justdoyit

image


Seorang gadis cantik sedang membantu mamanya untuk membuat kue. Ia tampak sangat bersemangat. Senyuman indahnya terus menghiasi wajah cantiknya.

“Aida, nanti kuenya kamu antar ke rumah sebelah, ya?”

“Rumah sebelah? Emangnya rumah sebelah ada orangnya ya, Ma?”

“Ada, tadi mama sempet tegur sapa. Penghuninya ibu sama anak laki-lakinya.”

Gadis yang bernama Aida itu pun hanya mengangguk. Ia mengira bahwa rumah tersebut tak berpenghuni. Pasalnya, sejak kedatangannya ke sini, ia tak melihat siapapun keluar dari sana dan rumahnya pun terlihat sangat sepi.

Dua puluh menit berselang, kue yang Aida dan Mamanya buat pun sudah matang. Aida memasukkan kuenya ke dalam wadah untuk ia berikan kepada tetangga barunya sesuai dengan perintah mamanya tadi.

“Ma, Aida pergi sekarang ya,” pamit Aida sembari menenteng paper bag yang berisi kue buatannya dan Mamanya. Mama Aida pun hanya mengangguk.

Ada pun melangkahkan kakinya keluar rumah. Ia pun berjalan ke arah rumah yang berada di sebelah kiri rumahnya. Sesampainya di depan pintu rumah bercat putih itu, Aida mengetuknya. Sudah tiga kali ketukan, namun tak ada sahutan atau bahkan orang yang keluar.

“Kayaknya emang mama salah deh. Rumah ini beneran gak ada penghuninya,” batinnya.

Baru saja Aida melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana, pintu rumah tersebut terbuka dan menampakkan sosok pria dengan kursi rodanya. Sekarang Aida paham alasan orang itu lambat untuk membuka pintu.

“Hai kak! Aku Aida, tetangga baru kakak. Aku ke sini karena mau kasih kue ini dari mama.” Aida tersenyum sambil menyerahkan paper bag yang ia bawa.

Danish menerima paper bag itu.

“Makasih. Tapi maaf, gue gak bisa nyuruh lo masuk karena gue lagi sendiri di rumah,” ujar Danish. Ini adalah kalimat pertama yang terlontar dari mulut Danish setelah kejadian setahun silam.

Aida pun hanya mengangguk dan tersenyum. Lagi, Aida menyadari alasan mengapa rumah ini terlihat sepi seperti tak berpenghuni.

“Iya, gapapa kak. Nama kakak siapa?”

Danish mengerutkan dahinya, namun tetap menjawabnya, “Danish.”

Lagi-lagi Aida menyunggingkan senyumannya.

“Kakak mau gak jadi temannya Aida? Kan Aida barupindah ke sini, jadi gak punya teman.”

Danish hanya menganggukkan kepalanya.

“Beneran, Kak?!”

Danish mengangguk. Hal itu membuat Aida melompat senang. Pasalnya, Aida tidak mempunyai teman. Jadi, begitu melihat Danish dengan mudahnya menerima ajakannya untuk berteman ia menjadi begitu senang.

Aida menyerahkan ponselnya kepada Danish. Danish pun menatap Aida dan mengerutkan dahinya. Ia tak paham apa maksud Aida menyerahkan ponselnya kepada Danish.

“Simpan nomor kakak di situ. Biar kita bisa chatan juga.”

Danish pun menuruti permintaan Aida. Ia mengetikkan nomor ponselnya di ponsel Aida.

“Makasih, Kak. Aida pamit pulang dulu ya,” pamit Aida.

Danish menatap punggung Aida yang perlahan hilang dari pandangannya. Lagi, sudut bibir Danis tertarik membentuk senyuman. Kali ini bukan senyuman kecil, namun benar-benar senyuman.

“Gadis unik yang ceria,” pikirnya.

Danish pun masuk ke dalam rumahnya. Ia meletakkan paper bag yang diberikan Aida di atas meja makan. Sementara ia kembali masuk ke dalam kamarnya.

©justdoy_it

Hari ini, tepat setahun sudah tragedi kecelakaan yang menimpa Danish dan membuatnya tidak bisa berjalan selamanya. Kecelakaan itu terjadi saat ia pulang dari acara gathering kampus yang diadakan di Puncak, Bogor. Saat itu bus yang dtumpangi Danish dan teman-temannya tergelincir dan terguling akibat jalanan yang licin sehabis hujan. Entah bisa disebut beruntung atau tidak, Danish adalah sebagian kecil dari korban selamat dalam kejadian tersebut. Ia selamat namun harus menanggung kenyataan pahit yaitu, tidak bisa berjalan lagi seperti dahulu.

Selama setahun ini pula ia harus menjalani perawatan psikis dan mentalnya. Karena semenjak kejadian itu Danish juga mengalami trauma. Danish memutuskan untuk keluar dari kampusnya. Ia sudah kehilangan semangat hidupnya. Ia merasa bahwa sudah tidak ada lagi mimpi yang bisa ia raih.

