justdoyit

Jam menunjukkan pukul 18.20 yang artinya hanya tersisa 10 menit lagi. Sementara Naluna dan Janu baru saja sampai di parkiran fakultas mereka.

“Lun, lo duluan aja. Gue mau ke kantin dulu.” Janu pun berlari kecil menuju kantin.

Luna pun melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam gedung fakultasnya. Tanpa sengaja ia ditabrak oleh seseorang yang datang dari arah berlawanan.

“Maaf...maaf..” ujar Luna.

Pria itu pun mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai akibat tabrakan tadi.

“Maaf juga ya, saya yang salah karena gak lihat jalan.” Pria itu pun melihat ke arah Luna. Ia terkejut melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.

“Iya, gapapa pak. Saya permisi.” Luna berlalu meninggalkan pria itu yang masih mematung di sana.

Puk...

Pria itu tersadar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah seseorang yang tengah berdiri di hadapannya.

“Ngapain lu di sini bang?”

“Ah lu, Nu! Ngagetin gue aja. Eh, cewek tadi mahasiswi di sini?”

“Cewek mana? Halu ya lo?” Janu melihat sekeliling namun tak menemukan seorang pun.

“Ada tadi, cewek cantik pokoknya,”

“Lu yakin yang lu liat cewek? Siapa tau bukan,”

“Maksud lo?”

Janu terkekeh, “Udah ah, gue mau masuk kelas dulu. Dahh bang Jeffin!”

“Finally, I met you!” Batin Jeffin.

Ya, sosok yang di tabrak oleh Luna tadi adalah Jeffin. Customer yang ia anggap 'aneh'. Namun tampaknya Luna tidak menyadarinya. Hanya Jeffin yang sadar akan hal itu.

©justdoy_it

Pagi itu, seorang gadis bernama Naluna Asmadya sedang sibuk memilih pakaian yang akan ia pakai. Pasalnya, hari ini adalah hari pertamanya untuk kembali bekerja setelah sekitar dua tahun lalu. Dua tahun lalu Naluna atau yang akrab disapa dengan Luna itu memilih untuk mengorbankan pekerjaannya karena ia ingin kuliah.

Sekarang Luna sudah memasuki semester lima, baginya sudah cukup waktu yang ia gunakan untuk mengetahui pola kuliahnya dan menyesuaikannya dengan jam kerjanya. Luna mengambil kelas karyawan malam hari agar ia bisa bekerja di pagi harinya.

“Duh.. gue jadi deg-degan lagi nih,” ujarnya sambil mematut dirinya di depan cermin.

Setelah ia merasa cukup dengan penampilannya. Ia segera keluar dari kamarnya dan berpamitan dengan ibunya. Luna pun berjalan menuju stasius kereta. Kali ini ia lebih memilih naik kereta untuk menghemat ongkos. Karena jika ia menggunakan layanan ojek online akan sangat mahal, mengingat kantor Luna yang cukup jauh.


Luna sampai di kantor barunya 15 menit sebelum jam masuk. Ia pun masuk ke ruangannya dan duduk di mejanya. Baru saja Luna mendudukkan dirinya, sudah ada interuksi untuk briefing. Ia pun segera bergabung untuk berkumpul bersama rekannya yang lain.

Tepat pukul 8, Luna memulai pekerjaannya. Ia mulai menelepon nasabah yang terdapat pada data yang sudah diberikan padanya.

Sudah sekitar dua jam Luna menelepon ke banyak nomor, namun hasilnya masih nihil. Belum ada nasabah yang ingin mengajukan pinjaman kembali. Luna tahu pekerjaan seperti ini tidak mudah untuk dijalani, tapi ia harus tetap semangat.

Sayangnya, hingga hari pertamanya usai Luna belum juga mendapatkan customer pertamanya. Ia mengusap wajahnya. Dalam bulan ini ia harus berhasil mendapatkan lima customer. Dan itu bukan hal mudah.

“Ayo Luna, lo harus semangat!” Ia menyemangati dirinya sendiri.

“Gak pulang, Lun?” Tanya Sera, salah satu timnya.

“Eh, ini mau pulang kok. Lo mau pulang juga?”

Sera mengangguk, “Gue udah dijemput juga. Duluan ya, Lun.” Luna pun mengangguk dan tersenyum.

