Hati Yang Patah
Pintu coffee shop tempat Zeline part time terbuka dan menampilkan sosok Natha yang sedang tersenyum ke arah Zeline. Natha pun menghampiri Zeline yang berada di balik meja kasir.
“Udah makan belum, Zel?” Tanya Natha.
“Belum sempat,”
“Yaudah, abis ini makan yuk?” Tanya Natha antusias. Zeline hanya mengangguk.
“Selesai jam 8, kan?”
Lagi, Zeline hanya mengangguk. “Lo tunggu di luar aja, gue mau ambil tas dulu.”
Natha pun menuruti ucapan Zeline. Ia melangkahkan kakinya keluar dari sana dan menunggu di atas motornya. Tak butuh waktu lama, Zeline pun keluar. Tanpa mau menunggu lama, Natha pun segera memasangkan helm ke kepala Zeline. Zeline yang diperlakukan seperti itu pun merasa senang hingga ia berusaha keras untuk menahan senyumannya.
Natha pun melajukan motornya menuju warung nasi goreng tempat mereka biasa makan. Kali ini Zeline tidak bisa menahan senyumannya karena ia sangat senang Natha menepati janjinya.
Natha yang ia kenal kembali. Begitulah pikirnya
Natha yang saat itu melihat ke arah spion pun melihat raut wajah sumringah milik Zeline pun tersenyum. Ia mengira bahwa usahanya untuk membuat Zeline tidak marah lagi padanya sudah berhasil.
Sekitar lima belas menit, mereka sampai di warung nasi goreng. Keduanya pun turun dan memesan pesanan yang biasa mereka pesan.
“Gue minta maaf ya soal beberapa hari lalu dan tadi,” ujar Natha.
“Iya,”
“Udah gak marah, kan?” Tanya Natha memastikan. Zeline hanya diam saja. Hal itu membuat Natha takut, ia menatap Zeline sendu.
Tiba-tiba saja Zeline tersenyum lebar. “Iya, mana bisa gue marah lama sama sahabat gue.”
Natha pun lega mendengar penuturan Zeline barusan. Ia pun merangkul pundak Zeline. “Sayang banget deh gue sama lo, Zel.”
Ini bukan kali pertama bagi Zeline untuk mendengar kata 'sayang' dari Natha, namun tetap saja hatinya selalu berdebar setiap kali kata itu keluar dari mulut Natha.
“Zel, gue mau ngomong deh,” ujar Natha sembari mengunyah makanannya.
“Ya ngomong aja,”
“Nanti aja abis makan, biar enak.” Natha tersenyum dan melanjutkan makannya. Dan tanpa ia sadari, ucapannya tersebut membuat Zeline penasaran dan bertanya-tanya.
Tepat setelah selesai makan, Natha pun merubah posisi duduknya agar lebih leluasa menatap Zeline.
“Jadi, gue tuh lagi suka sama cewek. Tapi, gue belum tau sih dia suka juga atau nggak. Dan akhir-akhir ini gue lagi berusaha buat lebih dekat ke dia. Kalau gue nembak dia dalam waktu dekat, menurut lo kecepatan gak?”
Deg
Sesak, itulah yang dirasakan Zeline saat ini. Ia sudah menduga suatu hari nanti Natha akan memberitahunya perihal ini, namun ia tidak menduga akan secepat ini. Rasanya lidah Zeline kelu. Ia kehilangan kata-katanya. Air mata pun rasanya memberontak ingin keluar dari pelupuk matanya, namun dengan mati-matian ia menahannya.
“Zel?” Natha menepuk pundak Zeline pelan.
Zeline pun tersadar. “Hah?”
Hanya itu yang dapat ia katakan. Otaknya tak dapat berpikir lagi.
“Lo kenapa?” Tanya Natha.
“Gue kenapa? Gapapa kok.” Zeline memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Walau nyatanya hatinya sesak.
“Jadi?”
“Ya kalau menurut gue kecepatan sih, soalnya kan baru banget. Mungkin lo harus nunggu lagi, tunjukin keseriusan lo lagi ke dia. Iya, gitu deh.” Zeline tertawa. Tertawa sumbang hingga Natha bingung dibuatnya.
Begitu sesak ia rasa, namun tak dapat menangis. Sehingga ia melampiaskannya dengan sebuah tawa.
“Lo kenapa?”
“Gapapa. Oh iya, gue lupa kalau gue harus balik sekarang soalnya ibu gue pesan sesuatu. Nanti kita lanjut di chat aja, ya?” Tanpa menunggu persetujuan dari Natha, Zeline pun langsung membayar nasi goreng mereka dan pergi dari sana.
Air mata yang sejak tadi ia tahan pun keluar begitu saja membasahi pipinya. Pikirannya kosong, ia tidak tahu kemana ia berjalan. Ia hanya mengikuti kemana pun kakinya membawanya.
justdoy_it