justdoyit

Tepat pukul 10 pagi, Nandra menjemput Jea untuk fitting baju bersama.

“Jea itu...”

Belum sempat Nandra menyelesaikan ucapannya, Jea sudah menyelanya. “Iya..iya gue udah tau. Lupain aja.”

Jea pun dengan cepat berjalan masuk ke dalam mobil Nandra. Sementara pria itu masih berdiri dengan kebingungannya.

“Kalo tau kenapa gak dibenerin?” Batinnya.

Tidak mau memusingkannya lagi, Nandra pun masuk ke dalam mobilnya.


Sesampainya di butik kenalan Bunda Nafisya, mereka pun turun dan masuk ke dalamnya.

“Orang-orang kenapa ngeliatin gue sambil ketawa gitu deh?” Jea menatap heran orang-orang yang tertawa melihatnya.

“Kamu coba ngaca aja deh,” pinta Nandra.

Jea pun berjalan ke arah kaca besar yang berada di sebelah etalase besar. Ia pun terkejut melihat penampilannya. Ternyata roll poninya belum dilepas dan cardigan yang ia kenakan terbalik.

“Pantesan diketawain,” batinnya.

Ia pun menghampiri Nandra dengan muka memerah. Amarahnya memuncak dan ia ingin meluapkannya pada Nandra. Namun sayang, Nandra sedang mengobrol di telepon.

Jea berdiri tepat di belakang Nandra masih dengan kekesalannya.

“Kamu kenapa?” Nandra yang baru saja menyelesaikan kegiatan berteleponnya pun heran melihat wajah Jea yang memerah.

“LO KENAPA GAK KASIH TAU GUE!!”

“Tadi kan saya mau bilang. Tapi kamu bilang udah tau,” ujar Nandra acuh.

“Tadi tuh gue kira lo mau bahas soal semalam!”

“Soal semalam? Yang mana?”

“Ah! Gak tau. Lo nyebelin banget, Nandra!!”

“Yaudah, saya minta maaf ya. Sekalian maaf juga saya gak bisa nemenin kamu fitting karena saya ada rapat dadakan.”

“Nanti kamu foto aja, kirim di chat.” Nandra pun pergi meninggalkan Jea. Dan itu membuat Jea semakin kesal.

Nandra mengajak Jea ke taman komplek rumah mereka untuk mengobrol.

“Mau ngomong apa?” Tanya Jea begitu ia mendudukkan dirinya di bangku taman.

“Kamu gak suka sama perjodohan ini?” Tanya Nandra.

Jea hanya mengangguk. “Tapi gue gak bisa apa-apa.”

Nandra menaikkan alisnya sebelah. Ia bingung maksud ucapan Jea.

“Ya karena gue sadar kalo selama ini gue udah nyusahin. Gue belum pernah bikin mama bahagia dan bangga..”

“Oh pernah, pas wisuda kemarin. Tapi tetap aja gue mau bikin mama bahagia lagi. Lo lihat kan tadi raut wajah mama gue sama bunda lo?”

Nandra mengangguk.

“Mereka kelihatan senang. Itu yang buat gue nerima ini semua.”

Nandra mengangguk paham. Ia juga merasakan hal yang sama.

“Saya gak akan bilang kalau saya janji perlakukan kamu dengan baik. Cukup lihat tindakan saya aja nanti. Karena kalau hanya janji gak akan cukup,” ujar Nandra.

Jea menoleh ke arah Nandra. Begitu pula dengan Nandra. Mata mereka bertemu. Mereka saling menatap satu sama lain. Seperti terhanyut ke dalam diri masing-masing, tanpa sadar wajah mereka semakin mendekat. Hingga jarak yang tersisa hanya sedikit. Jea memejamkan matanya.

“Hujan.. ayo pulang.” Nandra melepaskan jaketnya dan melebarkannya di atas kepala mereka sebagai pelindung dari hujan.

Jea yang masih canggung pun mau tak mau ikut berlari.

Dan malam itu, mereka sulit untuk tidur karena memikirkan kejadian di taman tadi.