Sepeninggal Sera, Luna pun keluar dari ruangan dan bangunan kantornya. Ia berjalan menuju stasiun kereta. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul 17.15.

“Masih cukup waktunya,” batin Luna.

“Hari ini mungkin gagal, tapi masih ada hari esok. Semoga berhasil!” Luna terus menyemangati dirinya sendiri karena itulah caranya agar tidak menyerah dengan mudah.

Saat ini Nandra dan Jea sudah berada di kamar Jea. Mereka tidur dengan berbagi ranjang dan juga selimut. Posisi mereka saling memunggungi. Keduanya masih terjaga karena pikirannya masing-masing.

“Je, kamu sudah tidur?” Tanya Nandra tanpa membalikkan tubuhnya.

“Belum, gue gak bisa tidur.” Jea pun membalikkan tubuhnya bersamaan dengan Nandra yang membalikkan tubuhnya.

Kini mereka saling berhadapan. Ada jarak di antara mereka dan sebuah guling yang memisahkan mereka berdua. Keduanya saling diam namun menatap satu sama lain.

Seakan terbawa suasana, jarak di antara mereka pun menipis. Hanya tersisa guling di tengah-tengah mereka.

“Tidur, Je. Kamu sudah lelah hari ini.” Nandra mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi mulus Jea yang hanya diterangi oleh lampu tidur.

Jea merasa nyaman oleh sentuhan Nandra. Mereka kembali saling menatap. Semakin terjatuh dalam diri masing-masing.

Nandra menyingkirkan guling yang menjadi penghalang mereka berdua.

“Strawberry lipstick state of mind. I get so lost inside your eyes. Would you believe it?” Nandra masih membelai pipi Jea yang sudah memerah.

“You don't have to say you love me. You don't have to say nothing. You don't have to say you're mine. Just let me adore you.” Nandra mendekatkan wajahnya ke wajah Jea.

Jea pun memejamkan matanya. Bibir mikik Nandra pun mendarat di bibir milik Jea. Nandra memberikannya sebuah kecupan. Sementara Jea tidak sengaja mencengkram kaus yang dikenakan oleh Nandra.

Hal itu membuat sesuatu dari dalam diri Nandra ingin sesuatu yang lebih. Nandra pun mulai melumat bibir Jea dengan sangat lembut. Jea pun hanya diam saja karena ia tidak tahu harus apa.

Akhirnya Nandra pun menyudahi lumatannya pada bibir Jea. Jea langsung meraup pasukan oksigen karena ia merasa kehabisan oksigen akibat perbuatan Nandra beberapa detik lalu.

Nandra mengusap bibir Jea yang basah dan memerah. Hal itu membuat Jea tersipu malu.

“Tidur, Je.” Nandra tersenyum. Lalu membawa tubuh Jea ke dalam pelukannya.

Tidak ada penolakan dari Jea. Ia pun memeluk Nandra dan tertidur di dalam dekapan pria itu.

justdoy_it

Strawberry lipstick state of mind (state of mind) I get so lost inside your eyes Would you believe it? You don't have to say you love me You don't have to say nothing You don't have to say you're mine Honey (ah) I'd walk through fire for you Just let me adore you

— Harry Styles – Adore You

Nandra melajukan mobilnya ke tempat kost Sylvia, sekertarisnya. Sebenarnya ia malas untuk menjemput dan berangkat bersama sekertarisnya. Namun apa daya, ia tidak mungkin pergi rapat tanpa sekertarisnya, karena semua bahan presentasi ada pada sekertarisnya itu.

Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, Nandra sudah sampai di tempat kost Sylvia. Sylvia yang sudah berdiri di sana sejak tadi untuk menunggu kedatangan Nandra pun langsung masuk ke dalam mobilnya.

Nandra merasa aneh dengan penampilan sang sekertaris. Pasalnya, wanita itu baju dalaman berbahan satin tanpa lengan. Sementara blazernya tidak ia pakai, hanya disampirkan di lengannya. Belum lagi lipstick yang digunakan sangat tebal dan berwarna merah menyala.

“Bapak kenapa liatin saya gitu? Ada yang aneh atau saya terlalu cantik pak?”

“Terlalu menor lebih tepatnya,”

Sylvia yang mendengar jawaban dari Nandra pun mencebikkan bibirnya.