Selama setahun ini juga, Danish menjadi sosok yang lebih pendiam dari sebelumnya. Ia menjadi lebih banyak melamun. Seperti tak punya semangat untuk hidup, Danish lebih sering menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamarnya sambil menatap ke luar jendela kamarnya.

Bunda Danish yang melihat anaknya semakin terpuruk menjadi sedih. Bundanya selalu mencoba untuk mengajaknya mengobrol. Namun Danish hanya diam dengan tatapan kosongnya. Bahkan diajak untuk jalan-jalan keluar rumah pun Danish selalu menolak dengan gelengan kepala. Hal ini membuat hati Bunda Danish sakit. Ia tidak tahu lagi harus dengan cara apa untuk mengembalikan Danishnya seperti sedia kala.

“Andai waktu bisa diputar kembali, Bunda rela gantiin kamu untuk menanggung semua ini, Nak.” Begitulah ucapan yang selalu dilontarkan oleh Bunda Danish setiap kali ia melihat kondisi anaknya itu.

©justdoy_it

Hari ini, tepat setahun sudah tragedi kecelakaan yang menimpa Danish dan membuatnya tidak bisa berjalan selamanya. Kecelakaan itu terjadi saat ia pulang dari acara gathering kampus yang diadakan di Puncak, Bogor. Saat itu bus yang dtumpangi Danish dan teman-temannya tergelincir dan terguling akibat jalanan yang licin sehabis hujan. Entah bisa disebut beruntung atau tidak, Danish adalah sebagian kecil dari korban selamat dalam kejadian tersebut. Ia selamat namun harus menanggung kenyataan pahit yaitu, tidak bisa berjalan lagi seperti dahulu.

Selama setahun ini pula ia harus menjalani perawatan psikis dan mentalnya. Karena semenjak kejadian itu Danish juga mengalami trauma. Danish memutuskan untuk keluar dari kampusnya. Ia sudah kehilangan semangat hidupnya. Ia merasa bahwa sudah tidak ada lagi mimpi yang bisa ia raih.

Selama setahun ini juga, Danish menjadi sosok yang lebih pendiam dari sebelumnya. Ia menjadi lebih banyak melamun. Seperti tak punya semangat untuk hidup, Danish lebih sering menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamarnya sambil menatap ke luar jendela kamarnya.

Bunda Danish yang melihat anaknya semakin terpuruk menjadi sedih. Bundanya selalu mencoba untuk mengajaknya mengobrol. Namun Danish hanya diam dengan tatapan kosongnya. Bahkan diajak untuk jalan-jalan keluar rumah pun Danish selalu menolak dengan gelengan kepala. Hal ini membuat hati Bunda Danish sakit. Ia tidak tahu lagi harus dengan cara apa untuk mengembalikan Danishnya seperti sedia kala.

“Andai waktu bisa diputar kembali, Bunda rela gantiin kamu untuk menanggung semua ini, Nak.” Begitulah ucapan yang selalu dilontarkan oleh Bunda Danish setiap kali ia melihat kondisi anaknya itu.

©justdoy_it

Tepat lima belas menit setelah Darga mengirimkan pesan, ia sampai di rumah Luna. Luna yang sudah menunggu Darga di depan pagar rumahnya pun langsung masuk ke dalam mobil Darga begitu pria itu menyuruhnya masuk. Dari raut wajahnya, dapat terlihat kekhawatiran Luna. Belum lagi lingkarang hitam yang muncul di bawah mata gadis tersebut membuat Darga semakin yakin jika gadis itu tidak tidur karena mengkhawatirkan Jeffin.

“Udah makan, Lun?” tanya Darga.

Luna yang ditanya pun menjawabnya dengan gelengan kepalanya. Darga pun memberikan sebuah kantung plastik putih yang berisi roti dan air mineral kepada Luna. “Makan dulu, Lun.” Luna menerima kantung plastik tersebut namun hanya ia letakkan di pangkuannya. Ia tidak berniat untuk memakan, makanan yang ada di dalamnya.

“Lun, kalau lo nya begini gimana mau ngatasin Jeffin nanti? Lo juga harus isi tenaga,”

Luna pun akhirnya mengambil roti yang berada di dalam kantung plastik tadi, ia membuka lalu memakannya. Darga yang melihatnya pun tersenyum tipis.

“Masih jauh?” tanya Luna yang sudah selesai memakan rotinya.

“Lumayan, sekitar satu jam lagi,”

Luna pun menghela napasnya. Ia melihat ke luar jendela. Pikirannya tertuju pada Jeffin, kekasihnya. Apakah pria itu sudah makan? Apakah pria itu baik-baik saja?

“Lo khawatir banget, ya?” tanya Darga untuk memecah keheningan. Lima menit berlalu namun tidak ada jawaban apapun dari Luna. Darga pun melihat ke arah Luna. Ternyata, gadis itu sudah terlelap di sana. Terlihat jelas jika Luna sangat lelah. Ia pun membiarkan gadis itu terlelap dan fokus untuk menyetir.


