justdoyit

image


Siang itu, langit sangat cerah. Seorang gadis melangkahkan kakinya menuju warung soto yang berada di samping kantor tempatnya bekerja. Gadis itu adalah Naluna Asmadya.

Bertepatan dengan Luna yang duduk, seorang pria pun duduk di hadapannya. Orang itu adalah Jeffin Arkadio.

Setelah memesan soto, mereka pun menunggu pesanan tersebut datang sambil mengobrol.

“Pak Jeff, tadi ke sini sendiri?”

Jeffin mengerutkan dahinya, ia bingung maksud dari Luna. “Iya, sendiri. Emangnya kenapa, Lun?”

“Jadi, tadi saya di chat lagi sama pacar bapak. Dia gak terima soal saya yang nemuin bapak kemarin—” Luna menjeda ucapannya, kemudian ia melanjutkannya. “Gak cuma tadi sih, kemarin juga. Katanya dia gak sengaja lewat, terus liat kita pegangan tangan.”

“Saya gak tau kalau dia akan jadi se-obsesi ini,”

“Jadi benar dia pacar Bapak?”

Jeffin menggelengkan kepalanya. “Bukan—” omongannya terpotong oleh pesanan yang datang.

“Bukan, dia bukan pacar saya. Dia teman saya sejak kuliah, tapi dia pindah waktu semester 3,”

Luna hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun mulai menyantap makanannya.

“Terus kok dia bisa sampai segitunya?”

“Saya juga gak tahu. Karena Laura yang sekarang sudah banyak berubah. Nothing stays the same.

Luna mengangguk setuju dengan ucapan Jeffin. Mereka pun memilih untuk makan dalam diam agar bisa menikmati makanannya.

Setelah menyelesaikan acara makannya, Jeffin kembali membuka suaranya. “Lun, saya kan waktu itu udah bilang kalau saya jatuh cinta sama kamu. Jadi, kamu mau nerima cinta saya gak?”

Uhuk....

Luna yang sedang meminum es teh manisnya pun tersedak begitu mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Jeffin. Jeffin dengan sigap mengambil tisu dan mengelap bibir dan dagu Luna yang basah akibat es teh manis tersebut.

“Pelan-pelan, Lun,”

“Udah pelan-pelan. Bapaknya aja yang ngagetin,” omel Luna.

“Loh? Perasaan saya nanya deh bukan ngagetin,”

“Ya pertanyaannya itu bikin kaget,” omel Luna lagi.

“Maaf deh, tapi gimana, Lun?”

“Saya belum bisa pak karena saya juga gak ada perasaan apa-apa ke bapak,” jelas Luna dengan tegas. Jeffin kecewa mendengar jawaban dari Luna. Namun ia paham, ini terlalu cepat bagi Luna.

“Ya udah gapapa. Tapi saya izin buat mendekati kamu dan buat saya jatuh cinta, ya?”

“Itu terserah bapak,”

“Kamu sukanya cowok yang gimana?” Tanya Jeffin tiba-tiba.

“Yang baik, sopan, bisa mengontrol emosinya juga,”

Jawaban Luna tersebut membuat Jeffin bungkam. Ia merasa ada kriteria yang tidak masuk dengan dirinya.

“Tapi bapak jangan sampai merubah diri bapak hanya karena orang lain. Karena nanti kalau orang tersebut pergi, bapak bisa aja kembali ke diri bapak yang semula. Jadi, kalau mau berubah, berubah untuk diri sendri dan memang bapak ingin menjadi lebih baik,” lanjut Luna.

Jeffin terpukau oleh perkataan Luna. Ia menatap manik mata Luna. Gadis di hadapannya tak pernah henti untuk membuatnya terus jatuh ke dalam pesona gadis itu.

Luna menepuk pundak Jeffin. “Saya duluan ya, Pak. Udah mau masuk. Pesanannya juga udah saya bayar.”

“Kenapa kamu yang bayar, Lun? Harusnya kan saya sebagai pria yang harus bayar,”

“Perkara bayar makanan itu gak dilihat dari gender, Pak.” Luna pun melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana. Menyisakan Jeffin yang masih kagum dengan gadis itu.

“Saya gak salah jatuh cinta sama kamu, Luna.”