“Bapak kok gitu sih?” ujarnya dengan nada merengek.

Nandra memilih untuk tidak menanggapinya lagi. Ia mulai melajukan mobilnya agar segera sampai ke lokasi pertemuan mereka. Berbeda dengan Sylvia, ia tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya ke arah bagian leher Nandra. Ia mengendusnya lalu berkata, “Bapak pakai parfum apa? Saya suka wanginya.”

Nandra mendorong pelan tubuh Sylvia agar gadis itu bisa kembali duduk di posisi semulanya. Tidak menyerah, Sylvia menyunggingkan senyuman menggodanya.

“Bapak jangan terlalu kaku gitu deh.” Sylvia mengelus tangan Nandra yang kebetulan sedang menyalakan radio. Nandra segera menepis tangan Sylvia.

“Sylvia, saya sudah peringatkan kamu untuk tidak melewati batasan kamu.”

Sylvia terkekeh mendengar penuturan Nandra tersebut.

“Jangan munafik, Pak. Saya tahu kalau bapak sebenarnya suka kan saya sentuh. Hanya saja bapak selalu menampiknya karena istri bapak yang tidak bisa memberikan apapun untuk bapak,”

“Jaga ucapan kamu! Tau apa kamu tentang saya dan istri saya?”

“Saya tau semua pak. Bahkan saya yakin kalau istri bapak belum memberikan apa yang seharusnya bapak dapatkan,”

Nandra menepikan mobilnya, “Turun kamu!” perintah Nandra dengan nada dinginnya.

Sylvia cukup terkejut dengan ucapan Nandra barusan. Ia tidak menyangka bahwa seorang Nandra yang selama ini lembut dan tenang akan berkata seperti itu padanya.

“Bapak tega nurunin saya di tengah jalan?”

“Saya sudah peringatkan kamu sejak tadi agar tidak melewati batasanmu, tapi kamu tidak mau dengar. Jadi sekarang lebih baik kamu turun sebelum saya paksa,”

Sylvia dengan kesal segera membuka pintu mobil Nandra dan keluar. Setelah Sylvia keluar dari mobilnya, Nandra pun melajukan kembali mobilnya. Ia sudah tidak peduli dengan bahan rapat yang ada pada Sylvia. Kesabarannya sudah habis untuk menghadapi Sylvia.

justdoy_it

Nandra sedang rapat dengan karyawannya, termasuk Sylvia yang notabenenya adalah sekertaris Nandra. Di tengah-tengah rapat, ponsel milik Nandra bergetar bersamaan dengan munculnya sebuah notifikasi pesan masuk dari Jea.

Ia pun membaca pesan yang dikirimkan oleh Jea. Ternyata gadis itu sedang datang bulan dan meminta tolong untuk dibelikan pembalut. Jea memang tidak mengatakan 'pembalut' secara gamblang, namun Nandra cukup paham karena Bundanya sering meminta tolong untuk dibelikan 'itu'.

“Kalian lanjutkan rapatnya, nanti hasil rapatnya email ke saya. Saya harus pergi.” Nandra berdiri dan melangkah untuk keluar dari ruangan rapat.

Namun Sylvia dengan cepat menahan tangan Nandra. “Bapak mau kemana?”

Nandra menghela napasnya. “Saya kan sudah bilang, saya harus pergi. Ada urusan penting.”

“Apa urusannya lebih penting dari rapat ini pak?”

“Jelas! Ini tentang istri saya, dia prioritas bagi saya. Satu hal lagi, kamu hanya sekertaris saya. Jangan melewati batasan kamu.”

Setelah pernyataan tegas Nandra, ia pun langsung keluar dari ruang rapat. Ia tahu Sylvia kesal dengan perkataannya. Namun ia tidak terlalu memikirkannya, yang ada di pikirannya saat ini hanya Jea. Ia khawatir gadis itu sakit perut atau sebagainya. Untuk itu ia berlari menuju parkiran dan langsung memacu kecepatan mobilnya di atas rata-rata.


Jea sedang meringkuk di atas kasurnya sambil memegangi perutnya. Inilah yang ia benci dari datang bulannya, perutnya akan terasa sangat sakit. Keringat pun bercucuran dari dahinya. Ia hanya berharap Nandra akan segera datang.