Sejam kemudian, Darga dan Luna pun sampai di lokasi tempat Jeffin berada. Darga yang melihat Luna masih terlelap dengan nyenyak itu pun tak tega untuk membangunkannya. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu Luna hingga gadis itu bangun dengan sendirinya. Ia pun memutuskan keluar dari mobilnya.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya Luna pun terbangun dari tidurnya. Ia menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Ia melihat Darga tidak ada di kursi kemudinya. Panik, itulah yang dirasakan Luna. Namun kepanikannya hilang begitu ia melihat Darga yang sedang berdiri dengan bersandar pada kap mobil bagian depan.

Luna pun menyingkirkan jaket yang ia yakini milik Darga tersebut. Ia pun kemudian keluar dari mobil dan menghampiri Darga.

“Pantai?” tanya Luna. Darga pun menoleh ke arah Luna dan mengangguk. “Di sana, Jeffin nenangin dirinya di sana.” Darga menunjuk ke sebuah penginapan sederhana.

“Yaudah, ayo kita ke sana.” Luna yang sudah tidak sabar pun langsung berjalan mendahului Darga. Darga pun mengikuti Luna dari belakang.

Mereka berdua sudah sampai di depan penginapan itu dan langsung di sambut. Lalu Luna pun menanyakan kamar yang Jeffin tinggali. Setelah mendapatkan informasinya, dengan tak sabar Luna berjalan cepat menuju kamar Jeffin.

“Jeff...” panggil Luna sambil mengetuk pintu kamarnya. Hasilnya nihil, tidak ada jawaban dari dalam. Hal itu membuat pikiran-pikiran buruk muncul di kepala Luna. Ia pun langsung membuka pintu yang ternyata tidak di kunci.

Gelap, itulah kesan pertama setelah Luna masuk ke dalam kamar tersebut. Tidak ada cahaya sama sekali. Luna pun merogoh sakunya untuk mencari ponselnya yang bisa ia gunakan sebagai alat penerangan.

Nihil. Luna teringat bahwa ponselnya ada di dalam tas yang ia bawa dan tas tersebut tertinggal di dalam mobil Darga.

“Darga..” pnggil Luna. Tidak ada sahutan dari Darga. Bahkan Luna tidak merasakan keberadaan Darga di sana.

Baru saja Luna membalikkan tubuhnya dan ingin melangkah keluar dari kamar tersebut, tiba-tiba saja sebuah proyektor yang dihadapkan ke dinding itu pun menyala dan menampilkan sebuah video. Luna pun terkejut melihat video yang ada di sana.

Tepat setelah video itu selesai, sebuah langkah kaki terdengar dan membuat Luna membalikkan tubuhnya. Ia melihat Jeffin berjalan mendekat ke arahnya dan berakhir dengan berlutut di hadapannya dengan sekotak cincin. “Seperti tulisan yang ada di akhir video tadi. Will you marry me, Naluna Asmadya?”

“Bangun,” pinta Luna. Jeffin pun mengernyitkan dahinya. Ia bingung, namun tetap menuruti permintaan Luna. Ia pun berdiri.

Bughh...

Luna meninju lengan milik Jeffin dengan cukup keras hingga membuat pria itu mengaduh kesakitan.

“Kok malah dipukul, sih?” tanya Jeffin sambil mengusap lengannya yang ditinju oleh Luna.

“Ya kamu kenapa ngelakuin ini? Aku udah kayak orang gila khawatir sama kamu tapi kamunya begini,” omel Luna. Dapat diketahui dari nada suara Luna yang meninggi bahwa gadis itu sangat marah.

Jeffin pun menunduk. “Maaf, aku tau aku salah caranya.”

Hening. Keduanya sama-sama diam. “Tapi, Lun-” dengan cepat Luna menyela ucapan Jeffin yang belum selesai. “Gak.”

Jeffin tidak bisa berkata-kata lagi. Ia akui bahwa caranya salah. Namun, ia tidak mau batal nikah hanya karena ini.

“Gak salah lagi. Aku mau nikah sama kamu,” ujar Luna. Jeffin pun langsung mendongakkan kepalanya dan memeluk Luna dengan erat. “Makasih, Lun.”

Jeffin pun segera memasangkan cincin di jari Luna. Suasana pun berubah menjadi ramai. Ada Janu, Sera, Jonas, dan Darga di sana.

justdoy_it

Setelah pertemuannya dengan Jonas tadi, Jeffin membawa Luna ke suatu tempat yang tidak terlalu ramai namun juga tak sepi. Jeffin dan Luna memutuskan untuk mengobrol di dalam mobil. Sudah sepuluh menit berlalu namun Jeffin hanya diam dengan pandangan yang lurus ke depan. Luna dengan sabar menunggu Jeffin untuk berbicara apa yang ingin ia bicarakan.

