justdoyit

Kedatangan

Pagi itu, Luna sudah siap untuk pergi bersama dengan adiknya, Jilan. Ia pun segera menuju ke ruang tamu untuk menemui Jeffin yang sudah datang sejak tadi untuk menemui Luna. Luna bisa melihat bahwa Jeffin sedang berbincang dengan ibunya. Sesekali juga mereka tertawa dan hal tanpa sadar membuat hati Luna menghangat. Ibunya terlihat begitu nyaman mengobrol dengan Jeffin.

Luna pun mendekat ke arah ibunya dan juga Jeffin. Hal itu membuat kedua orang yang sedang mengobrol itu pun menoleh ke arahnya.

“Mau perginya bareng nak Jeffin juga kan, Nak?” Tanya ibunya lembut.

Luna sudah tidak terkejut lagi, karena ia tahu ini pasti ulah Jeffin. Ia pun menatap kesal ke arah Jeffin. Sementara yang ditatap hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

“Tapi kan aku mau berdua aja sama adek, Bu,”

“Adek gak masalah kok kak kalau kita perginya bertiga, kan makin seru,” sahut Jilan yang tiba-tiba saja berdiri di sebelah Luna.

Luna menghembuskan napasnya, ia sudah pasrah saja. Suka ataupun tidak dia harus terima jika Jeffin ikut bersamanya dan Jilan.

“Yaudah deh, pergi sekarang aja berarti,”

“Hati-hati, Nak. Nak Jeffin ibu titip Jilan sama Luna ya. Tolong dijagain,”

Jeffin pun bangkit dari duduknya, ia tersenyum ke arah Winodya, ibu Luna dan Jilan. “Pasti bu. Saya pastikan mereka berdua gak akan lecet sedikit pun.”

Bu Winodya pun terkekeh mendengar perkataan Jeffin.

Setelah pamit, mereka bertiga pun berjalan keluar, menuju mobil milik Jeffin. Jeffin pun membukakan pintu mobil untuk Luna. Ia juga meletakkan tangannya di atas kepala Luna agar kepalanya tidak terantuk bagian atas dari pintu mobil.

“Ekhem…” Jilan sengaja berdeham untuk menggoda keduanya. Jeffin hanya terkekeh santai. Sementara Luna menjadi salah tingkah.

Setelah selesai, Jeffin menuju ke sisi mobil yang lainnya. Begitu dirasa sudah siap, ia mulai melajukan mobilnya untuk membelah jalanan yang pagi itu cukup sepi.

©justdoy_it

Seminggu sudah berlalu sejak pertemuan Luna dengan Jeffin di café. Sejak saat itu pula Jeffin tidak mengganggu Luna dengan pesan yang ia kirim kan seperti yang biasa ia lakukan. Hingga sore tadi, seorang kurir datang ke rumah Luna untuk mengantarkan sebuah paket yang ternyata berisi sebuah gaun berwarna putih. Gaun itu dikirimkan oleh Jeffin untuk Luna pakai malam ini di acara makan malam mereka.

Jika saja hari ini tidak ada kabar apapun dari Jeffin, Luna sudah bermalas-malasan di kamarnya. Mengingat ia sudah lelah selama seminggu ini. Luna pun mematut dirinya di depan cermin, guna melihat penampilannya.

Ponselnya pun menyala, sebuah notifikasi pesan whatsapp dari Jeffin muncul di sana. Ia pun segera membalasnya. Ia pun bertanya pada Jeffin apakah ia boleh untuk mengganti gaunnya? Namun Jeffin memintanya untuk tetap memakai gaun pemberiannya. Luna pun hanya bisa menurut.

Tokk..tokk..tokk..

Pintu kamar Luna diketuk, kemudian terdengar suara Jilan. “Kak, di bawah udah ada pacar kakak.” Luna mengernyitkan dahinya, ia bingung siapa yang dimaksud kekasihnya oleh Jilan?

Luna pun berjalan ke arah pintu kamarnya dan membukanya. “Pacar? Siapa?” tanyanya.

“Itu loh kak, cowok yang kemarin fotonya kakak tunjukin di chat kita,” jawab Jilan.

“Oh! Itu temen kakak bukan pacar,”

“Dia ngakunya pacar kakak.” Jilan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Yaudah, kakak pergi dulu ya. Nanti kalau ibu pulang, tolong bilangin kalau kakak ada acara makan malam di luar sama temen kakak,”

Jilan pun menganggukkan kepalanya. Setelah mendapatkan jawaban dari Jilan, Luna pun berjalan menuju ke teras rumahnya, tempat di mana Jeffin menunggunya.