©justdoy_it

“Jangan mengubah diri kamu hanya demi orang lain karena bisa saja ketika orang tersebut suatu hari nanti pergi, kamu kembali ke dirimu yang sebelumnya. Berubahlah karena memang kamu sendiri yang ingin menjadi lebih baik.” — Naluna Asmadya (FKTM AU, 2021)

image


Sore itu, Luna berjalan ke arah coffee shop tempatnya dan Jeffin temu janji. Ia berjalan kaki karena lokasinya yang tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu sekitar 15 menit Luna sudah sampai. Ia pun masuk dan mengambil tempat yang berada di sudut ruangan karena hanya tempat itu yang tersisa. Pasalnya dikala sore hari, coffee shop itu banyak dikunjungi orang yang baru pulang kantor.

Sudah 10 menit Luna menunggu namun belum ada tanda kemunculan Jeffin. Luna bahkan sudah memesan minuman.

“Maaf buat kamu nunggu,” ujar seseorang yang baru saja duduk di hadapannya.

Luna melihat orang yang di hadapannya, dia adalah Jeffin. Penampilannya sekilas tidak aneh sama sekali karena ia mengenakan kaus polos dan jaket jeans serta celana jeans yang terbilang rapi. Namun jika diperhatikan lagi, rambutnya sedikit berantakan, kantung mata yang sedikit menghitam serta bibir yang pucat.

“Bapak sakit?” tanya Luna.

“Nggak, saya baik-baik aja,” jawabnya dengan senyuman dan juga tatapan sayunya.

“Kalau sakit, diundur aja deh ketemunya,”

“Jangan dong, saya udah jauh-jauh nyetir ke sini loh,” ujar Jeffin sambil meminum kopi yang sudah dipesankan Luna tadi.

“Oke. Jadi, saya mau dengar penjelasan bapak tentang Laura-” belum sempat Luna menyelesaikan perkataannya, Jeffin sudah beranjak dari duduknya dan menuju toilet.

“Dia kenapa?” pikir Luna. Ia bingung harus menyusul Jeffin atau tidak.

5 menit kemudian Jeffin kembali dengan wajah yang semakin pucat. Hal itu membuat Luna khawatir. Ia pun mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahi pria itu. Ia terkejut begitu kulit tangannya mengenai dahi pria itu. Sangat panas.

“Bapak mending ke rumah sakit aja, deh,” pinta Luna. Jeffin hanya menggelengkan kepalanya. “Gak perlu.”

“Yaudah kita pulang aja,”

Jeffin pun mengangguk, ia meraih kunci mobil yang ia letakkan di meja sejak kedatangannya tadi.

“Jangan aneh-aneh, deh. Bapak lagi begini gak akan bisa nyetir. Kita pesan taksi aja, nanti mobil bapak saya suruh Janu yang ambil,”

Jeffin pun hanya bisa pasrah karena ia sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. Luna pun segera membayar minuman mereka dan keluar dari sana.

Tak perlu menunggu waktu lama agar taksi online pesanan Luna datang. Mereka pun langsung masuk ke dalam taksi. Luna meletakkan kepala Jeffin di bahunya. Ia semakin khawatir karena demamnya yang semakin tinggi dan keringat banyak keringat yang keluar.


Luna membawa Jeffin ke unitnya dengan dibantu oleh satpam. Setelah mengetikkan password unit apartement Jeffin, Luna membawa pria itu masuk dan merebahkannya di atas sofa bed yang berada di ruang TV. Ia pun membuka jaket jeans, sepatu hingga kaus kaki yang dikenakan pria itu. Setelahnya, ia pergi untuk membuat air kompresan.

Ia pun kembali dengan air kompresan untuk Jeffin. Ia mengompres pria itu dengan hati-hati. Setelah selesai, ia menghubungi Janu untuk datang ke sini. Namun Janu berkata bahwa ia tidak bisa ke sana karena harus kuliah.

“Terus maksud dia gue gak kuliah gitu?” omel Luna pada ponsel yang masih ia genggam padahal panggilannya dengan Janu sudah selesai.

Luna menatap Jeffin yang terlelap dengan damai. Ia ingin pulang namun ia tidak tega pada pria itu. Siapa yang akan menjaganya jika Luna pergi?