Luna yakin bahwa ini adalah sesuatu yang sulit untuk dikatakan. Oleh karena itu, ia tidak mau mendesak Jeffin. Jeffin pun menarik dan menghembuskan napasnya dengan kuat.

“Saya punya trauma kehilangan orang yang saya sayang-”

“-itu semua karena orang tua saya bercerai saat saya berusia delapan tahun. Dan gak satu pun dari mereka mau merawat saya-” Jeffin menghentikan ucapannya. Ia memejamkan matanya. Bayangan tentang masa lalunya yang pahit kembali berputar di kepalanya. Ia mencengkram stir kemudi dengan keras hingga buku-buku tangannya memutih.

Luna yang melihat itu pun mencoba menenangkannya dengan memberikan elusan pada tangan pria itu. “Gak usah di lanjut kalau kamu gak bisa.”

Jeffin dengan cepat membuka matanya dan mencoba untuk mengontrol dirinya. “Waktu itu saya dirawat sama kakek sampai akhirnya saya merasakan kehilangan lagi karena beliau meninggal tepat di hari pertama saya masuk SMP-”

“-di sana untuk pertama kali saya ketemu sama Darga. Dia selalu ada di saat masa-masa sulit saya. Bahkan dia yang bawa saya untuk terapi sampai akhirnya keadaan saya semakin membaik.” Jeffin tersenyum kecil mengingat betapa beruntungnya ia bertemu sosok Darga yang merawatnya dengan sangat baik.

“Waktu masuk kuliah saya udah dalam keadaan benar-benar baik. Sampai akhirnya rasa itu muncul lagi karena Laura pergi tanpa sepatah kata pun. Bahkan dia langsung hilang kabar setelah itu.” Jeffin menoleh ke arah Luna yang sedang menatapnya. “Kamu pasti bingung kenapa rasa itu bisa muncul lagi cuma karena Laura, kan?”

Jeffin tersenyum lagi. “Dulu, Laura adalah wanita yang saya cintai. Laura dulu juga adalah bagian dari pertemanan saya, Darga, Bang Jo dan Janu-”

“-saya suka sosok Laura yang polos dan lugu saat itu. Bukan cuma saya, Bang Jo juga suka sama Laura. Bahkan saya sama Bang Jo sampai benar-benar ribut untuk memperebutkan Laura.” Jeffin menarik napasnya dan terkekeh. “Kalau diingat, itu juga sesuatu yang memalukan karena saya sama Bang Jo sampai di rawat di rumah sakit dan perang dingin selama kurang lebih lima bulan, karena tepat sebulan setelah saya dan Bang Jo keluar dari rumah sakit, Laura pergi.”

Luna masih mendengarkan cerita Jeffin dengan seksama. Sekarang ia tahu apa alasan Laura sangat ingin Jeffin kembali menjadi miliknya. Dan alasan Jeffin selalu menghindari Laura.

“Jadi, alasan kamu gak mau balik sama Laura karena trauma kamu?” tanya Luna. Jeffin menggelengkan kepalanya. “Gak sepenuhnya benar, karena ada alasan lain.”

“Apa?”

Jeffin menatap kedua manik mata indah milik Luna. Hingga ia jatuh ke dalam pesona mata indah itu. “Kamu. Karena saya udah jatuh cinta sama kamu.”

Luna yang salah tingkah pun langsung membuang arah pandangannya ke sembarang arah. Jeffin memegang dagu Luna dan menghadapkan pandangan Luna kepadanya. “Saya benar-benar jatuh hati sama kamu, Luna.”

Luna hanya diam.

“Saya cerita semua ini biar kamu tahu lebih awal. Saya juga udah siap kalau semisal setelah tahu hal ini kamu mau menjauh dari saya.” Jeffin tersenyum dipaksakan.

“Kata siapa? Saya gak kemana-mana. Saya akan tetap di sini karena saya-”

Jeffin pun diam menunggu Luna melanjutkan ucapannya.

“-saya suka sama bapak,” lirih Luna.

“Apa, Lun?”

“Gak ada pengulangan.” Luna yang sebal pun langsung merubah posisi duduknya. Hingga tiba-tiba seseorang memeluk tubuhnya dari samping. “Saya dengar kok. Berarti sekarang resmi.”

Jeffin teringat suatu hal, ia pun melepaskan pelukannya. “Oh ya, saya punya satu masalah lagi. Saya itu cukup sulit mengontrol emosi kalau lagi marah. Apa kamu masih mau?”

Kali ini, Luna dengan keberanian yang entah dari mana, menangkup pipi Jeffin dan mengelusnya dengan ibu jarinya. “Apapun itu, saya terima. Kita akan jalan bersama. Kita akan saling melengkapi.”

Jeffin bahagia mendengar penuturan Luna. Ia pun mendekatkan wajahnya ke wajah Luna. Kemudian ia mengecup kening milik gadis itu. Luna yang merasa pipinya memanas karena mendapatkan perlakuan seperti itu.