Jea dan Nandra telah sampai di rumah Jea. Ternyata di sana sudah ada Mama Shani dan juga Bunda Nafisya. Nandra pun dengan sopan menyalami Mama Shani dan Bundanya. Hal serupa dilakukan juga oleh Jea.

“Mama mau omongin apa?” Tanya Jea to the point

Mama Shani pun tersenyum penuh arti. “Jadi, sebenernya kami mau kalian segera menikah.”

Jea pun membelalakkan matanya karena terkejut. Sementara Nandra tetap tenang. “Jea kan belum bilang kalau Jea setuju, Ma.” Jea sedikit menaikkan nada suaranya.

Tatapan Mama Shani pun berubah menjadi sendu. “Jea...kamu mau liat mama bahagia dan bangga kan?”

Jea hanya diam saja. “Mau ya, sayang? Mama janji ini permintaan mama yang terakhir.”

Jea menoleh ke arah mamanya. “Mama apaan sih! Jangan ngomong yang aneh-aneh deh.”

“Iya, Jea mau.”

Raut wajah Mama Shani dan Bunda Nafisya tampak bahagia.

“Kalau gitu kita langsung aja minggu depan,” ujar Mama Shani.

Lagi, hal itu membuat Jea dan Nandra terkejut.

“Gak secepat itu juga dong, Ma.”

Nandra pun mengangguk. “Menurut saya, itu terlalu cepat tante. Kita juga butuh pengenalan dan persiapan.”

“Kalau soal persiapan, semua bisa bunda atur,” ujar Bunda Nafisya.

Baik Nandra maupun Jea sudah tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Kalian diam mama anggap setuju ya,” ujar Mama Shani senang.

“Jea izin ke kamar dulu ma,” ujar Jea seraya pergi menuju kamarnya.

Nandra pun segera pamit pulang karena ia lelah.

Kini, Nandra dan Jea sudah berada di dalam mobil Nandra.

“Kamu ada tujuan yang mau di tuju?” Tanya Nandra sambil pandangannya masih fokus pada jalan di depan.

Jea masih setia memalingkan wajahnya ke arah jendela dan melihat jalanan di luar sana. Ia tidak menjawab Nandra karena ia masih kesal dengan pria itu.

“Kalau gak ada, berarti saya ajak kamu ke mana pun yang saya suka,” ujar Nandra.

Jea pun dengan cepat menolehkan kepalanya ke arah Nandra. Ia menatap tajam Nandra.

“Awas aja kalau lo sampai berani bawa gue ke tempat yang aneh!” Ancam Jea.

“Tempat aneh? Contohnya?” Nandra mengernyitkan dahinya karena ia bingung tempat aneh yang dimaksud Jea.

Jea menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Ya..ya apa aja”

“Kamu aneh,” ujar Nandra.

Jea pun tampak tidak terima. Ia pun terpancing untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya. “Tempat aneh yang gue maksud tuh kayak club atau bahkan hotel.”

Nandra pun tertawa mendengarnya. “Kamu mikir sejauh itu?”

“Saya gak bukan laki-laki seperti itu, Jea.”

Wajah Jea memerah menahan malu. Ia segera memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil. Namun sayangnya perutnya berbunyi tiba-tiba. Dan lagi-lagi ia harus menahan malu.

“Perut, lo gak bisa diajak kerja sama banget sih,” batinnya.

Tanpa Jea sadari, Nandra tersenyum tipis.

“Kamu mau makan?”

“Nggak, gue gak lapar.” Jea masih tidak mau menatap Nandra.

“Bukan kamu, tapi saya yang lapar. Jadi kita mampir di tempat makan sebentar ya.” Nandra tahu bahwa Jea malu mengatakannya, jadilah ia berkata seperti itu.

Acara makan malam bersama pun selesai. Kini, hanya tersisa Jea yang masih duduk untuk menunggu Nandra yang sedang menyelesaikan urusannya. Mereka harus berakhir pulang bersama karena kemauan para ibu. Mereka bilang agar bisa jalan-jalan dan sedikit mengenal dulu.

“Maaf ya agak lama. Ayo!” ajak Nandra yang ternyata sudah berdiri di hadapan Jea yang sedang menundukkan kepalanya karena bosan.