Seolah terkabul, Jea mendengar suara pintu apartementnya dibuka dan tertutup kembali. Dan tak lama kemudian ia bisa mendengar suara Nandra yang memanggilnya.

“Jea..” Nandra mengetuk pintu kamarnya.

Ia melihat Nandra masuk ke dalam kamarnya dengan wajah khawatir. Ia pun melihat Nandra segera mendekat ke arahnya.

“Je, kamu mau ke rumah sakit?”

Jea hanya menggelengkan kepalanya. Nandra pun menyerahkan kantung plasik yang berisi pembalut. Ada banyak macam pembalut di dalamnya. Jea pun berusaha untuk duduk dan dibantu oleh Nandra.

“Saya gak tau kamu pakai yang mana, jadi saya ambil masing-masing satu.”

“Lo keluar aja, gue bisa sendiri kok. Lagian gak mungkin juga kan lo ngeliat darahnya.”

“Yaudah, saya bikinin kamu teh hangat sama air hangat di botol dulu ya.” Nandra pun segera keluar dari kamar Jea. Sementara Jea masuk ke dalam kamar mandinya.

Nandra membawa secangkir teh hangat di tangan kanannya dan sebotol air hangat di tangan kirinya. Ia masuk ke dalam kamar Jea. Ia melihat Jea sudah berganti pakaian dan sedang memasang seprai baru.

Nandra menaruh teh hangat dan air hangatnya di nakas sebelah ranjang Jea. Ia pun mendekati Jea dan menahan tangan Jea yang terlihat lemas.

“Biar saya aja, kamu minum tehnya dulu. Terus itu botolnya kamu tempelin ke perut buat redain nyerinya.”

Jea yang sedang tidak ada tenaga untuk berdebat pun menuruti perintah Nandra. Jea duduk di sofa yang ada di kamarnya, lalu ia meminum tehnya. Sementara Nandra yang mengambil alih pekerjaan Jea untuk memasang seprai.

Setelah selesai, Nandra berjalan ke arah Jea dan mengambil duduk di sebelah Jea. “Gimana? Udah enakan?”

Jea pun menganggukkan kepalanya. “Kok lo bisa tau sih soal beginian? Pacar lo sering begini ya?”

“Bunda, bunda yang sering begitu. Saya sering lihat bunda lakuin hal itu, jad sedikit banyak saya tahu.”

“Makasih ya,”

Nandra pun mengangguk. Ia pun berdiri dari duduknya. “Saya ke kamar saya, ya? Kamu istirahat aja.”

“Oh iya, soal pesan dari Sylvia. Saya gak tahu kalau dia akan salah kirim begitu. Dia juga cuma sekertaris saya.”

Selepas mengatakan hal tersebut Nandra keluar dari kamar Jea dan masuk ke kamarnya. Sementara Jea kembali ke ranjangnya. Ia merebahkan tubuhnya sambil memikirkan perkataan Nandra barusan.

justdoy_it

Jam menunjukkan pukul 7 malam. Jea masih tidak kunjung keluar dari kamarnya sejak makan siang tadi. Hal itu membuat Nandra bingung harus melakukan apa. Nandra sedari tadi hanya berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Jea. Ia ingin mengetuknya, namun sedetik kemudian ia urungkan niatnya.

Pasalnya, Nandra harus pergi ke restaurantnya untuk meninjau menu baru yang diluncurkan tadi siang. Namun d satu sisi ia tidak bisa meninggalkan Jea. Gadis itu belum makan malam. Ditambah lagi kaki Jea masih sakit, itu semua menambah kekhawatiran Nandra pada Jea.

“Gue ketuk aja kali ya?” monolog Nandra.

Baru saja Nandra ingin mengetuk pintu kamar Jea, ponselnya berbunyi. Nama Sylvia pun muncul di sana, Nandra pun mengangkatnya.

“Halo Sylvia..”

Nandra pergi menjauh dari kamar Jea, ia pergi ke kamarnya agar suara ia bertelepon tidak mengganggu Jea yang mungkin saja sedang tidur.


Lain halnya dengan Jea. Sedari tadi ia tahu bahwa Nandra ada di depan kamarnya. Namun ia terlalu malas untuk bertemu dengan Nandra, jadi ia hanya berdiam diri di kamarnya. Ia lapar, tapi ia tidak ingin keluar karena pasti akan bertemu dengan Nandra. Ia benar-benar sedang tidak ingin melihat Nandra. Ditambah lagi tadi ia mendengar bahwa Nandra mendapat telepon dari Sylvia, wanita yang mengirim foto gak jelas bagi Jea.