“Saya beruntung ketemu kamu. Saya janji, saya akan lamar kamu secepatnya setelah diri saya benar-benar pantas untuk kamu,”

Luna pun hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

justdoy_it

#Merelakan

Jam menunjukkan pukul 20.15 WIB, terlihat dua orang pria yang sedang duduk berhadapan. Kedua orang itu adalah Jeffin dan Jonas. Setelah menetapkan janji temu, di sinilah mereka sekarang, di cafe yang terletak di dekat apartement milik Jeffin.

Sudah lima menit berlalu, namun keduanya masih diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Jeffin pun memutuskan untuk memecah keheningan dengan berkata, “Jadi, mau bahas apa, Bang?”.

Jonas pun menghembuskan napasnya. “Gue udah liat semuanya,”

Jeffin yang bingung dengan arah pembicaraan Jonas pun menaikkan kedua alisnya. “Maksudnya?”.

“Malam itu, tepat di depan pagar rumah Luna. Gue ada di sana dan gue liat kalian pelukan,” ujar Jonas.

“Terus?”

“Gak cuma itu, beberapa bulan terakhir gue juga udah sering ngamatin kalian berdua. Dan gue pikir kalian emang punya rasa yang sama-” Jonas menjeda ucapannya. Ia memejamkan matanya lalu menghembuskan napasnya berat. “Untuk itu, gue bakal lepas Luna. Gue bakal relain Luna buat lo, Jeff.”

“Tapi kenapa? Kenapa lo mau nyerah semudah ini?”

“Ini gak semudah yang lo pikirkan, beberapa minggu ini gue selalu bertengkar dengan pikiran dan batin gue. Dan ya, gue memutuskan untuk merelakan perasaan gue-”

“Buat apa gue mengejar seseorang yang udah jelas suka sama orang lain. Gue juga mau meminimalisir kejadia di masa lalu biar gak terulang lagi,”

“Tapi bang-” belum sempat Jeffin menyelesaikan ucapannya, Jonas sudah menyelanya, “Udah, Jeff. Keputusan gue ini udah final.”

“Perasaan lo? luka hati lo?”

“Gak usah pikirin itu, itu urusan gue. Gue bisa ngatasin itu sendiri. Yang gue mau, lo harus bisa bahagiain Luna. Dan yang terpenting, lo juga harus bahagia,”

Jeffin pun berdiri dari duduknya, ia menghampiri Jonas dan langsung memeluknya. “Makasih, Bang. Gue janji bakal bahagiain diri gue dan juga Luna. Gue harap lo juga bisa nemuin kebahagiaan lo.”

Jonas menganggukkan kepalanya. “Jangan cuma janji di mulut, Jeff, tapi lo harus buktiin. Itu yang paling penting.” Jeffin mengeratkan pelukannya pada Jonas dan menaruh kepalanya di bahu Jonas. “Pasti, Bang.”

Jonas pun mulai risih karena para pengunjung cafe melihat ke arah mereka dengan tatapan aneh dan tak jarang juga dari mereka yang berbisik membicarakan dirinya dan Jeffin yang berpelukan. Jonas langsung mendorong tubuh Jeffin dengan sedikit keras agar pria itu terlepas darinya. “Malu bodoh, dilihatin noh.”

Jeffin pun melihat ke sekeliling dan benar saja, semua mata melihat ke arahnya dan Jonas. Ia pun berdeham. Kemudian ia berdiri dan menegakkan bahunya agar terlihat gagah. “Kalau gitu gue balik, Bang.”

Jonas pun hanya menanggapinya dengan anggukan. Sebelum pergi, mereka melakukan bro fist terlibih dahulu.

justdoy_it

image


Setelah percakapan Luna dengan Ibunya melalui chat tadi, pikiran Luna terbuka dan memilih untuk langsung pulang dan bertemu Jeffin. Luna membuka pintu pagar rumahnya dan ia dapat melihat Jeffin yang sedang duduk di teras rumahnya sambil menatap langit malam. Suara decitan pintu pagar membuah Jeffin mengalihkan atensinya dari indahnya langit malam ke sosok cantik yang ia rindukan, Luna.

Luna semakin mendekat ke arah Jeffin, pria itu pun berdiri dari duduknya dan tersenyum lebar pada Luna.

“Apa kabar, Lun?” Pertanyaan yang terlontar dari bibir Jeffin itu terdengar sangat kaku. Sebab, ia masih merasa atmosfer diantara dirinya dan Luna masih tidak enak.

“Baik,” jawab Luna yang terkesan cuek.

“Kamu udah makan? Kalau belum makan kita makan—”

“Udah. Omongin aja apa yang mau bapak omongin,” ujar Luna yang memotong perkataan Jeffin sebelumnya. Luna sedang malas basa-basi.

Jeffin yang mengerti kalau Luna masih kecewa padanya pun menganggukkan kepalanya. Ia menepuk tempat di sebelahnya. “Duduk dulu, Lun.”

Luna pun menuruti perkataan Jeffin dan duduk di sebelah pria itu.