Jea pun mendongakkan kepalanya untuk melihat Nandra. Ia pun akhirnya berdiri. Jea pun berjalan mendahului Nandra sambil sedikit menghentakkan kakinya. Ia terlihat tidak suka untuk pulang bersama Nandra. Nandra yang melihatnya pun hanya menggelengkan kepalanya.

Nandra pun membukakan pintu mobil untuk Jea. Jea memutar bola matanya malas. “Gue bisa buka sendiri. Gak usah sok romantis deh.”

Sementara Nandra tak menghiraukannya. Setelah memastikan Jea masuk, ia menutup pintu mobilnya. Lalu berjalan ke sisi pintu yang lain dan masuk.

“Mau langsung pulang atau mau mampir ke tempat lain dulu?” Tanya Nandra. “Pulang aja,” jawab Jea dengan cuek.

Perjalanan mereka hanya diisi dengan keheningan karena mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Jea yang sibuk dengan ponselnya sementara Nandra yang fokus menyetir.

“Lo mau dijodohin gitu?” Jea menyimpan ponselnya dan menoleh ke arah Nandra. Nandra hanya mengangguk.

“Kok mau sih? Kan lo gak kenal gue,” protes Jea.

“Bunda saya kelihatan senang tadi. Perkara kenalan, bisa dilakukan seiring berjalannya waktu.” Suara lembut Nandra memasuki indera pendengaran Jea, dan itu menenangkan.

“Tapi tetep aja, gimana kalau nanti pas kita nikah lo kasar sama gue?” Tanya Jea.

“Saya bukan tipe pria yang suka kasar sama wanita. Kamu bisa pegang kata-kata saya,” jawab Nandra yakin.

Tanpa mereka sadari, mereka sudah sampai di depan rumah Jea.

“Makasih,” ujar Jea dan langsung turun dari mobil.

Ia berjalan masuk ke dalam rumahnya dan langsung berjalan menuju kamarnya. Ia memutuskan untuk membersihkan diri dulu sebelum tidur. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Nandra tadi.

“Apa gue terima aja ya?” pikir Jea.

“Tapi gue kan masih muda, gak siap urus suami apalagi anak.” Ujarnya lagi pada dirinya sendiri.

“Ah tau deh, gue pusing. Mending tidur aja.” Jea pun menyelesaikan kegiatannya dan berjalan menuju ranjangnya. Kemudian ia membaringkan tubuhnya dan menutup matanya

Akhirnya Jea dan Mamanya sampai di meja yang mereka tuju.

“Silahkan duduk, Jeng Shani.” Sebuah suara mempersilahkan Mama Shani, Mamanya Jea untuk duduk.

“Makasih loh, Jeng.” Mama Shani pun duduk di hadapan orang tadi. Jea pun ikut duduk di sebelah mamanya.

“Sebentar ya, makanannya masih dimasak.” Wanita yang usianya sama dengan Mama dari Jea pun tersenyum.

Tak lama kemudian makanan datang bersamaan dengan sosok yang membuat Jea terkejut. Jea membelalakkan matanya. “Dia koki di sini?” batin Jea.

Seolah menjawab pertanyaannya, ucapan dari mamanya pun kembali membuat Jea terkejut. “Aduh, jadi spesial ya kita dimasakin langsung sama pemiliknya.” Mama Shani tertawa. Sementara orang itu hanya tersenyum.

“Sial! Senyumnya manis banget,” pikir Jea.

“Jea, ayo kenalan dong sama Nandra,” ujar Mamanya. Jea pun menjadi kikuk.

Sementara Nandra mengulurkan tangannya “Nandra,” ujarnya sambil tersenyum.

Jea pun membalas uluran tangan Nandra “Jea,” ujarnya kaku.

Mereka pun menikmati hidangannya dalam diam. Sampai akhirnya Mama Shani pun membuka suara. “Kamu sudah menikah, Nak?” tanyanya pada Nandra.

Nandra pun menggelengkan kepalanya. “Belum, tante.” Senyuman dari Mama Shani pun mengembang.

“Gimana kalo tante jodohin sama Jea, mau gak?” Tanya Mama Shani.