Luna pun memutuskan untuk duduk di lantai, hingga akhirnya ia pun ikut terlelap sambil menggenggam tangan Jeffin.

justdoy_it

image


Kini, Jeffin dan Luna sedang duduk di taman yang berada tidak jauh dari kantor Luna. Setelah tadi Luna menyetujui untuk menemui Jeffin dan mendengarkan penjelasan yang ingin disampaikan oleh Jeffin, mereka memutuskan untuk mengobrol di taman yang saat ini tidak terlalu ramai.

“Jadi mau ngomong apa cuma mau diam aja, Pak?”

“Mau ngomong, tapi saya bingung harus mulai dari mana,”

“6 menit lagi,” peringat Luna.

“Iya, ini saya mulai. Jadi, saya mau bilang kalau Laura itu bukan pacar saya.” Jeffin menjeda perkataannya. Ia melihat reaksi dari Luna. Ternyata tidak ada reaksi jelas dari Luna. Gadis itu masih dengan wajah datarnya.

“Saya sama dia itu cuma teman. Saya ketemu sama dia malam itu karena katanya ada hal penting yang ia ingin bicarakan. Saya juga gak nyangka dia bakal gitu,”

“Terus maksud bapak, Mbak Laura bohong sama saya?”

Jeffin menganggukkan kepalanya. “Iya.”

Luna tertawa dipaksakan. “Buat apa coba dia bohong soal itu, Pak? Udah deh, bapak gak usah menutupi kelakuan buruk bapak dengan cara begini.”

Luna pun beranjak dari duduknya. Ia melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana. Namun ia menghentikan langkahnya. “Jangan ganggu saya lagi untuk masalah ini karena saya sama sekali gak peduli mau bapak pacaran atau pun nggak.”

“Tapi buat saya ini penting,”

Luna menaikkan sebelah alisnya yang mengisyaratkan agar Jeffin menjabarkan alasan dari perkataannya barusan.

“Karena saya jatuh cinta sama kamu. Bahkan sejak pertama kali saya dengar suara kamu di telepon waktu itu,”

Luna tertawa keras. “Lelucon macam apa itu, Pak?”

Jeffin pun berdiri di hadapan Luna, ia mengambil kedua tangan Luna untuk digenggam. “Saya mungkin sering bercanda, tapi kali ini saya serius. Saya jatuh cinta dengan kamu melalui suara kamu.”

Luna pun menghentikan tawanya. Ia menatap kedua manik mata Jeffin. Ia tidak melihat adanya kebohongan di sana. Namun ia menolak untuk mengakui kebenaran yang ada. Luna melepaskan genggaman itu.

“Bapak pikir saya percaya? Mana ada jatuh cinta dari suara, Pak,”

“Saya harus apa, Luna?”

“Bapak gak harus ngapa-ngapain. Cukup menjauh dari saya mulai sekarang.” Luna melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana dan meninggalkan Jeffin yang hanya diam menatap punggung Luna yang perlahan menghilang dari pandangannya.

justdoy_it

image


Setelah mengimkan pesan di grup yang berisi bahwa ia akan menemui Jonas, Jeffin segera memasukkan ponselnya ke dalam sakunya. Ia pun berjalan keluar dari ruangannya dengan wajah yang menahan amarah. Para karyawan yang berpapasan dengannya pun takut ketika melihat ekspresi marah Jeffin tersebut.

Setelah sampai di parkiran mobil, ia segera masuk ke dalam mobilnya dan menutup pintu mobilnya dengan cara membantingnya keras. Ia pun langsung menancapkan gas untuk keluar dari area parkir.

Selama diperjalanan, Jeffin tak henti-hentinya merutuki kebodohan yang diperbuat oleh sahabatnya, Jonas.

Setelah sampai di halaman rumah Jonas, Jeffin memarkirkan mobilnya secara asal. Ia segera melangkahkan kakinya menuju pintu rumah Jonas dan mengetuknya dengan keras.

“Keluar lo, Bang Jo!” teriak Jeffin.

Pintu pun terbuka dan menampakkan Jonas dengan pakaian santainya.

Bugh...