“Saya minta maaf untuk tindakan saya yang buat kamu terluka—”

“Tapi, saya benar-benar gak ada maksud untuk merendahkan kamu dengan cara itu.” Jeffin terdiam sejenak. Ia menjadi gugup karena aura Luna yang sangat dingin.

“Lalu apa, Pak?”

“Saya kasihan—” belum sempat Jeffin menyelesaikan kalimatnya, Luna pun kembali menyelanya. “Saya gak perlu dikasihani.”

Jeffin sadar, kata-kata yang ia gunakan tidak tepat dan malah membuat semua semakin runyam.

“Lihat? Bapak kasihan sama saya. Bapak menganggap bahwa saya gak kompeten untuk melakukan pekerjaan itu tanpa bapak bantu.” Emosi Luna pun mulai meluap.

“Lun, gak gitu—”

“Terus apa? Jelas sudah bapak barusan bilang kalau bapak kasihan.” Nada suara Luna mulai meninggi. Hal itu membuat Jeffin merutuki mulut bodohnya yang dengan sembarang mengeluarkan kata-kata yang membuat semua semakin runyam.

“Saya rasa pembicaraan kita sudah selesai sampai di sini. Jangan datang ke sini lagi, Pak. Saya gak mau lihat wajah bapak lagi.” Luna berdiri dari duduknya. Jeffin pun dengan cepat menghadang Luna yang bersiap untuk pergi dari sana.

“Luna, maafin saya. Saya janji gak akan lakuin hal seperti ini lagi,”

Luna masih diam dengan wajah tanpa ekspresinya. Membuat Jeffin semakin merasa ketir.

“Tolong beri saya kesempatan sekali lagi. Kalau saya berbuat kesalahan lagi saya yang akan pergi dari kehidupan kamu, Lun,” ujar Jeffin seraya menundukkan kepalanya.

Ucapan Jeffin barusan berhasil membuat Luna membuka suaranya. “Okay.”

Jeffin langsung mendongakkan kepalanya setelah mendengar jawaban mengejutkan dari Luna barusan. “Beneran, Lun?”.

Luna hanya menganggukkan kepalanya. Dengan tiba-tiba Jeffin memeluk Luna. Hal itu membuat Luna tekejut dan juga jantungnya menjadi berdegup kencang.

“Ekhem.. siapa yang bolehin bapak peluk saya?”

“Eh iya, kelepasan.” Jeffin pun melepaskan pelukannya.

“Yaudah bapak boleh pulang,” pinta Luna.

“Yaudah saya pulang, tapi besok pagi saya ke sini lagi buat jemput kamu,” ujar Jeffin. Setelahnya Jeffin langsung pergi dari sana.

Luna masih terdiam di tempatnya. Ia masih menetralkan degup jantungnya.

“Apa gue sakit jantung? Ah tapi gak ada riwayat. Atau jangan-jangan— ah gak mungkin”

Luna pun yang tidak mau memusingkan alasan mengapa jantungnya berdegup kencang pada saat Jeffin memeluknya pun memilih untuk masuk ke dalam rumahnya.

©justdoy_it

Siang itu, Jeffin dan Luna sedang berada di salah satu tempat makan yang berada di dalam Mall. Setelah pendekatan yang dilakukan Jeffin selama berbulan-bulan, akhirnya beberapa minggu terakhir ini Luna mulai melunak kepadanya.

Jeffin yang melihat hasil dari usahanya tidak sia-sia itu pun senang. Ia merasa semakin memiliki peluang untuk memiliki Luna, walaupun tetap saja ia tidak tahu apa keputusan akhir Luna.

Dan selama beberapa minggu terakhir ini pula, baik Laura maupun Jonas tidak mengganggu acaranya untuk mendekati Luna. Jonas yang disibukkan dengan bisnisnya sehingga ia harus sering bolak-balik Jakarta-Bandung. Belum lagi sesekali Jonas harus ke luar negeri. Sementara Laura entah kemana.

“Bapak ngapain senyum-senyum sendiri?” Tanya Luna yang melihat Jeffin sedang senyum-senyum sendiri.

Tidak ada balasan dari Jeffin. Pria itu masih seperti itu.

“Ini orang gak kesambet kan?” Pikir Luna. Akhirnya Luna pun menjentikkan jarinya di depan wajah Jeffin. Hal itu membuat Jeffin tersadar dari lamunannya.

“Kenapa, Lun?”

“Bapak yang kenapa, senyum sendiri gitu,”

Bukannya menjawab, Jeffin malah tersenyum semakin lebar.

“Aneh,” ujar Luna.

Jeffin pun hanya terkekeh. “Lun, saya ke toilet dulu, ya?”. Luna pun hanya mengangguk sebagai jawabannya.

Setelah melihat anggukan dari Luna, Jeffin pun melangkahkan kakinya untuk menuju toilet. Luna yang bosan menunggu pesanan datang pun memutuskan untuk memainkan ponselnya. Hingga suara notifikasi dan sebuah notifikasi yang pop up di layar ponsel milik Jeffin yang tertinggal di atas meja muncul.