Hal itu membuat Jea yang sedang meminum jus jeruknya pun tersedak. Dengan sigap Nandra membantu Jea. Ia juga memberikan tisu untuk Jea. “Mama jangan ngaco deh,” ujar Jea.

“Mama gak ngaco sayang. Bundanya Nandra juga udah setuju kok,” ujar Mama Shani.

Jea pun mengarahkan pandangannya kepada Bundanya Nandra. Bunda Nandra yang bernama Bunda Nafisya itu pun tersenyum dan mengangguk.

“Bunda setuju aja, karena menurut bunda Jea juga anak yang baik. Bunda udah pengen banget lihat Nandra berumah tangga. Bunda mau ada seseorang yang mengambil alih posisi bunda. Karena bunda gak selamanya bisa sama Nandra buat nemenin dan rawat dia,” ujar Bunda Nafisya yang berubah menjadi sendu.

“Bunda, jangan ngomong gitu.” Nandra mengelus bahu Bundanya.

Jea yang melihatnya pun terharu. Menurutnya Nandra sangat lembut, terutama dengan bundanya.

“Nandra ikut aja apa keinginan bunda,” ujar Nandra. Hal itu membuat Mama Shani dan Bunda Nafisya tersenyum.

“Gak usah buru-buru, kalian bisa kenalan dulu.” Bunda Nafisya tersenyum dan menatap Jea dengan lembut.

Nandra sudah rapi dengan penampilan semi formalnya yaitu, celana bahan berwarna abu-abu, kaus putih polos sebagai dalaman serta blazer dengan warna senada dengan celana bahannya. Dan tak lupa juga dengan sneakers berwarna putih. Ia berjalan menuju garasinya. Baru saja ia ingin memakai helmnya, bundanya sudah memanggilnya.

“Nandra,” panggil bundanya.

Nandra pun menoleh ke arah bundanya. Ia melihat bundanya mendekat ke arahnya dengan sebuah plastik besar.

“Kenapa, Bun?” Tanya Nandra.

Bundanya tersenyum. “Ini bunda tadi bikin bolu sama cookies, kamu tolong antar ke rumah Bu Shani ya.”

Nandra mengerutkan dahinya. “Bu Shani yang kemarin ke sini?” Bundanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan.

“Ok deh bun, Nandra antar dulu ya,” pamitnya sambil membawa bungkusan tadi.

Nandra berjalan ke rumah yang berada di sisi kiri rumahnya. Setelah sampai tepat di depan pintunya, Nandra menekan belnya. Tak lama kemudian keluarlah seorang gadis cantik namun dengan penampilan yang sedikit berantakan seperti orang belum mandi.

“Cari siapa?” Tanya gadis di hadapannya.

“Saya cari Bu Shani, apa ada?” balas Nandra.

Gadis di hadapannya itu pun memandangi Nandra dari atas sampai bawah. “Ini bukan pacar baru mama kan ya?” batinnya.

“Mama lagi keluar, ada perlu apa dan kamu siapa?” Jea memasang wajah galaknya.

“Oh, saya Nandra tetangga sebelah. Ini ada titipan kue dari bunda saya buat mama kamu,” ujar Nandra sembari memberikan bungkusan yang dibawanya.

Jea pun menerima bungkusan itu dan berkata “Oh, makasih ya.” Dan langsung menutup pintunya.

Nandra yang berada tepat di depan pintu yang baru saja ditutup pun mematung. “Gak sopan,” pikirnya.

Akhirnya Nandra pun kembali ke rumahnya. Bunda Nandra yang melihat Nandra kembali pun tersenyum.

“Udah, Nak?” Tanya bundanya.

Nandra hanya mengangguk dan langsung berpamitan untuk pergi ke restorannya. Hari ini dia mempunyai janji temu dengan kliennya, dan ia sudah hampir terlambat sekarang.

Kini Derian dan ketiga sahabatnya serta Denara dan juga Shanin sudah berada di tempat pertemuan mereka. Awalnya Derian hanya mengajak Jiano untuk menyelesaikan masalahnya. Namun, teman-temannya ingin ikut karena mereka tak mau Derian dan Jiano akan berakhir babak belur karena emosi masing-masing.