Sebuah pukulan keras mendarat di pipi bagian kanan Jonas. Akibatnya, bagian sudut bibirnya berdarah.

“Lo tuh bego banget, Bang,” ujar Jeffin yang ingin melayangkan kembali pukulan kepada Jonas. Namun Jonas lebih dulu menangkisnya dan balik memukul wajah mulus milik Jeffin.

“Lo yang sopan ya, Jeff. Ini rumah gue,” peringat Jonas.

Jeffin menarik kerah baju yang dikenakan Jonas. “Cih! Lo tuh gak bisa dilembutin, Bang. Lo harus ditonjok dulu biar sadar.”

“Bagus banget lo berdua,” ujar sebuah suara yang berhasil membuat atensi Jonas dan Jeffin teralihkan.

Darga berdiri di sana dengan dua buah balok yang berada di tangan kanan dan kirinya. Ia pun melempar kedua balok itu ke arah Jonas dan Jeffin. Balok tersebut pun mendarat di dekat kaki keduanya.

“Masih mau lanjut? Pake itu, biar lukanya gak nanggung,” sarkas Darga.

“Gila ya lo? Bisa mati kita,” protes Jeffin.

“Lah itu lo takut mati, tapi gayanya kayak jagoan.” Darga berjalan mendekat ke arah keduanya.

“Ini keburukan lo, Jeff. Lo gak bisa ngontrol emosi lo. Dan lo Bang Jo, lo tuh terlalu pakai perasaan,”

Keduanya terdiam, mereka sama-sama mengatur napasnya dan mencoba meredamkan amarah masing-masing.

“Semua bisa diobrolin baik-baik tanpa kekerasan. Apa menurut lo berdua masalah bakal selesai kalau kalian bonyok? Nggak,”

Keduanya masih menyimak apa yang dikatakan oleh Darga. Mereka sadar bahwa apa yang dikatakan oleh Darga itu benar.

“Mending lo pergi temuin Lunanya langsung, Jeff. Dan buat Bang Jo, ini bukan kali pertama lo dimanfaatin Laura. Sadar Bang, Laura udah pernah hancurin kita di masa lalu. Apa lo mau itu terulang?”

Jonas terdiam. Darga benar, sudah berkali-kali ia dimanfaatkan oleh Laura hanya untuk mencapai tujuan gadis itu. Ia pun benci dengan dirinya yang terlalu menggunakan perasaannya. Ia mengira bahwa perasaannya pada Laura sudah mati karena ia bisa menyukai Luna. Namun ia salah, Laura masih memiliki tempat di hatinya.

“Gue cabut dulu,” ujar Jeffin yang segera pergi dari sana dan menyisakan Darga dan Jonas di sana.

justdoy_it

image


Pagi itu, Luna sudah siap untuk berangkat ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu pergi. Jadi, hanya tersisa ia dan Jilan.

“Adek,” panggil Luna dari ruang tamu.

Jilan yang merasa terpanggil pun segera menyahut. “Apa, Kak?”.

“Kakak berangkat, Ya?”

“Iya,”

“Nanti jangan lupa kunci pintunya,”

“Iya,”

Setelah mendengar jawaban Jilan tersebut, Luna segera melangkahkan kakinya untuk keluar rumah.

Baru saja ia membuka pintu rumahnya, ia sudah dikejutkan dengan keberadaan seseorang dengan senyumannya.

“Pak Jeffin ngapain pagi-pagi di sini?”

“Mau minta buka blokiran di WhatsApp,” jawab Jeffin dengan senyumannya.

“Astaga! Ya gak perlu sampai ke sini,”

“Ya habisnya kan kamu blokir saya. Saya minta tolong ke Janu juga gak membantu. Jadi, langsung aja saya yang ke sini,”

“Iya, nanti dibuka.” Luna pun melangkah untuk pergi dari sana.

Jeffin mengikuti langkah Luna. “Buka sekarang dulu, Luna.”

Luna tidak mengindahkan ucapan Jeffin barusan. Ia masih tetap melangkahkan kakinya. Jeffin yang melihat hal tersebut pun langsung berdiri di hadapan Luna untuk menghentikan langkah kaki gadis itu.

Luna pun menghentikan langkahnya dan menatap kesal ke arah Jeffin. “Saya bilang nanti, ya nanti saja, Pak.”

