepat saji yang ia bawa.

Mereka berdua pun makan dalam keheningan. Hingga beberapa saat kemudian keduanya sudah menyelesaikan kegiatan makannya.

“Belajar apa?” tanya Danish. Aida pun membuka tas sekolahnya dan mengeluarkan sebuah buku dengan judul 'Matematika'. Kemudian ia membuka halaman yang sudah ia tandai dan menyerahkannya kepada Danish. Danish pun mengambil buku tersebut dan memperhatikannya untuk beberapa detik.

Danish pun kemudian menjelaskannya kepada Aida. Aida pun berusaha fokus pada penjelasan Danish walaupun beberapa kali ia sempat tak fokus karena wajah Danish yang sangat tampan bila dilihat dari jarak dekat.

“Liat bukunya bukan saya,” tegur Danish. Aida yang tertangkap basah sedang menatap pria itu pun langsung gelagapan.

“Dih.. pede banget. Aida gak ngeliatin kakak tuh,” alibi Aida. Danish mengabaikannya dan melanjutkan penjelasannya.

Setelah memberikan penjelasan, Danish juga meminta Aida untuk mengerjakan beberapa soal yang terdapat di sana agar Aida lebih paham lagi.


Satu jam berlalu, Aida dan Danish menyudahi acara belajar mereka. Aida pun memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya.

“Kak, kita jalan-jalan ke taman yuk?” ajak Aida.

“Gak,”

Aida pun mengerucutkan bibirnya. “Ayo dong, Kak.” Danish pun hanya diam hingga Aida terus merengek padanya. Ia pun terpaksa menuruti keinginan gadis itu.

Aida pun mendorong kursi roda Danish keluar dari rumah dan menuju taman yang jaraknya tak jauh dari rumah mereka. Sekitar tujuh menit mereka sudah sampai di taman. Namun ketika mereka sedang menuju salah satu bangku taman, Aida merasa kelelahan dan merasa sesuatu mengalir keluar dari hidungnya. Aida pun menyeka darah yang mengalir dari hidungnya.

Danish yang merasa Ada berhenti mendorong kursi rodanya pun bertanya, “Kenapa?”. Danish pun berniat untuk menoleh ke arah Aida namun kepalanya ditahan oleh Aida.

“Gak ada apa-apa, Kak. Aida ke toilet dulu, ya?” pamit Aida dan langsung berlari menjauh dari tempat Danish. Danish pun yang melihatnya merasa ada sesuatu yang aneh dengan Aida, namun ia tidak tahu apa itu.

Sudah sekitar setengah jam Danish menunggu namun Aida belum juga muncul. Hal itu membuat Danish semakin khawatir. Ia pun memutuskan untuk mendorong kursi rodanya menuju toilet umum di taman tersebut. Namun begitu sampai di sana ia tidak mendapati keberadaan Aida.

“Ini gue dipermainin sama anak kecil?” pikir Danish.

Danish dengan perasaan kesalnya pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya.

justdoy_it

Tepat pukul 3 sore Aida berada di depan rumah Danish untuk mengajak Danish ke luar, seperti kesepakatan mereka. Namun Danish berkata bahwa ia sedang tidak ada di rumah.

Aida pun tidak memercayainya. Ia melangkahkan kakinya menuju samping rumah Danish.

“Dor..” ujar Aida mengejutkan Danish yang kala itu sedang menatap keluar jendela kamarnya.

Danish pun terkejut.

“Kak Danish gak bisa bohong sama Aida. Ayo pergi!”

Danish pun dengan malas menggerakkan kursi rodanya untuk keluar dari kamarnya. Aida yang melihat hal tersebut pun kembali melangkahkan kakinya untuk menuju pintu depan rumah Danish.

Bersamaan dengan Aida yang sampai di sana, Danish membuka pintu rumahnya.

Aida dapat menangkap kekhawatiran di raut wajah Danish.

“Kakak takut?” Tanya Aida. Danish hanya diam.

Bak orang yang bisa membaca pikiran, Aida berkata, “Kakak khawatir karena ini pertama kalinya kakak keluar rumah setelah sekian lama?”

Danish menganggukkan kepalanya.

Aida tersenyum melihatnya. “Gak perlu takut, kak. Ada Aida yang bakal jagain kakak.”

Akhirnya Danish pun menyetujui untuk pergi bersama Aida.

Mereka berjalan kaki karena Aida merasa tempatnya tidak terlalu jauh dan lebih enak jika berjalan kaki saja.


Mereka pun sampai di cafe tersebut. Cafe itu sedang ramai. Dan ketika mereka masuk, banyak mata yang memandang ke arah Danish dengan berbagai tatapan. Hal itu membuat ketakutan Danish muncul kembali.

Aida yang mengetahuinya pun langsung mendorong kursi roda Danish untuk menuju spot cafe yang tidak terlalu ramai.

Setelah memesan, mereka menunggu pesanannya dalam diam hingga sebuah pertanyaan dari Danish memecah keheningan di antara mereka.

“Kamu gak malu bawa saya?”

Aida mengerutkan keningnya. “Malu? Untuk apa, kak?”

“Kamu gak lihat tadi gimana orang-orang memandang saya karena keadaan saya?”

Aida tersenyum lagi. “Buat apa malu? Justru Aida bangga bisa jalan sama kakak. Terlepas dari keadaan kakak, kakak itu orang yang hebat. Sayang banget mereka gak tau kehebatan kakak.”

“Ai, saya serius,”

“Loh? Aida juga serius. Kak Danish tuh hebat, buktinya kakak bisa bertahan sampai sekarang. Gak semua orang bisa kayak kakak loh.” Lagi, senyuman indah milik Aida terukir di bibirnya.