Ia bisa melihat Jeffin sedang memainkan ponselnya. Luna pun berdeham. Hal itu membuat atensi Jeffin pada ponselnya teralih. Jeffin menoleh ke arah Luna, ia memandangi Luna dari kepala hingga ujung kaki Luna.

“Cantik,” gumam Jeffin. Luna yang salah tinngkah pun kembali berdeham untuk menetralkan perasaannya. “Ayo!” ujar Luna.

Jeffin pun tersadar dari kekagumannya terhadap Luna. Ia pun mengulurkan tangannya dan tersenyum. Luna yang bingung pun bertanya, “Buat apa?”. Jeffin semakin melebarkan senyumannya. Selanjutnya ia mengambil tangan Luna untuk ia genggam. Luna yang ingin protes pun langsung dibungkam oleh jari telunjuk milik Jeffin yang ditempelkan pria itu di bibir Luna.

“Tolong jangan menolak,” ujar Jeffin. Luna pun menghela napasnya dan menuruti keinginan Jeffin.


Dinner

Sesampainya mereka di sebuah restaurant yang cukup mewah, mereka langsung di arahkan menuju ruangan private yang ada di sana.

“Seharusnya gak perlu sampai sewa private room gini,” ujar Luna.

Jeffin hanya tersenyum, “Gak apa-apa. Saya emang lebih suka privasi begini.”

Selanjutnya mereka hanya saling diam, tidak ada yang membuka percakapan. Luna yang sibuk mengamati keindahan interior ruangan tersebut. Sementara Jeffin, ia sibuk mengamati pemandangan indah di hadapannya yang tak lain adalah Luna.

Hingga akhirnya pesanan mereka pun datang. Setelah piring-piring hidangan diletakkan di atas meja, Jeffin mengambil alih piring berisi steak milik Luna. Pria itu memotong steak tersebut dan mengembalikan piring tersebut kepada Luna ketika semua bagian sudah dipotong olehnya. Luna cukup terkesan oleh tindakan Jeffin barusan. Terlihat sederhana, namun itu cukup berarti karena hal itu dapat memudahkan Luna untuk menyantap makanannya.

Mereka berdua pun menyantap hindangannya dengan suasana hening. Hanya suara dentingan yang terdengar dari peralatan makan mereka saja yang terdengar.

“Boleh saya foto kamu?” Tanya Jeffin ketika mereka berdua sudah menyelesaikan acara makan mereka.

Lagi, Luna kembali terkesan dengan Jeffin. Jika biasanya orang lain hanya akan langsung mengambil gambarnya tanpa izin, Jeffin meminta izinnya terlebih dahulu. Hal itu membuat Luna merasa bahwa privasinya benar-benar dihargai oleh pria itu. Luna pun menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Jeffin tadi.

Setelahnya, mereka pun memilih untuk pulang. Luna sudah lelah dan Jeffin tahu itu walaupun gadis itu tidak mengatakannya. Ia pun mengambil inisiatif untuk mengantarkan gadis itu kembali ke rumahnya.

“Terima kasih, Luna.” Jeffin tersenyum pada Luna. Luna pun hanya menanggapinya dengan anggukan kepala. Setelah itu Luna turun dari mobil Jeffin dan masuk ke dalam rumahnya.

Bagi Jeffin, malam ini sangat berkesan. Walaupun ia tidak mengobrol banyak dengan gadis itu akibat terlalu mengagumi kecantikannya.

©justdoy_it

Setelah mendapatkan pesan dari Pak Tian yang mengatakan bahwa Bu Risa memanggilnya, Luna bergegas menuju ke ruangan baru Bu Risa. Ruangannya sudah bukan yang kemarin karena jabatan Bu Risa yang sudah naik menjadi manager. Setelah keluar dari lift, secara perlahan Luna melihat setiap ruangan., hingga ia menemukan satu ruangan yang bertuliskan Manager.

Luna melangkahkan kakinya menuju ruangan tersebut, lalu mengetuk pintunya terlebih dahulu. Setelah dipersilahkan masuk, barulah Luna membuka pintu ruangan tersebut dan masuk ke dalamnya.

Srakk…

Luna terkejut karena baru saja dirinya masuk, kumpulan kertas dilemparkan ke arahnya dan mengenai bagian wajahnya. Risa, pelaku yang melempar tumpukan kertas itu pun berdiri dan berjalan mendekati Luna. Luna memungut kerta-kertas yang berserakan di kakinya itu.

“Itu hasil performance kamu bulan ini. Dari 5 target, kamu cuma dapat 2?” Bu Risa menatap tajam Luna yang sudah berdiri kembali setelah merapikan kertas-kertas tadi.

“Maaf bu,” cicit Luna. Risa semakin mendekat ke arah Luna. “Maaf? Saya gak butuh kata maaf kamu, Luna. Yang saya butuhkan achievement kamu.”