“Sekarang aja, Luna,”

Luna mendecak sebal. “Nanti atau gak saya buka selamanya.”

Perkataan Luna barusan cukup untuk membungkan Jeffin. Luna pun kembali melangkahkan kakinya melewati Jeffin yang masih berdiri di sana.

Jeffin pun tersadar dan kembali mengikuti langkah Luna. “Okay, tapi saya antar kamu, Ya?”

Luna sudah benar-benar jengah dengan sikap Jeffin yang menurutnya sangat mengganggu.

“Nggak, saya masih bisa sendiri, Pak,”

Lagi, Jeffin mengambil inisiatif untuk berdiri di hadapan Luna untuk menghentikan langkah gadis itu.

“Kamu kenapa sih, Lun?”

“Bapak yang kenapa?”

“Loh, kok saya?”

“Bapak ngapain ganggu saya terus? Saya mau kerja, Pak,”

“Ya udah, saya yang antar kamu,” ujar Jeffin yang masih bersikeras untuk mengantar Luna.

“Gak perlu. Saya masih bisa sendiri,”

“Sejak semalam kamu aneh, Lun. Biasanya kalau saya godain kamu gak sampai nge-blokir, tapi semalam?”

“Ya karena saya gak mau jadi orang ketiga, Pak,”

Jeffin mengerutkan dahinya. Ia bingung dengan maksud dari perkataan Luna barusan.

“Maksud kamu?”

“Saya lihat kok bapak semalam ada di café yang sama dengan saya semalam,”

“Ah! Jadi kamu lihat saya sama Laura juga?”

Luna pun menganggukkan kepalanya. Baru saja Jeffin ingin meluruskan permasalahannya, sebuah klakson mengejutkan mereka.

“Bapak kalau udah punya pacar jangan ganggu kakak saya lagi dong,” ujar Jilan. Suara klaksor barusan juga berasal dari motor yang dikendarai oleh Jilan.

“Tapi saya—”

“Sekarang mending bapak pergi aja. Jangan pernah berani buat muncul lagi dan mainin kakak saya.” Jilan pun menatap kakaknya dan mengisyaratkan agar segera naik ke motornya.

Tanpa menunggu lama, Luna segera naik ke motor Jilan. Jilan pun melajukan motornya untuk pergi dari sana dan menyisakan Jeffin yang masih berdiri di sana.

“Laura..kenapa selalu ngerusak, sih?” Jeffin pun mengacak rambutnya frustasi.

Ia pun masuk ke dalam mobilnya dan melajukan mobilnya untuk pergi dari sana.

©justdoy_it

image

Malam itu, Jeffin sampai di depan cafe tempat janji temunya dengan Laura. Ia pun segera masuk ke dalam cafe tersebut. Sedikit sulit untuk mencari keberadaan Laura karena suasana cafe yang ramai.

Hingga akhirnya ia pun melihat seorang gadis berambut hitam dengan paduan sedikit warna biru sedang duduk di sudut ruangan ditemani dengan secangkir kopi dan ponsel yang ia mainkan.

Jeffin pun melangkahkan kakinya menghampiri gadis yang tak lain adalah Laura. Ia pun mendudukkan dirinya di hadapan Laura.

Gadis yang merasa ada seseorang duduk di hadapannya itu pun mengangkat pandangannya. Gadis itu tersenyum begitu melihat orang yang duduk di hadapannta adalah Jeffin.

“Jadi, mau ngomong apa?” Tanya Jeffin to the point.

Laura pun terkekeh melihat Jeffin yang tidak suka basa-basi. “Santai aja, Jeff. Kamu bahkan belum pesan minum.”

“Gak perlu. Aku gak punya banyak waktu.”

“Apa ini sambutan kamu sama orang yang udah lima tahun gak ketemu sama kamu?”

Jeffin mendecak kesal. “Kalau emang gak ada hal penting, aku pulang.” Ia pun beranjak dari kursinya. Namun, Laura menahan tangan Jeffin.

“Oke. Aku langsung ngomong,”

Setelah mendengar ucapan Laura barusan, Jeffin kembali duduk di kursinya.

“I'm sorry for what I've done 5 years ago,”

Jeffin pun mulai menyimak pembicaraan Laura.