“Gue langsung aja. Gue tau kalo selama ini lo jalan bareng Denara dan deketin dia, No.” ujar Derian dengan sedikit amarahnya.

“Ya bagus kan, jadi gue gak perlu jelasin lagi.” Jiano tampak santai ketika mengatakannya.

Derian berdiri dari duduknya dan menarik kerah kemeja yang dikenakan Jiano. Hasbi dengan sigap menahan Derian. “Tahan dulu, Der.” Hasbi menarik tangan Derian yang menarik kerah kemeja Jiano tadi.

“Gimana gue mau tahan kalo dia aja begitu,” ujar Derian penuh emosi.

“Kamu bisa gak usah pake emosi gak sih, Der?” Kali ini Denara bersuara.

“Aku emang jalan sama Jiano tapi kita pure gak ada apa-apa. Dan kamu juga tau dari mana?” lanjut Denara.

“Gue, Na. Gue yang ngasih info soal lo ke Derian selama ini.” jawab Shanin.

Denara menatap Shanin tidak percaya. “Lo bilang ke gue kalo lo gak tau kabar Derian tapi ternyata...”

“Ini kemauan Derian, Na. Maafin gue.” Shanin mendekat ke arah Denara. Namun Denara memundurkan tubuhnya.

“Shanin gak salah, Na. Ini salah aku.” Derian menggenggam tangan Denara namun ditepis.

“Lagian selama ini Jiano deketin Denara juga maksudnya baik,” celetuk Hasbi.

“Maksud lo?” tanya Derian.

“Dia cuma mau jagain Denara dan ngehibur Denara. Dan satu alasan penting lagi...”

“Jiano sengaja bikin lo cemburu biar lo lebih giat sama usaha lo, biar lo cepat berhasil dan balik lagi sama kita.” jelas Hasbi.

Derian menatap Jiano yang tengah tersenyum. “Itu bener. Gak mungkinlah gue mau rebut Denara, Der. Ya meskipun sembari gue jalanin rencana gue, gue jatuh hati juga sama Denara..”

“Tapi tetep aja gue gak bakal nge-khianatin sahabat gue.” Jiano mendekat ke arah Derian dan menepuk pundak sahabatnya itu.

“Selamat! Usaha lo berhasil, No. Gue cemburu dan gue berhasil bangun perusahaan gue sendiri.” ujar Derian sarkas.

Jiano tergelak mendengarnya. “Berarti bisa dong gue minta saham?”

Derian menatap tajam Jiano. Lagi, Jiano tertawa melihat sahabatnya itu. “Becanda doang.”

“Nah, sekarang udah clear kan?” tanya Jeandra.

“Dih gue gak masih marah ya.” ujar Denara.

Derian pun berjalan mendekati Denara. Ia berlutut di hadapan gadis itu. Lalu ia mengeluarkan setangkai mawar. “Denara Amabella, maafin aku ya?”

Denara hanya diam. Namun itu tak membuat Derian menyerah. Ia masih setia berlutut. Hingga akhirnya Denara mengambil bunganya. “Pasti bunganya metik di jalan kan?”

“Loh kok tau sih?”

“Nih berdebu. Kebiasaan lo gak berubah, Der.” Denara masih menatap bunga pemberian Derian.

Derian terkekeh. Kemudian ia mengeluarkan sebuah kotak dan membuka kotak yang berisi cincin tersebut. “Denara Amabella, maaf udah buat kamu nunggu dua setengah tahun untuk ini. So, will you marry me?”

“Terima, Na”

“Terima lah”

Sorakan-sorakan dari teman-teman mereka terdengar. Denara menatap Derian dan cincin di hadapannya secara bergantian. Kali ini, Denara tidak bisa menahan air matanya. Kemudian ia mengangguk. Derian pun memakaikan cincin di jari manis Denara. Lalu ia berdiri dan memeluk Denara dengan erat.

“Aku gak akan kasih kamu sekedar janji, tapi aku akan selalu berusaha buat bahagiain kamu.” Derian masih memeluk Denara erat.