Luna yang refleks pun melihatnya sekilas dan ia terkejut dengan pesan masuk dari Pak Tian tersebut.

“Jadi selama ini bukan hasil kerja keras gue? Tapi hasil bantuan dari Jeffin?” Pikir Luna.

Tanpa menunggu lama, ia berdiri dari duduknya dan juga meraih tasnya dengan cepat. Lalu pergi dari sana tanpa memberitahukan Jeffin terlebih dahulu.

Rasa kesal, kecewa dan marah pun menjadi satu. Ia dengan cepat keluar dari Mall tersebut.

©justdoy_it

image


Malam itu, langit tampak indah dengan bulan dan bintang yang menghiasinya. Setelah menjelaskan kesalahpahaman kepada Jilan, adik Luna, Jeffin dan Luna memilih untuk duduk di lantai teras rumah Luna sambil memandang langit malam.

“Jadi, bapak ngapain ke sini?” tanya Luna yang memecah keheningan. Jeffin yang ditanya pun tersenyum ke arah langit malam. “Gak ada agenda spesial, hanya ingin merealisasikan proses pendekatan dengan kamu aja.”

Luna hanya menganggukkan kepalanya setelah mendengar jawaban Jeffin barusan.

“Coba liat bintang-bintang itu, Lun,” pinta Jeffin sambil menunjuk ke arah jejeran bintang-bintang indah yang ada di langit malam itu. Luna pun menuruti perkataan Jeffin untuk melihat jejeran bintang itu.

“Terlihat indah, bukan?”

Luna hanya mengangguk. Lagi, Jeffin tersenyum dan berkata, “Tapi, kamu tau gak kalau bintang yang terlihat indah dan mungkin dianggap sempurna itu juga punya kelemahan?”.

Luna hanya diam hingga akhirnya Jeffin berkata, “Dia punya kelemahan, contohnya dia gak akan bisa kita lihat saat adanya matahari.”

“Sama seperti saya, orang mungkin menganggap saya sempurna—” Jeffin menjeda ucapannya sejenak, kemudian melanjutkannya, “Saya kaya, tampan, karir saya juga bagus. Tapi, mereka gak tahu kalau saya punya banyak kekurangan.”

“Emangnya kekurangan bapak apa?”

“Ada banyak, Lun. Saya juga khawatir kalau kamu masih tetap mau saya dekati atau tidak setelah tau kekurangan saya,”

“Gimana bapak bisa bilang begitu sementara saya aja gak tau kelemahan bapak apa?”

“Karena menurut saya ini bisa membuat orang jauh dari saya,”

“Jangan terlalu overthinking tentang sesuatu yang bahkan belum terjadi, Pak,”

Jeffin terkekeh. “Sulit, saya terlalu takut.” Luna menoleh ke arah Jeffin yang sedang menunduk. Ia memegang bahu pria itu dan membuat pria itu mengangkat kepalanya. Manik mata mereka bertemu.

“Semua orang punya kekurangannya masing-masing. Dan menurut saya, orang yang benar-benar tulus sayang sama bapak akan menerima segala kekurangan itu—”

“Sebaliknya, orang yang memang tidak tulus akan meninggalkan kita hanya karena hal itu. Harusnya bapak bersyukur kalau mereka pergi, artinya mereka bukan orang yang tepat untuk berada di hidup bapak,”

Jeffin diam dan masih setia menatap Luna, hingga akhirnya ia berkata, “Lun, can I hug you?”. Luna yang merasa saat ini pria di hadapan itu butuh sebuah pelukan pun langsung melebarkan tangannya, mengisyaratkan jika pria itu boleh memeluknya.

Jeffin yang diberikan izin tersebut pun langsung memeluk Luna dengan erat. Ia meletakkan kepalanya di bahu Luna, sementara Luna entah dorongan dari mana, ia mengusap punggung pria itu. Ia mencoba menenangkan pria itu.

“Jangan khawatir, Pak. Suatu hari nanti akan ada sosok yang akan menerima dan melengkapi kekurangan bapak itu,”

Jeffin melepaskan pelukannya. “Apakah orang itu kamu, Lun?”. Luna mengangkat bahunya. “Gak tau, saya gak bisa prediksi apa yang akan terjadi kedepannya.” Jeffin tersenyum mendengarnya. “Saya harap itu kamu, Lun.”

Luna pun mengalihkan pandangannya pada jam tangan yang dikenakannya. Jam menunjukkan pukul 23.00 WIB.

“Mending sekarang bapak pulang. Udah jam segini, saya juga mau istirahat,”

“Yah Lunanya balik lagi jadi yang biasa, padahal tadi manis banget,” ujar Jeffin seraya tersenyum. Luna yang mendengarnya pun hanya memutar bola matanya malas.

“Yaudah saya pamit. Ibu kamu mana?”

“Ibu pasti udah tidur jam segini,”

“Kalau gitu sampaikan aja ke ibu kamu. Saya pamit.” Jeffin pun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi dari sana.