“Jadi, ayo kita balik lagi ke masa lima tahun lalu. Masa di mana kita selalu bersama,”

“Masa di mana kita tak terpisahkan. Lupakan semua kejadian dulu,”

Jeffin terkejut mendengar ucapan Laura. Ia pun menatap malas Laura.

“Kamu bilang lupakan? Setelah kamu buat semuanya hancur. Lalu dengan tanpa rasa bersalahnya kamu pergi ke Australia dan gak pamit sama sekali,”

“Aku gak sempat, Jeff. Dan aku ke sana juga buat lanjutin studi aku,”

“Alasan klasik,”

Laura mengulurkan tangannya, ia memegang pipi kanan Jeffin dan mengelusnya. “Aku harus apa lagi biar semua bisa balik kayak dulu?”

Jeffin menepis tangan Laura yang berada di pipinya. “Gak ada. Karena sampai kapan pun kita gak bisa balik ke masa itu.”

Jeffin pun berdiri dan melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana. Namun baru selangkah ia melangkahkan kakinya, Laura mengucapkan sesuatu.

“Oke. Kalau gitu aku bakal ngomong sama Kak Jo aja,”

Jeffin tidak memedulikannya lagi. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat untuk pergi dari sana.

Ketika ia hampir sampai di pintu keluar, ia melihat Luna dan rekan-rekan kerjanya yang sedang makan malam bersama di sana.

Pikirannya tertuju pada momen Laura memegang dan mengelus pipinya tadi. Apakah Luna melihatnya? Kalau pun gadis itu melihatnya, apakah ia akan peduli?

Akhirnya Jeffin pun keluar dari sana. Ia masuk ke dalam mobilnya dan langsung melajukan mobilnya untuk pergi dari sana.


Sementara di sisi lain, Luna melihat Jeffin dengan seorang gadis yang ia tidak tahu siapa. Namun, ia asumsikan itu adalah kekasih dari Jeffin. Sebab, ia melihat bahwa gadis itu menatap Jeffin dengan tatapan berbeda dan juga gadis itu mengelus pipi Jeffin.

“Terus ngapain gue peduli?” Batinnya.

“Tapi aneh aja sih. Udah punya pacar kok masih suka godain cewek lain? Tipikal cowok yang harus dihindari banget. Semoga gue gak dapat jodoh modelan gitu, deh,” batinnya lagi.

Ia pun menepis segala pikirannya tentang Jeffin. Ia berkata pada dirinya bahwa itu tidak penting. Dan ia mencoba untuk memfokuskan dirinya pada rekan-rekan kerjanya yang ada bersamanya saat itu.

©justdoy_it

image

Pagi itu, Luna sudah siap untuk pergi bersama dengan adiknya, Jilan. Ia pun segera menuju ke ruang tamu untuk menemui Jeffin yang sudah datang sejak tadi untuk menemui Luna. Luna bisa melihat bahwa Jeffin sedang berbincang dengan ibunya. Sesekali juga mereka tertawa dan hal tanpa sadar membuat hati Luna menghangat. Ibunya terlihat begitu nyaman mengobrol dengan Jeffin.

Luna pun mendekat ke arah ibunya dan juga Jeffin. Hal itu membuat kedua orang yang sedang mengobrol itu pun menoleh ke arahnya.

“Mau perginya bareng nak Jeffin juga kan, Nak?” Tanya ibunya lembut.

Luna sudah tidak terkejut lagi, karena ia tahu ini pasti ulah Jeffin. Ia pun menatap kesal ke arah Jeffin. Sementara yang ditatap hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

“Tapi kan aku mau berdua aja sama adek, Bu,”

“Adek gak masalah kok kak kalau kita perginya bertiga, kan makin seru,” sahut Jilan yang tiba-tiba saja berdiri di sebelah Luna.

Luna menghembuskan napasnya, ia sudah pasrah saja. Suka ataupun tidak dia harus terima jika Jeffin ikut bersamanya dan Jilan.

“Yaudah deh, pergi sekarang aja berarti,”

“Hati-hati, Nak. Nak Jeffin ibu titip Jilan sama Luna ya. Tolong dijagain,”

Jeffin pun bangkit dari duduknya, ia tersenyum ke arah Winodya, ibu Luna dan Jilan. “Pasti bu. Saya pastikan mereka berdua gak akan lecet sedikit pun.”