Luna masih setia menundukkan kepalanya.

“Saya kan sudah bilang sama kamu, kalau kamu gak menghasilkan untuk perusahaan ini lebih baik kamu serahkan surat pengunduran diri kamu,”

“Gak ada yang berhak menyuruh Luna mengundurkan diri,” ujar seseorang yang baru saja membuka pintu ruangan Risa.

“Pa..Pak Jonas..” Risa gelagapan begitu melihat Jonas yang masuk ke dalam ruangannya di saat ia sedang memarahi Luna.

“Saya angkat jabatan kamu karena kamu cukup kompeten, Risa. Tapi bukan berarti kamu jadi semena-mena begini.” Jonas menatap Risa tajam. Jonas adalah tipikal orang yang tidak suka melihat orang lain menggunakan kekuasaan mereka untuk menindas orang lain.

“Gak gitu pak, ini salah paham,” ujar Risa yang mulai panik.

“Gak ada kesalahpahaman di sini. Saya lihat semuanya dari awal. Bahkan bagian kamu melempar Luna dengan kertas-kertas itu.” Jonas melirik ke arah kertas yang berada di dalam dekapan Luna.

“Pak Jo, maafin saya. Saya gak sengaja tadi,” ujar Risa.

“Minta maaf sama Luna bukan dengan saya,” pinta Jonas secara tegas.

Jauh di dalam hatinya Risa sangat kesal karena Jonas membela Luna lagi. Namun, ia harus berpura-pura meminta maaf dan baik pada Luna di depan Jonas.

“Luna, maafin saya ya.” Risa memegang pundak Luna dan menekannya keras serta memberi isyarat pada Luna lewat matanya.

“I..iya, Bu.” Luna meringis tertahan.

“Kali ini saya maafkan kamu, Risa. Tapi kalau lain kali kamu masih bersikap seperti ini sama karyawan lain, terutama Luna. Saya akan pecat kamu. Ayo, Luna” Jonas menarik tangan Luna dengan lembut. Lalu membawanya keluar dari ruangan Risa.

Risa yang melihatnya pun menahan rasa kesalnya. Untuk saat ini ia memilih diam, karena kalau ia melakukan tindakan lagi, Jonas bisa memecatnya. Risa tidak mau hal itu terjadi.


Kejadian Siang Itu

Jonas mengajak Luna makan siang di luar. Luna hanya menurut saja karena ia masih terkejut atas perlakuan Risa beberapa saat lalu. Selama di perjalanan pun Luna hanya diam dan matanya fokus membaca kertas yang berisi data performancenya bulan ini.

“Gak apa-apa, Lun. Kamu masih baru,” ujar Jonas yang melihat Luna terus menatap sedih ke arah kertas yang ia genggam.

“Tapi ini buruk pak,”

Jonas tersenyum, “Gak masalah, nanti belajar lagi. Siapa tau bulan depan rezeki kamu lebih bagus.” Luna pun hanya menganggukkan kepalanya.

Tak lama kemudian mereka sudah sampai di salah satu café yang tak jauh dari kantor mereka. Jonas dan Luna pun segera turun dari mobil, lalu berjalan masuk ke dalam café. Siang itu café tersebut ramai oleh pengunjung, sehingga hanya tersisa satu meja di sudut ruangan. Mereka pun memutuskan untuk duduk di sana karena tidak ada pilihan lain lagi.

Saat mereka menunggu pesanan mereka datang, seseorang pun datang ke meja mereka.

“Yoo Bang Jo, Luna!” sapa orang tersebut.

Jonas menatap malas ke arah orang tersebut. Orang itu pun mengambil duduk di sebelah Luna. “Gue duduk di sini ya. Soalnya udah gak ada meja kosong lagi.”

Jonas memutar bola matanya malas. “Ya kalau lo tau gak ada meja kosong, kenapa gak pergi cari café lain?”

Orang itu terkekeh, “Gue maunya di sini. Kebetulan juga kan ketemu kalian.”

“Bilang aja emang lo ada tujuan lain kan, Jeff?”

Jeffin, orang itu adalah Jeffin Arkadio. Ia hanya terkekeh dan mengedipkan sebelah matanya begitu mendengar perkataan Jonas. Jeffin tadinya memang ingin pindah café, namun netranya menangkap sosok Jonas dan Luna. Ia yang tidak ingin Jonas mendapat kesempatan untuk berduaan dengan Luna pun langsung menghampiri keduanya.

Setelah makanan datang, mereka pun mulai makan. Selama acara makan mereka, hanya Jeffin yang banyak berbicara karena suasana hati Jonas yang sudah tidak baik semenjak kedatangan Jeffin. Dan Luna yang masih enggan banyak bicara setelah kejadian di kantornya tadi.