Sudah cukup lama sejak kejadian Jiano dan Derian yang bertengkar di grupnya. Kini, hubungan mereka pun semakin renggang. Parahnya, grup itu sudah tidak berfungsi seperti dulu.

Dan selama itu pula Denara dan Derian tidak bertukar pesan. Derian sudah tidak bisa Denara hubungi beberapa waktu terakhir ini. Dan selama itu pula Jiano mendekati Denara. Hasilnya, Denara tidak se-dingin saat awal mereka dekat.

Jiano dan Denara mulai pergi dan pulang kantor bersama. Bahkan makan siang selalu bersama. Dan tak jarang juga mereka keluar untuk sekedar menonton film, jalan-jalan atau yang lainnya.


Sementara disisi lain, Derian masih berjuang untuk mendapatkan apa yang ingin ia capai.

Ambisinya membuatnya lupa akan dunia. Ia menjadi seseorang yang workaholic. Bahkan sisi humorisnya sudah tidak terlihat lagi sekarang. Mungkin, ketika orang yang mengenalnya dari dulu akan terkejut begitu melihat perubahan Derian yang sekarang.

“Sabar, Na. Tinggal sedikit lagi agar gue bisa datang ke hadapan lo buat ngelamar. Dan gue harap lo masih nunggu gue,” ucap Derian pada dirinya sendiri.

Ia merindukan Denara. Sudah terhitung dua tahun sejak pertemuan mereka saat wisuda dulu. Dan sudah terhitung enam bulan Derian tak lagi mengirimi gadis itu pesan. Ia sengaja melakukannya agar ia bisa fokus pada apa yang ingin ia capai. Dengan begitu akan lebih cepat pula ia bisa menemui Denara.

Derian tak menyangka, selama enam bulan terakhir pendekatan Jiano terhadap Denara meningkat pesat. Derian tahu bahwa mereka sering jalan bersama, berangkat dan pulang bersama dan banyak hal lainnya.

Jam makan siang pun tiba. Kini, Denara tengah berada di dalam mobil Jiano bersama pria itu.

“Na, mau makan apa?” Tanya Jiano. Namun tak ada jawaban dari Denara.

Jiano pun menoleh ke arah Denara dan mendapati gadis itu sedang melamun. Ia pun menepuk pelan pundak gadis itu.

“Eh iya kenapa, Pak?” Denara sedikit terkejut.

Jiano pun terkekeh melihat Denara. “Kan udah gue bilang buat jangan panggil pak. Ngelamunin apa sih, Na?”

“Oh iya, maaf. Bukan apa-apa kok,” jawab Denara

“Jadi, mau makan apa?” Tanya Jiano lagi.

“Soto aja, mau gak?” Usul Denara. Jiano pun mengangguk menyetujuinya.

Akhirnya Jiano pun melajukan mobilnya menuju tempat penjual soto langganan Denara.

Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, mereka sudah sampai. Mereka pun turun dari mobil dan masuk ke warung soto tersebut.

“Lo mau pesen yang sama kayak gue atau gimana?” Tanya Denara.

“Samain aja deh.” Jiano mendudukkan dirinya. Sementara Denara pergi untuk memesan.

Setelah memesan, Denara kembali ke meja ia dan Jiano.

“Kenapa ngeliatin? Ada yang aneh?” Tanya Denara karena mendapati Jiano yang memperhatikannya terus.

Jiano hanya menggeleng lalu tersenyum sehingga membuat eye smilenya muncul. “Lo cantik, Na.”

“Ya karena gue cewek, masa ganteng.” Denara tidak terlalu menghiraukan Jiano. Ia membuka ponselnya.

Jiano pun terkekeh lagi. “Lo emang unik, Na. Pantes Derian ngejar lo sampai segitunya.”

Denara yang mendengar nama Derian pun menghentikan kegiatannya. Ia menaikkan sebelah alisnya. “Maksud lo?”

Baru saja Jiano ingin menjawab, pesanan soto mereka sudah datang. Akhirnya mereka memutuskan untuk menyantap makanan mereka dalam keheningan.

“Andai gue kenal lo lebih dulu,”