Bu Winodya pun terkekeh mendengar perkataan Jeffin.

Setelah pamit, mereka bertiga pun berjalan keluar, menuju mobil milik Jeffin. Jeffin pun membukakan pintu mobil untuk Luna. Ia juga meletakkan tangannya di atas kepala Luna agar kepalanya tidak terantuk bagian atas dari pintu mobil.

“Ekhem…” Jilan sengaja berdeham untuk menggoda keduanya. Jeffin hanya terkekeh santai. Sementara Luna menjadi salah tingkah.

Setelah selesai, Jeffin menuju ke sisi mobil yang lainnya. Begitu dirasa sudah siap, ia mulai melajukan mobilnya untuk membelah jalanan yang pagi itu cukup sepi.

©justdoy_it

image)

Pagi itu, Luna sudah siap untuk pergi bersama dengan adiknya, Jilan. Ia pun segera menuju ke ruang tamu untuk menemui Jeffin yang sudah datang sejak tadi untuk menemui Luna. Luna bisa melihat bahwa Jeffin sedang berbincang dengan ibunya. Sesekali juga mereka tertawa dan hal tanpa sadar membuat hati Luna menghangat. Ibunya terlihat begitu nyaman mengobrol dengan Jeffin.

Luna pun mendekat ke arah ibunya dan juga Jeffin. Hal itu membuat kedua orang yang sedang mengobrol itu pun menoleh ke arahnya.

“Mau perginya bareng nak Jeffin juga kan, Nak?” Tanya ibunya lembut.

Luna sudah tidak terkejut lagi, karena ia tahu ini pasti ulah Jeffin. Ia pun menatap kesal ke arah Jeffin. Sementara yang ditatap hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

“Tapi kan aku mau berdua aja sama adek, Bu,”

“Adek gak masalah kok kak kalau kita perginya bertiga, kan makin seru,” sahut Jilan yang tiba-tiba saja berdiri di sebelah Luna.

Luna menghembuskan napasnya, ia sudah pasrah saja. Suka ataupun tidak dia harus terima jika Jeffin ikut bersamanya dan Jilan.

“Yaudah deh, pergi sekarang aja berarti,”

“Hati-hati, Nak. Nak Jeffin ibu titip Jilan sama Luna ya. Tolong dijagain,”

Jeffin pun bangkit dari duduknya, ia tersenyum ke arah Winodya, ibu Luna dan Jilan. “Pasti bu. Saya pastikan mereka berdua gak akan lecet sedikit pun.”

Bu Winodya pun terkekeh mendengar perkataan Jeffin.

Setelah pamit, mereka bertiga pun berjalan keluar, menuju mobil milik Jeffin. Jeffin pun membukakan pintu mobil untuk Luna. Ia juga meletakkan tangannya di atas kepala Luna agar kepalanya tidak terantuk bagian atas dari pintu mobil.

“Ekhem…” Jilan sengaja berdeham untuk menggoda keduanya. Jeffin hanya terkekeh santai. Sementara Luna menjadi salah tingkah.

Setelah selesai, Jeffin menuju ke sisi mobil yang lainnya. Begitu dirasa sudah siap, ia mulai melajukan mobilnya untuk membelah jalanan yang pagi itu cukup sepi.

©justdoy_it

Kedatangan

Pagi itu, Luna sudah siap untuk pergi bersama dengan adiknya, Jilan. Ia pun segera menuju ke ruang tamu untuk menemui Jeffin yang sudah datang sejak tadi untuk menemui Luna. Luna bisa melihat bahwa Jeffin sedang berbincang dengan ibunya. Sesekali juga mereka tertawa dan hal tanpa sadar membuat hati Luna menghangat. Ibunya terlihat begitu nyaman mengobrol dengan Jeffin.

Luna pun mendekat ke arah ibunya dan juga Jeffin. Hal itu membuat kedua orang yang sedang mengobrol itu pun menoleh ke arahnya.

“Mau perginya bareng nak Jeffin juga kan, Nak?” Tanya ibunya lembut.