©justdoy_it

Sore itu, Luna memutuskan untuk berangkat ke kampusnya dengan diantar oleh adiknya, Jilan. Ia tidak membalas pesan dari Janu, Pak Jonas ataupun Jeffin. Ia merasa mereka aneh.

Tok..tok..tok..

Pintu kamar Luna diketuk dan tak lama terdengar suara Jilan. Ia pun segera membuka pintu kamarnya. Jilan yang melihatnya pun berkata, “Udah siap kan, Kak?”. Luna menganggukkan kepalanya. Dan mereka pun bergegas untuk keluar dari rumah mereka.

“Kakak tumben minta dianter sama adek?” Tanya Jilan sembari menghidupkan mesin sepeda motornya dan mulai melajukan sepeda motornya.

“Lagi pengen aja sih. Kakak kangen banget dibonceng sama kamu,”

Jilan terkekeh mendengarnya, “Padahal baru beberapa hari lalu aku bonceng kakak.”

“Ya gapapa dong,”

Sebenarnya jawaban itu bukanlah jawaban kebohongan Luna. Ia memang rindu dengan adiknya. Akhir-akhir ini Luna terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kuliahnya sehingga ia jarang memiliki waktu dengan adik kesayangannya itu.


Sekitar 15 menit kemudian, mereka sudah sampai di kampus Luna. Luna pun segera turun dari sepeda motornya dan melepaskan helm yang dikenakannya. Sebelum masuk ke dalam kampusnya, Luna menyempatkan diri untuk pamit dengan adiknya. Bahkan ia sempat mencubit gemas pipi adiknya itu.

Ternyata hal tersebut mengundang tatapan dari mahasiswa yang sedang berada di sana. Luna pun segera menyudahinya dan masuk ke dalam kampusnya. Samar-samar ia mendengar bahwa mereka membicarakannya. Namun Luna tidak mengambil pusing hal itu. Ia terus berjalan hingga sampai ke dalam kelasnya.

Sesampainya di dalam kelas, ia melihat Janu sudah berada di tempat duduk kesukaannya, di pojok kanan ruangan.

“Luna!” panggil Janu. Pria itu pun melambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Luna duduk di dekatnya. Luna pun menurut, ia mengambil duduk di depan kursi Janu yang kebetulan kosong.

“Kok lo gak balas pesan gue sih?”

“Gue gak cek,” alibi Luna.

“Terus tadi lo berangkat sama siapa?”

“Adek gue, Nu. Lo kenapa sih nanya-nanya?”

“Gapapa, mau tau doing,” Janu merasa lega karena Luna tidak berangkat dengan Jonas ataupun Jeffin. Ia tahu bahwa kedua orang tersebut menawarkan diri untuk mengantarkan Luna.

Tak lama kemudian, Pak Darga memasuki ruang kelas mereka. Mata kuliah pertama pun dimulai. Suasana kelas sangat hening karena mereka tahu karakter Darga yang tegas dan tak segan-segan untuk mengeluarkan setiap mahasiswa yang berisik atau tidak fokus dalam kelasnya.

©justdoy_it

Setelah menerima pesan tidak mengenakkan dari atasannya, Risa. Luna melangkahkan kakinya ke sembarang arah hingga akhirnya ia sampai di rooftop. Ia melangkahkan kakinya sampai ke ujung pembatas. Ia melihat pemandangan yang berada di bawah sana.

Pesan dari Risa tadi cukup melukai hatinya. Ia merasa sakit hati karena Risa menuduhnya sebagai perempuan yang haus akan harta dan jabatan, sehingga menggoda Jonas untuk mendapatkan semuanya.

“Kenapa ya orang kayak gue selalu dipandang rendah?” Ujarnya bermonolog.

Ia menaiki pagar pembatas dan melihat ke arah bawah.

“Jangan!” Teriak sebuah suara, bersamaan dengan tangan Luna yang ditarik. Hal tersebut membuat keduanya terjatuh.

Orang tersebut terjatuh dengan posisi Luna yang menimpanya. Pandangan keduanya bertemu untuk sementara. Pandangan mereka segera terputus segera setelah Luna tersadar dan bangkit dari posisinya.

“Lo siapa sih? Ngapain narik gue?”

“Loh saya mau bantu kamu biar gak lompat ke bawah,”

“Lompat ke bawah?”

Orang tersebut menganggukkan kepalanya. Namun Luna malah tertawa kencang.