Setelah Luna melihat Jeffin dan mobilnya sudah pergi dari rumahnya, ia pun masuk ke dalam rumahnya.

justdoy_it

“Kamu gak perlu takut kalau mereka meninggalkanmu hanya karena kekurangan yang kamu miliki, karena itu artinya mereka bukan orang yang tepat di hidupmu.” — Naluna Asmadya (FKTM AU, 2021)

image


Siang itu, langit sangat cerah. Seorang gadis melangkahkan kakinya menuju warung soto yang berada di samping kantor tempatnya bekerja. Gadis itu adalah Naluna Asmadya.

Bertepatan dengan Luna yang duduk, seorang pria pun duduk di hadapannya. Orang itu adalah Jeffin Arkadio.

Setelah memesan soto, mereka pun menunggu pesanan tersebut datang sambil mengobrol.

“Pak Jeff, tadi ke sini sendiri?”

Jeffin mengerutkan dahinya, ia bingung maksud dari Luna. “Iya, sendiri. Emangnya kenapa, Lun?”

“Jadi, tadi saya di chat lagi sama pacar bapak. Dia gak terima soal saya yang nemuin bapak kemarin—” Luna menjeda ucapannya, kemudian ia melanjutkannya. “Gak cuma tadi sih, kemarin juga. Katanya dia gak sengaja lewat, terus liat kita pegangan tangan.”

“Saya gak tau kalau dia akan jadi se-obsesi ini,”

“Jadi benar dia pacar Bapak?”

Jeffin menggelengkan kepalanya. “Bukan—” omongannya terpotong oleh pesanan yang datang.

“Bukan, dia bukan pacar saya. Dia teman saya sejak kuliah, tapi dia pindah waktu semester 3,”

Luna hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun mulai menyantap makanannya.

“Terus kok dia bisa sampai segitunya?”

“Saya juga gak tahu. Karena Laura yang sekarang sudah banyak berubah. Nothing stays the same.

Luna mengangguk setuju dengan ucapan Jeffin. Mereka pun memilih untuk makan dalam diam agar bisa menikmati makanannya.

Setelah menyelesaikan acara makannya, Jeffin kembali membuka suaranya. “Lun, saya kan waktu itu udah bilang kalau saya jatuh cinta sama kamu. Jadi, kamu mau nerima cinta saya gak?”

Uhuk....

Luna yang sedang meminum es teh manisnya pun tersedak begitu mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Jeffin. Jeffin dengan sigap mengambil tisu dan mengelap bibir dan dagu Luna yang basah akibat es teh manis tersebut.

“Pelan-pelan, Lun,”

“Udah pelan-pelan. Bapaknya aja yang ngagetin,” omel Luna.

“Loh? Perasaan saya nanya deh bukan ngagetin,”

“Ya pertanyaannya itu bikin kaget,” omel Luna lagi.

“Maaf deh, tapi gimana, Lun?”

“Saya belum bisa pak karena saya juga gak ada perasaan apa-apa ke bapak,” jelas Luna dengan tegas. Jeffin kecewa mendengar jawaban dari Luna. Namun ia paham, ini terlalu cepat bagi Luna.

“Ya udah gapapa. Tapi saya izin buat mendekati kamu dan buat saya jatuh cinta, ya?”

“Itu terserah bapak,”

“Kamu sukanya cowok yang gimana?” Tanya Jeffin tiba-tiba.

“Yang baik, sopan, bisa mengontrol emosinya juga,”

Jawaban Luna tersebut membuat Jeffin bungkam. Ia merasa ada kriteria yang tidak masuk dengan dirinya.

“Tapi bapak jangan sampai merubah diri bapak hanya karena orang lain. Karena nanti kalau orang tersebut pergi, bapak bisa aja kembali ke diri bapak yang semula. Jadi, kalau mau berubah, berubah untuk diri sendri dan memang bapak ingin menjadi lebih baik,” lanjut Luna.

Jeffin terpukau oleh perkataan Luna. Ia menatap manik mata Luna. Gadis di hadapannya tak pernah henti untuk membuatnya terus jatuh ke dalam pesona gadis itu.

Luna menepuk pundak Jeffin. “Saya duluan ya, Pak. Udah mau masuk. Pesanannya juga udah saya bayar.”

“Kenapa kamu yang bayar, Lun? Harusnya kan saya sebagai pria yang harus bayar,”

“Perkara bayar makanan itu gak dilihat dari gender, Pak.” Luna pun melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana. Menyisakan Jeffin yang masih kagum dengan gadis itu.

“Saya gak salah jatuh cinta sama kamu, Luna.”

©justdoy_it

“Jangan mengubah diri kamu hanya demi orang lain karena bisa saja ketika orang tersebut suatu hari nanti pergi, kamu kembali ke dirimu yang sebelumnya. Berubahlah karena memang kamu sendiri yang ingin menjadi lebih baik.” — Naluna Asmadya 2021 (FKTM AU)