“Gue sebenernya kenapa sih?” “Ya kalo si Sylvia itu pacarnya Nandra juga emang kenapa?” “Gue sama dia kan nikah cuma karena kemauan orang tua. Gue juga gak suka dia. Jadi, apa yang mau gue harapin?”

Jea bermonolog dengan dirinya sendiri. Ia merasa aneh pada dirinya sendiri. Mengapa ia harus merasa kesal melihat pesan dari Sylvia? Bukankah seharusnya ia bersikap tidak peduli?

Jea mendengar suara pintu apartementnya terbuka lalu tertutup kembali. Ia pun berjalan mendekat ke arah pintu kamarnya. Ia menempelkan telinganya ke pintu kamarnya.

“Si Nandra udah pergi kali ya?”

Jea pun memutuskan untuk membuka sedikit pintunya. Ia mengintip ke luar. Sepi, itulah yang ia lihat. Artinya Nandra sudah pergi.

“Paling pergi nemuin ceweknya,” pikirnya.

Akhirnya ia pun memutuskan untuk keluar dan berjalan ke arah dapur untuk mencari sesuatu yang bisa ia makan. Ia melewati meja makan dan melihat ada nasi goreng di sana. Tanpa pikir panjang, Jea langsung duduk di sana dan memakan nasi goreng tersebut. Ia menghabiskannya tanpa sisa.

Setelah merasa kenyang dan membereskan bekas makannya, ia kembali ke kamarnya untuk mandi dan beristirahat.

justdoy_it

Nandra dan Jea sudah dalam perjalanan menuju apartement yang akan menjadi tempat tinggal mereka berdua.

“Kita makan di apart aja ya,” ujar Nandra.

“Loh gak jadi makan di luar?” Tanya Jea.

“Gak. Kaki kamu begitu. Nanti biar saya yang masakin kamu,”

Jea hanya mengangguk saja. Dan suasana pun kembali hening.


Kini, Nandra dan Jea sudah tiba di apartement milik mereka berdua. Nandra membuka pintu apartementnya dan menyuruh Jea untuk masuk. Jea pun masuk ke dalam. Dan Jea terkejut dengan interior mewah yang ada di dalamnya.

“Ini orang se-kaya apa sih?” batinnya.

“Kamu duduk aja di sofa, saya mau masak dulu.”

“Gue mau ikut!”

“Mau ngapain? Kalau cuma mau gangguin saya mending gak usah,”

“Dih.. gue tuh mau liatin lo masak. Sekalian belajar,”

“Belajarnya setelah kaki kamu sembuh aja, sekarang duduk sana.” Nandra menunjuk sofa yang berada di ruang TV.

Jea mendecak sebal. “Kaki gue tuh cuma lecet-lecet doang bukan patah.”

“Jea!” Nandra menatapnya dengan tatapan yang ditakuti oleh Jea serta nada suara Nandra yang merendah. Hal itu membuat kesan Nandra lebih seram.

Jea pun mau tak mau harus mengalah lagi. Ia berjalan menuju ruang TV dan duduk di sana, sesuai perintah Nandra.

Nandra yang melihat hal itu pun tersenyum simpul. Ia pun mulai menyibukkan dirinya dengan kegiatan memasaknya.

Baik Nandra maupun Jea sudah menyelesaikan kegiatan mandinya. Kini mereka hanya diam sambil berdiri.

“Kamu aja yang di kasur,” ujar Nandra.

“Lo gimana?”

“Saya bisa di lantai, nanti dialasin bed cover aja.”

Jea terdiam. Ia berpikir sejenak. Ia mendudukkan dirinya di tepi kasur. Kakinya terasa sangat sakit.

Nandra yang melihat kaki Jea lecet pun segera mengambil kotak P3K. Ia berjongkok dihadapan Jea. Lalu ia menaruh kaki Jea di atas pahanya.

“Eh, mau ngapain?” Jea refleks menurunkan kakinya.

“Obatin kaki kamu.” Lagi, Nandra menaruh kaki Jea di atas pahanya.

“Gak usah, gue bisa sendiri.” Jea ingin mengambil kotak P3K yang berada di samping Nandra.