“Gue mungkin stress sama masalah dan pengen nyerah, tapi gue masih cukup waras buat gak lakuin hal begitu,”

“Ya bagus kalau gitu,”

Luna menatap pria tadi dengan seksama. Menurutnya, orang di hadapannya ini tidak asing. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa orang di hadapannya adalah seorang pengusaha sukses yang namanya sedang ramai diperbincangkan. Jeffin Arkadio, seorang pengusaha sukses sekaligus customer anehnya.

“Pak Jeffin?”

Pria itu menyunggingkan senyumnya hingga menampilkan lesung pipinya. Manis, itulah kata yang terlintas di pikiran Luna setelah melihat lesung pipi milik pria di hadapannya. Namun ia langsung menepis pikirannya.

“Ah! Akhirnya kamu sadar kalau ini saya. Ini pertemuan kedua kita,”

“Kedua?” Luna mengerutkan keningnya. Apa yang dimaksud Jeffin dengan pertemuan kedua? Di mana mereka pernah bertemu sebelum sekarang?

Jeffin menganggukkan kepalanya, “Iya, yang pertama di kampus kamu.”

Luna memutar ingatannya kembali namun hasilnya nihil, ia tidak mengingat apapun.

Jeffin menyalakan rokoknya, “Waktu itu kita tabrakan di depan gedung fakultas kamu.”

Luna pun akhirnya mengingatnya. “Ah! Jadi itu dia?” Batinnya.

Jeffin memindahkan rokoknya ke tangan kirinya. Ia mengulurkan tangan kanannya, “Kita belum kenalan secara langsung. Saya Jeffin Arkadio.”

Luna pun membalas uluran tangannya, “Naluna Asmadya.”

Jeffin mengepulkan asap rokoknya, “Nama yang cantik, secantik orangnya.” Setelah mengatakan hal itu, Jeffin mengedipkan sebelah matanya. Hal itu membuat Luna bergidik ngeri.

“Jadi, kamu ngapain nangis di sini?”

“Bapak kepo banget. Saya gak nangis,”

Jeffin terkekeh, “Kalau gak nangis kenapa matanya basah? Mau bilang kelilipan?”

Luna jengkel mendengarnya, “Saya harus masuk. Permisi.” Luna pun melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana.

Jeffin langsung membuang rokoknya dan menginjaknya agar bara apinya mati. Ia pun mengejar Luna, “Luna tunggu!”

Namun Luna tidak menggubrisnya, gadis itu terus melangkahkan kakinya. Hal itu membuat Jeffin terus mengejarnya.

©justdoy_it

Setelah menerima pesan tidak mengenakkan dari atasannya, Risa. Luna melangkahkan kakinya ke sembarang arah hingga akhirnya ia sampai di rooftop. Ia melangkahkan kakinya sampai ke ujung pembatas. Ia melihat pemandangan yang berada di bawah sana.

Pesan dari Risa tadi cukup melukai hatinya. Ia merasa sakit hati karena Risa menuduhnya sebagai perempuan yang haus akan harta dan jabatan, sehingga menggoda Jonas untuk mendapatkan semuanya.

“Kenapa ya orang kayak gue selalu dipandang rendah?” Ujarnya bermonolog.

Ia menaiki pagar pembatas dan melihat ke arah bawah.

“Jangan!” Teriak sebuah suara, bersamaan dengan tangan Luna yang ditarik. Hal tersebut membuat keduanya terjatuh.

Orang tersebut terjatuh dengan posisi Luna yang menimpanya. Pandangan keduanya bertemu untuk sementara. Pandangan mereka segera terputus segera setelah Luna tersadar dan bangkit dari posisinya.

“Lo siapa sih? Ngapain narik gue?”

“Loh saya mau bantu kamu biar gak lompat ke bawah,”

“Lompat ke bawah?”

Orang tersebut menganggukkan kepalanya. Namun Luna malah tertawa kencang.

“Gue mungkin stress sama masalah dan pengen nyerah, tapi gue masih cukup waras buat gak lakuin hal begitu,”

“Ya bagus kalau gitu,”

Luna menatap pria tadi dengan seksama. Menurutnya, orang di hadapannya ini tidak asing. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa orang di hadapannya adalah seorang pengusaha sukses yang namanya sedang ramai diperbincangkan. Jeffin Arkadio, seorang pengusaha sukses sekaligus customer anehnya.

“Pak Jeffin?”

Pria itu menyunggingkan senyumnya hingga menampilkan lesung pipinya. Manis, itulah kata yang terlintas di pikiran Luna setelah melihat lesung pipi milik pria di hadapannya. Namun ia langsung menepis pikirannya.

“Ah! Akhirnya kamu sadar kalau ini saya. Ini pertemuan kedua kita,”

“Kedua?” Luna mengerutkan keningnya. Apa yang dimaksud Jeffin dengan pertemuan kedua? Di mana mereka pernah bertemu sebelum sekarang?