Danish dibuat terpana oleh kata-kata yang terlontar dan juga senyum yang terukir di bibir Aida.

“Udah ah, ayo makan nih kak,” ujar Aida.

“Eh tapi, fotoin Aida dulu dong,”

“Mana ponselnya?”

“Pakai punya kakak aja, nanti kirimin ke Ai,”

Danish pun hanya pasrah. Ia mengambil beberapa gambar Aida dengan beberapa gaya.

“Udah, sekarang makan,” ujar Danish.

Mereka pun menikmati makanan mereka dengan tenang.

©justdoy_it

Pagi itu, Aida sedang sibuk memasukkan makanan yang baru saja selesai ia masak ke dalam wadah karena ia akan memberikan makanan itu untuk Danish.

Danish sudah menolak Aida untuk datang dan membawakan sarapan untuknya. Namun, Aida tetaplah Aida, ia tidak akan menyerah begitu mudah.

“Kamu mau kemana, Nak?” Tanya seorang wanita yang baru saja memasuki dapur.

“Eh, Mama, Aida mau ke rumah Kak Danish buat anterin ini.” Aida menunjukkan beragam lauk pauk yang sudah ia buat.

“Danish?” Tanya sang Mama yang tampak heran.

Aida mengangguk. “Itu nama anak tetangga kita. Aida seneng banget dia mau temenan sama Aida.”

Sang Mama yang melihat anaknya terlihat antusias dan senang pun mengembangkan senyumnya.

Pasalnya, ia tahu bahwa Aida tidak mempunyai teman. Bahkan di sekolah pun anaknya itu pun tidak memiliki teman, entah apa penyebabnya. Namun Aida selalu menutupinya dengan berkata bahwa ia memiliki banyak teman. Hatinya terluka melihat putri semata wayangnya yang selalu berusaha terlihat baik-baik saja, namun nyatanya tidak.

“Yaudah, hati-hati. Jangan kecapekan juga, Nak,”

“Siap, Bu Boss! Kalau gitu Aida pergi ya, Ma,” pamit Aida sembari membawa paper bag yang berisi makanan tersebut.

Ia melangkahkan kakinya menuju rumah Danish.


Sesampainya di depan rumah Danish, Aida melihat seorang wanita paruh baya yang kira-kira seusia dengan Mamanya.

“Permisi, Tante,” panggil Aida lembut.

Wanita paruh baya yang sedang menyiram tanaman itu pun mengalihkan atensinya ke Aida.

“Cari siapa ya, Nak?”

Aida mengembangkan senyum manis miliknya dan berkata, “Saya Aida, anaknya ibu Jiya tetangga yang tinggal di rumah itu, Tante.” Aida menunjuk ke arah rumahnya.

Wanita paruh baya yang ia yakini adalah Ibu dari Danish itu pun tersenyum.

“Ada perlu apa, Nak?”

“Ini, Aida mau anterin sarapan buat Kak Danish sebagai rasa terima kasih karena udah mau jadi teman Aida,” jawab Aida sambil memberikan paper bag yang ia bawa.

Ibu Danish pun menerimanya. “Terima kasih, ya.”

Namun, sedetik kemudian raut wajah Ibu Danish pun berubah menjadi sendu. Aida yang melihatnya pun menjadi heran.

“Tante, gapapa?”

“Kamu mau bantu tante gak?”

“Bantu apa, Tan?”

“Danish itu gak pernah mau sarapan dan itu buat tante khawatir. Kamu mau bantu buat bujuk dia?”

Aida tampak berpikir sejenak sampai akhirnya ia menganggukkan kepalanya dan ha itu membuat Ibu dari Danish senang.

Mereka pun masuk ke dalam rumah Danish hingga sampailah Aida di depan pintu bercat putih yang bertuliskan Do not disturb!

Aida terkekeh melihatnya. Entah mengapa itu tampak lucu baginya.

Ibu Danish pun masuk ke dalam kamar Danish setelah mengetuknya beberapa kali dan mendapat jawaban.

Tampaklah sosok Danish yang duduk di kursi roda sedang memandang ke arah luar jendela. Ibu Danish pun menghampiri sang anak dan membujuknya untuk makan. Namun hasilnya nihil, Danish bahkan tak merespon sama sekali.

Aida yang melihat hal itu pun merasa kasihan pada Ibu Danish. Ia pun memutuskan untuk menghampiri keduanya.

“Kak Danish,” panggil Aida.

Hening, Danish tidak merespon sama sekali.

“Kak, Aida udah bawain sarapan loh! Makan yuk,”

Lagi, tidak ada respon dari Danish.

“Kak Danish suka lihat suasana luar, ya? Pemandangannya bakal lebih bagus loh kalau kakak keluar. Mau sekalian makan di luar gak?”

“Nggak, kamu pulang aja. Saya mau istirahat.” Danish pun menggerakkan kursi rodanya menuju tempat tidurnya. Ibu Danish yang melihatnya pun dengan sigap membantu Danish untuk pindah ke ranjangnya.

Setelahnya, Ibu Danish menghampiri Aida dan berkata, “Nak, makasih ya. Maaf Danish terkesan gak sopan, tapi dia gak maksud gitu kok.”

Aida pun tersenyum kemudian pamit dari sana. Aida tidak tahu pasti apa alasan dari perilaku Danish yang amat dingin bahkan dengan ibunya. Namun Aida mencoba untuk mengerti. Dan hal ini membuat Aida semakin bersemangat untuk lebih mengenal Danish.

©justdoy_it