Namun dengan cepat Nandra menahan tangan Jea. Ia menatap Jea. Jea yang melihat tatapan Nandra pun merasa takut. Pasalnya, tatapan serius yang diberikan Nandra itu cukup mengerikan baginya. Ia pun menyerah dan membiarkan Nandra mengobati kakinya.

Setelah selesai mengobati kaki Jea, Nandra mengambil bantalnya dan menaruhnya di lantai.

“Tidur di atas aja,” ujar Jea.

Nandra menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Jea.

“Tidur bareng, tapi jangan berani nyentuh gue!” Ancam Jea. Nandra pun mengangguk dan menaruh kembali bantalnya di kasur.

Akhirnya mereka memutuskan untuk tidur di ranjang yang sama. Tetapi dengan jarak di tengah-tengah mereka. Namun ternyata jarak itu semakin menipis. Hingga malam itu Nandra tidur sambil mendekap Jea. Dan Jea tidur di dalam dekapan Nandra. Entah bagaimana reaksi mereka nanti saat terbangun dan melihat posisi mereka seperti itu.

Akad nikah Nandra dan Jea diselenggarakan secara tertutup. Hanya keluarga dan teman dekat saja yang hadir. Nandra bahkan tidak mengizinkan satu pun media untuk meliput acara sakral tersebut.

Berbeda dengan acara resepsi yang digelar malam ini di sebuah hotel mewah. Media diizinkan meliput namun tidak terlalu banyak.

Baik Nandra maupun Jea, sudah terlihat sangat lelah karena sudah berdiri berjam-jam untuk menyalami tamu undangan yang hadir.

“Serius ya, lo undang berapa banyak rekan kerja lo sih?” Omel Jea pada Nandra yang berada di sebelahnya.

“Lupa. Ini juga ditambah kenalan alm. Ayah dulu,” jawab Nandra.

Jea yang di sebelahnya hanya bisa merutuki Nandra. Pasalnya, saat ini ia mengenakan heels yang cukup tinggi. Dan itu membuatnya lelah. Bahkan kakinya sudah lecet.

“Kalian mau duluan aja ke kamar?” Tanya bunda Nandra yang menghampiri mereka karena melihat anak dan menantunya yang sudah kelelahan.

“Tamunya nanti gimana bun?” Tanya Jea.

Bunda Nafisya tersenyum. “Gapapa, nanti biar bunda yang urus. Sana duluan aja istirahat.”

Jea pun mengangguk dan segera berjalan mendahului Nandra. Tanpa disangka, Jea tersandung oleh bagian bawah bajunya. Nandra pun dengan sigap meraih lengan Jea dan memeluk pinggang gadis itu.

“Hati-hati,” ujar Nandra.

Jea pun tersadar dan melepaskan tangan Nandra dari lengannya. Wajah Jea memerah karena malu. Ia pun segera berjalan menjauh dari Nandra agar pria itu tidak melihat wajahnya yang memerah.

Tak terasa hari pernikahan Nandra dan Jea hanya tinggal sehari lagi. Segala persiapan pun sudah selesai dilakukan. Selama seminggu belakangan, baik Jea maupun Nandra tidak diizinkan bertemu. Bagi Jea itu bukan masalah besar. Ia justru senang karena tidak harus dipaksa jalan dengan Nandra.

Bagi Nandra itu juga bukan masalah besar karena ia sedang sibuk dengan bisnisnya yang semakin besar. Bahkan hingga tersisa satu hari sebelum hari pernikahannya pun ia masih sibuk dengan urusan pekerjaannya.


Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa Jea merasa gugup untuk esok hari. Banyak hal yang berputas dipikirannya. Ia juga terus-menerus merasa tidak siap untuk menikah. Ia masih buruk dalam hal memasak, membersihkan dan merapikan rumah bahkan mengurus dirinya saja masih belum benar. Bagaimana bisa ia mengurus suaminya nanti? Begitulah pikirannya.

“Apa gue batalin aja ya?” ujarnya pada dirinya sendiri.

“Eh tapi sayang biayanya”

“Kasian mama juga,”

“TAPI GUE GAK SIAP NIKAH” teriaknya frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya.

Ia pun meraih ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.

“Gue tanya Nandra aja kali ya?” tanyanya lagi pada dirinya.