Jeffin menganggukkan kepalanya, “Iya, yang pertama di kampus kamu.”

Luna memutar ingatannya kembali namun hasilnya nihil, ia tidak mengingat apapun.

Jeffin menyalakan rokoknya, “Waktu itu kita tabrakan di depan gedung fakultas kamu.”

Luna pun akhirnya mengingatnya. “Ah! Jadi itu dia?” Batinnya.

Jeffin memindahkan rokoknya ke tangan kirinya. Ia mengulurkan tangan kanannya, “Kita belum kenalan secara langsung. Saya Jeffin Arkadio.”

Luna pun membalas uluran tangannya, “Naluna Asmadya.”

Jeffin mengepulkan asap rokoknya, “Nama yang cantik, secantik orangnya.” Setelah mengatakan hal itu, Jeffin mengedipkan sebelah matanya. Hal itu membuat Luna bergidik ngeri.

“Jadi, kamu ngapain nangis di sini?”

“Bapak kepo banget. Saya gak nangis,”

Jeffin terkekeh, “Kalau gak nangis kenapa matanya basah? Mau bilang kelilipan?”

Luna jengkel mendengarnya, “Saya harus masuk. Permisi.” Luna pun melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana.

Jeffin langsung membuang rokoknya dan menginjaknya agar bara apinya mati. Ia pun mengejar Luna, “Luna tunggu!”

Namun Luna tidak menggubrisnya, gadis itu terus melangkahkan kakinya. Hal itu membuat Jeffin terus mengejarnya.

©justdoy_it

Luna pun melangkahkan kakinya menuju ruangan Bu Risa yang berada satu lantai di bawah ruangan Luna. Setelah sampai di depan pintu ruangan Bu Risa, Luna mengetuk pintunya. Dan setelah dipersilahkan masuk, barulah Luna membuka pintunya dan masuk ke dalam.

“Duduk,” pinta Bu Risa. Luna pun duduk di hadapan Bu Risa.

“Naluna Asmadya, cuma kamu loh anak baru yang kemampuannya di bawah,”

“Besok kita libur lagi dua hari, dan kamu cuma punya waktu sekitar 2 minggu lagi sampai akhir bulan. Yakin bisa?” Bu Risa memandang Luna yang sedang menunduk dengan pandangan meremehkan.

Luna mencengkram ujung bajunya, “Saya yakin, saya bisa bu.”

“Bisa saya pegang gak omongan kamu?”

Luna pun menganggukkan kepalanya.

“Saya gak suka ya sama karyawan yang kerjanya malas,”

“Jangan mentang-mentang kamu anak baru kamu merasa santai,”

“Kalau emang gak bisa menghasilkan untuk perusahaan dan cuma jadi beban tim, mending kamu resign aja deh.” Baru saja Risa ingin melanjutkan omelannya, pintu ruangannya terbuka bersamaan dengan sosok pria tampan nan tinggi.

“Selamat siang, Pak Jonas.” Risa menyunggingkan senyum manisnya dan segera menghampiri pria bernama Jonas itu.

“Kamu lagi marahin dia?” Tanya Jonas melirik ke arah Luna yang sudah berdiri namun masih menundukkan kepalanya.

“Ah! Nggak kok pak, justru saya kasih semangat dan tips biar dia bisa achieve

Jonas hanya mengangguk, “Besok perayaan kantor, sudah kamu beritahu ke yang lain?”

Lagi, Risa menyunggingkan senyumannya, “Sudah pak.”

“Kamu, siapa namamu?” Jonas bertanya pada Luna.

“Sa..saya Luna pak,”

“Besok kamu juga datang ke acaranya, pukul 12 siang,”

Risa tampak tak terima dengan perkataan Jonas barusan, “Tapi pak, dia cuma telemarketing.”

Jonas menatap Risa dan menaikkan alisnya, “Lalu apa yang salah? Telemarketing juga bagian dari perusahaan ini. Tanpa mereka kita juga gak bisa. Saya CEO nya, ini hak saya mau undang siapa saja.”

Risa terdiam mendengarnya. Ia merasa kesal karena Jonas terang-terangan membela Luna.

“Kamu boleh kembali ke ruangan kamu. Jangan lupa besok,” ujar Jonas pada Luna.

“Baik, pak.” Luna pun bergegas untuk keluar dari ruangan tersebut.

Ia merasa beruntung karena Jonas datang, jadi ia bisa selamat dari Risa atasannya yang galak dan tak punya hati itu.