Luna sudah tidak terkejut lagi, karena ia tahu ini pasti ulah Jeffin. Ia pun menatap kesal ke arah Jeffin. Sementara yang ditatap hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

“Tapi kan aku mau berdua aja sama adek, Bu,”

“Adek gak masalah kok kak kalau kita perginya bertiga, kan makin seru,” sahut Jilan yang tiba-tiba saja berdiri di sebelah Luna.

Luna menghembuskan napasnya, ia sudah pasrah saja. Suka ataupun tidak dia harus terima jika Jeffin ikut bersamanya dan Jilan.

“Yaudah deh, pergi sekarang aja berarti,”

“Hati-hati, Nak. Nak Jeffin ibu titip Jilan sama Luna ya. Tolong dijagain,”

Jeffin pun bangkit dari duduknya, ia tersenyum ke arah Winodya, ibu Luna dan Jilan. “Pasti bu. Saya pastikan mereka berdua gak akan lecet sedikit pun.”

Bu Winodya pun terkekeh mendengar perkataan Jeffin.

Setelah pamit, mereka bertiga pun berjalan keluar, menuju mobil milik Jeffin. Jeffin pun membukakan pintu mobil untuk Luna. Ia juga meletakkan tangannya di atas kepala Luna agar kepalanya tidak terantuk bagian atas dari pintu mobil.

“Ekhem…” Jilan sengaja berdeham untuk menggoda keduanya. Jeffin hanya terkekeh santai. Sementara Luna menjadi salah tingkah.

Setelah selesai, Jeffin menuju ke sisi mobil yang lainnya. Begitu dirasa sudah siap, ia mulai melajukan mobilnya untuk membelah jalanan yang pagi itu cukup sepi.

©justdoy_it

Kedatangan

Pagi itu, Luna sudah siap untuk pergi bersama dengan adiknya, Jilan. Ia pun segera menuju ke ruang tamu untuk menemui Jeffin yang sudah datang sejak tadi untuk menemui Luna. Luna bisa melihat bahwa Jeffin sedang berbincang dengan ibunya. Sesekali juga mereka tertawa dan hal tanpa sadar membuat hati Luna menghangat. Ibunya terlihat begitu nyaman mengobrol dengan Jeffin.

Luna pun mendekat ke arah ibunya dan juga Jeffin. Hal itu membuat kedua orang yang sedang mengobrol itu pun menoleh ke arahnya.

“Mau perginya bareng nak Jeffin juga kan, Nak?” Tanya ibunya lembut.

Luna sudah tidak terkejut lagi, karena ia tahu ini pasti ulah Jeffin. Ia pun menatap kesal ke arah Jeffin. Sementara yang ditatap hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

“Tapi kan aku mau berdua aja sama adek, Bu,”

“Adek gak masalah kok kak kalau kita perginya bertiga, kan makin seru,” sahut Jilan yang tiba-tiba saja berdiri di sebelah Luna.

Luna menghembuskan napasnya, ia sudah pasrah saja. Suka ataupun tidak dia harus terima jika Jeffin ikut bersamanya dan Jilan.

“Yaudah deh, pergi sekarang aja berarti,”

“Hati-hati, Nak. Nak Jeffin ibu titip Jilan sama Luna ya. Tolong dijagain,”

Jeffin pun bangkit dari duduknya, ia tersenyum ke arah Winodya, ibu Luna dan Jilan. “Pasti bu. Saya pastikan mereka berdua gak akan lecet sedikit pun.”

Bu Winodya pun terkekeh mendengar perkataan Jeffin.

Setelah pamit, mereka bertiga pun berjalan keluar, menuju mobil milik Jeffin. Jeffin pun membukakan pintu mobil untuk Luna. Ia juga meletakkan tangannya di atas kepala Luna agar kepalanya tidak terantuk bagian atas dari pintu mobil.

“Ekhem…” Jilan sengaja berdeham untuk menggoda keduanya. Jeffin hanya terkekeh santai. Sementara Luna menjadi salah tingkah.

Setelah selesai, Jeffin menuju ke sisi mobil yang lainnya. Begitu dirasa sudah siap, ia mulai melajukan mobilnya untuk membelah jalanan yang pagi itu cukup sepi.

©justdoy_it