©justdoy_it

Nandra akhirnya nekat untuk datang ke apartement milik sahabatnya, Mahardika. Ia sudah tidak peduli apabila pada akhirnya ia akan diusir dari sana. Yang ia pikirkan hanyalah Jea, istrinya.

Tanpa membutuhkan waktu yang lama, Nandra sudah sampai di depan pintu apartement Mahardika. Ia mengetuk pintunya cukup keras hingga sosok Mahardika pun keluar dari dalam apartement.

“Jea di sini kan?” tanpa memedulikan Mahardika, Nandra langsung menerobos masuk ke dalam apartement Mahardika. Bahkan ia membuka setiap kamar yang ada di sana.

“Lihat? Gak ada Jea di sini,” ujar Mahardika. Nandra membalikkan badannya dan meraih kerah baju milik Mahardika. Namun perlahan cengkramannya di kerah baju Mahardika pun mengendur. Dan Nandra bersimpuh di hadapan Mahardika, “Tolong, Dik!”

Ada rasa tak tega di hati kecil Mahardika. Namun di satu sisi ia sudah berjanji pada Jea untuk tidak memberitahukan keberadaan gadis itu pada Nandra.

“Bangun!”

Nandra pun menuruti perintah Mahardika. Mahardika mengambil kunci mobilnya, “Ikut gue.” Lagi, Nandra mengikuti Mahardika. Mereka berdua pun masuk ke dalam mobilnya masing-masing dengan mobil Mahardika yang memimpin tujuan.

Ada rasa senang di dalam hati Nandra karena pada akhirnya Mahardika luluh dan bersedia untuk mengantarkannya pada Jea. Ia menyunggingkan senyumannya.

Mereka berdua pun sampai di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar, namun nyaman untuk ditinggali. Mahardika pun mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Dan tak lama kemudian pintu terbuka memperlihatkan sosok Jea yang mengenakan piyama tidurnya.

“Eh, Dika? Kenapa malam-malam ke sini?” Jea tersenyum melihat sosok di hadapannya.

Mahardika menggeser tubuhnya dan memperlihatkan sosok Nandra yang tersenyum di sana. Berbeda dengan Nandra, senyuman Jea luntur. Ia hendak menutup pintunya. Namun Jea kalah cepat dengan Nandra yang sudah menahan pintu tersebut.

“Izinin aku jelasin semuanya dulu ya, Je?” Nandra menatap Jea dengan lembut. Jea hanya diam. Rasanya ia sudah sangat malas dengan semua perlakuan manis Nandra. Ia tahu bahwa ia sudah jatuh hati pada Nandra, oleh karena itu ia tidak ingin semakin jatuh lagi.

Nandra berlutut dan menggenggam tangan Jea, “Aku mohon!”.

“Kasih dia kesempatan kali ini, Je. Setidaknya biarin dia jelasin semua, selanjutnya terserah kamu mau gimana,” ujar Mahardika.

Jea pun menghela napasnya, ia mempersilahkan kedua orang itu untuk masuk. Mereka pun masuk ke dalam rumah.

Nandra mengambil duduk di sebelah Jea, ia masih menggenggam tangan gadis itu. Jea melepaskan genggamannya, “Yaudah ngomong.” Nandra kembali menggenggam tangan gadis itu. Jea yang sudah lelah pun hanya pasrah.

“Aku salah karena aku sudah percaya sama Sylvia. Aku juga salah karena terbujuk buat minum alcohol yang berakhir seperti yang kamu ketahui.” Nandra menarik napasnya.

“Tapi aku masih cukup sadar saat itu. Dia yang menciumku duluan, tapi langsung saya lepas. Dan soal foto, saya gak tahu siapa yang foto itu,”

“Saya sudah pecat dia, saya juga sudah janji pada diri saya buat gak percaya sama dia lagi.” Jea masih mendengarkannya dengan seksama.

“Maafin saya, saya benar-benar menyesal. Tolong kembali ke saya.” Terlihat dari tatapan matanya bahwa Nandra bersungguh-sungguh dengan apa yang ia katakan.

“Saya juga jatuh cinta sama kamu. Saya mau kita buka lembaran baru, hanya kamu dan saya. Saya pastikan tidak akan ada lagi orang yang menjadi pengganggu.” Jea terkejut mendengarnya.

“Saya juga sudah beli rumah untuk kita berdua. Kalau kamu bersedia memberi saya kesempatan satu kali lagi, saya akan ajak kamu pindah ke sana. Kita akan hidup dengan tenang di sana.”

Jea masih diam, ia menimang perkataan Nandra. Jea berpikir tidak ada salahnya juga jika ia memberikan Nandra kesempatan sekali lagi.

“Iya, saya kasih kesempatan sekali lagi. Tapi kamu harus janji ini kesempatan terakhir. Kalau kamu rusak lagi, saya benar-benar akan pergi dari kamu.”

Nandra mengangguk dan langsung memeluk Jea dengan erat, “Terima kasih. Saya sayang kamu, Jea. Saya bisa gila kalau kamu gak ada di dekat saya.” Nandra melonggarkan pelukan mereka, “Jangan pergi lagi.”

Jea pun mengangguk. Nandra masih setia menatap mata Jea, tangannya terulur untuk membelai pipi Jea. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Jea. Jea yang tahu apa yang akan dilakukan Nandra pun langsung memejamkan matanya. Jantung nya berdegup kencang bersamaan dengan napas Nandra yang menerpa wajahnya. Hingga akhirnya sebuah benda kenyal mendarat di bibirnya. Kali ini hanya ciuman, ciuman penuh ketulusan tanpa napsu.

“Maaf nih, tapi gue orang bukan patung.” Suara dari Mahardika itu membuat mereka berdua melepaskan ciumannya. Pipi keduanya memerah dan menjadi salah tingkah.


Pada akhirnya, Jea dan Nandra jatuh hati satu sama lain dan memutuskan untuk membuka lembaran baru bagi pernikahan mereka. Mengharap agar kedepannya pernikahan mereka bisa damai dan bahagia. Bahkan hingga mereka tua nanti.

― END ―

©justdoy_it

Hari ini merupakan tanggal merah yang artinya Luna libur bekerja dan kuliah. Begitu juga dengan Jilan, adiknya.

Pagi itu, mereka memutuskan untuk menonton televisi sambil memakan camilan. Siaran TV pagi itu berita infotainment.

*“Dikabarkan bahwa Arkadio Group akan segera membuka cabang barunya di Singapore. Berikut keterangan dari CEO Arkadio Group, Bapak Jeffin Arkadio.”

Seorang pria tampan dan berwibawa pun muncul di layar televisi. Ia adalah Jeffin Arkadio. Luna yang melihatnya pun merasa tidak asing dengan nama dan wajahnya.

“Siapa ya? Kayaknya pernah liat deh,” ujarnya bermonolog.

“Siapa kak?” Tanya Jilan.

“Gapapa, kakak ke kamar dulu ya.” Luna pun pergi dari sana dan masuk ke dalam kamarnya.

Di dalam kamarnya ia masih terus kepikiran tentang Jeffin Arkadio. Ia pun akhirnya memutuskan untuk membuka ponselnya dan mencarinya di internet. Ia terus menggulirkan layar ponselnya hingga ia melihat sebuah foto yang tak asing baginya.

Ia pun membuka aplikasi whatsapp nya dan akhirnya ia pun sadar jika customer pertamanya dan orang yang ada di televisi tadi adalah orang yang sama.

©justdoy_it

Hari ini, Jeffin memutuskan untuk datang lagi ke kampus Luna. Ia bahkan sudah menanyai beberapa mahasiswa tentang Luna. Ia menanyakan perihal Luna kepada mahasiswa-mahasiswa tersebut hanya dengan bermodalkan foto profil whatsapp dan nama Luna.

Kini Jeffin tahun bahwa Luna merupakan teman sekelas Janu. Jeffin pun memutuskan untuk menunggu Luna di depan gedung fakultasnya.

Sudah sekitar satu jam Jeffin berdiri di sana namun hasilnya nihil. Ia tidak melihat sosok Luna.

“Dia beneran mahasiswa sini kan ya? Kok gak ada sih?” ujar Jeffin bermonolog.


Tepat pukul 8, Jeffin memutuskan untuk pulang. Ia kecewa karena tidak bisa bertemu Luna hari ini. Bahkan ia juga tidak melihat Janu.

Seseorang pun menepuk pundak Jeffin, “Jef, lo ngapain? Mahasiswi gue pada ngeliatin tuh.”

Jeffin pun mengedarkan pandangannya pada sekitar. Benar saja, ia menjadi tontonan para mahasiswi yang berada di sana.

“Gue nyari seseorang,”

“Siapa? Dosen?”

Jeffin menggelengkan kepalanya, “Bukan, mahasiswa lo.”

Darga pun mengerutkan keningnya, “Siapa namanya?”

“Luna, kata anak-anak sini tadi namanya Naluna kalau gak salah,”

Darga tersenyum jahil, “Ada urusan apa lo sama Luna?”

“Kepo banget lo!”

“Yaudah, gak gue bantuin.” Darga pun bersiap ingin pergi dari sana. Namun dengan cepat Jeffin menahan tangannya.

“Gue tertarik sama dia,” ujar Jeffin.

Darga pun tersenyum penuh arti dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pergi dari sana.

©justdoy_it