justdoyit

Ini pertama kalinya Denara meng-iyakan ajakan Jiano untuk berangkat bersamanya ke kantor. Denara bekerja di perusahaan milik orang tua Jiano sejak sebulan lalu. Dan sejak itu pula mereka mulai dekat. Jiano juga mulai menawarkan untuk mengantar jemputnya. Namun Denara menolak.

“Pake seat beltnya dulu, Na.” Jiano mendekatkan tubuhnya bermaksud untuk memasangkan seat belt Denara.

Denara yang terkejut dengan refleks memundurkan tubuhnya dan menahan bahu Jiano. “Gue..gue bisa sendiri kok, Ji”

Jiano pun tersenyum dan mengangguk. Ia pun kembali ke posisinya.

Setelah melihat Denara yang sudah selesai memakai seat beltnya, ia pun mulai melajukan mobilnya.

Sepanjang perjalanan, suasana hening. Sampai pada akhirnya Jiano membuka suara. “Gimana? Nyaman gak di kantor?”

Denara mengangguk mantap. “Nyaman kok, rekan-rekannya juga baik. Ya walaupun ada beberapa yang rese, but it's okay.”

Jiano pun mengangguk paham. “Kalo ada masalah, lo bisa bilang ke gue.”

Denara hanya mengangguk. Dan suasana kembali hening sampai pada akhirnya mereka sampai di kantor.

Jiano pun memarkirkan mobilnya di parkiran. Setelahnya, dia langsung keluar dari mobilnya dan menuju sisi mobil tempat Denara. Ia membukakan pintunya untuk Denara.

Denara tampak kikuk. “Harusnya gak perlu repot-repot, Ji. Gue bisa sendiri.”

“Gak masalah,” ujar Jiano.

“Emm.. lo duluan aja, gue mau ke warung depan dulu.” Denara menunjuk ke arah warung kelontong yang berada di depan kantornya.

Jiano pun mengangguk. “Yaudah, hati-hati.”

Jiano pun berjalan menjauh. Denara bernapas lega. Sebenarnya ia berbohong. Ia hanya tidak mau masuk ke dalam kantor bersamaan dengan Jiano yang tak lain adalah direktur perusahaan itu. Ia tidak mau nantinya malah menimbulkan gosip.

Seperti biasa, Derian dan ketiga sahabatnya sedang berkumpul di warkop abah yang sudah seperti basecamp untuk mereka.

“Jadi, setelah ini kalian bakal ngapain?” Tanya Derian.

“Kalo gue sih pulang terus tidur,” jawab Hasbi.

“Bi, mau pilih kanan apa kiri?” Derian menunjukkan tinjunya.

“Apa bedanya?” Tanya Hasbi.

“Sama aja, cuma bedanya yang kiri masuk rumah sakit lewat tangan kiri,” ujar Derian.

Jiano dan Jeandra menggelengkan kepala melihat kedua temannya yang seperti tom & jerry.

“Serius dulu ngapa, bi.”

“Ya lagian pertanyaan lu ambigu,” ujar Hasbi cuek.

“Ayo dah ribut aja kita di lapangan depan,” ajak Derian.

Jiano tertawa melihat keduanya. “Kalo gue sih paling kerja di kantor bokap.”

“Gue juga,” sahut Jeandra.

Derian mengangguk paham. Kemudian ia melihat ke arah Hasbi.

“Gue udah dapet rekomendasi dari bang Yogi sih buat ngelamar di kantor dia kerja,” ujar Hasbi.

“Lo sendiri gimana, Der?” Tanya Jeandra.

“Gue masih gak tau,” jawab Derian.

“Tapi gue udah ada rencana sih dan kemungkinan bakalan gak di Jakarta,” tambah Derian.

“Kenapa?” Tanya Jeandra lagi.

“Gue belum bisa kasih tau alasan pastinya,” jawab Derian

Ketiga sahabatnya mengangguk paham.

“Apapun keputusan lo, kita bakal dukung. Dan kalo lo butuh bantuan, bilang ke kita” ujar Jiano.

Derian pun tersenyum dan mengangguk. Rasanya ia sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena sudah diberikan sahabat yang baik seperti Jiano, Jeandra dan Hasbi. Walaupun Hasbi sering membuatnya kesal, tapi Hasbi sangat baik dengan caranya sendiri.

Setelah melewati masa-masa sulit. Akhirnya hari yang ditunggu para mahasiswa akhir pun tiba, yaitu wisuda kelulusan.

“Lo gak mau ngucapin selamat sama kasih hadiah gitu ke Denara?” Tanya Hasbi.

“Ngasih apaan ya? Lagi gak ada duit gue buat beli bunga,” jawab Derian.

“Gue pinjemin duit dah, beli gih.” Jiano mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah.

“Gak, masa gue mau ngasih bunga ke doi pake duit lu.” Derian tidak menerima uang Jiano.

Ia melihat ke sekelilingnya. Tiba-tiba saja sebuah ide melintas dipikirannya. “Lu pada tunggu sini ya.”

Derian pun pergi dengan senyumannya.

“Kata gue sih ini anak kelakuannya bakal aneh-aneh lagi,” ujar Hasbi. Sementara Jeandra dan Jiano pun mengangguk setuju.

Tak lama Derian muncul dengan setangkai bunga mawar merah di tangannya.

“Nyuri di mana lo?” Tanya Hasbi.

“Sembarangan ya omongan lu, Bi.” Derian memukul lengan sahabatnya itu.

“Tapi bener sih, gue metik dari situ tuh.” Derian menunjuk ke arah tempatnya memetik bunga.

“Kan apa gue bilang. Ada aja tingkah ajaibnya,” ujar Hasbi yang sudah hafal dengan tingkah sahabatnya.

“Yaudah buruan samperin Denara,” ujar Jeandra.

Derian pun merapikan rambutnya. “Udah ganteng belum?” Tanyanya

“Udah, tapi tetep gantengan gue,” kata Hasbi.

Derian mendengus lalu pergi dari sana.


Derian pun melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Denara yang sedang asik berfoto bersama teman-temannya.

“Ekhem... Denara,” panggil Derian.

Denara yang merasa dirinya dipanggil pun menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah Derian.

“Boleh ikut gue sebentar gak?” Pinta Derian. Denara pun mengangguk.

Derian mengambil tangan Denara untuk ia genggam lalu menariknya untuk ikut bersamanya. Kali ini Denara tak protes sama sekali.

Derian membawa Denara ke area kampus yang lebih sepi.

“Mau ngomong apa?” Tanya Denara

“Selamat ya atas kelulusannya.” Derian memberikan setangkai bunga mawar yang dipetiknya tadi.

Denara pun menerimanya lalu tersenyum. “Makasih.”

Derian tertegun melihat Denara yang tersenyum kepadanya untuk pertama kali.

“Gila! Senyuman lo bikin jantung gue pindah ke perut, Na.” Derian memegangi dadanya yang berdebar kencang.

Denara pun tertawa mendengar Derian.

“Ya ampun pake ketawa lagi. Bikin gue makin jatuh cinta aja,” ujar Derian.

“Gombal mulu lo,” ujar Denara.

“Kan sekarang udah lulus, jadi boleh dong gombal.” Derian mengedipkan sebelah matanya.

Denara pun memutar bola matanya malas. Tiba-tiba saja Derian mempersempit jarak diantara mereka. Derian menggenggam tangan Denara sambil menatap matanya.

“Na, gue suka sama lo. Tapi gue gak akan minta lo jadi pacar gue,” ujar Derian menggantung.

Denara pun mengerutkan alisnya. Ia bingung dengan maksud perkataan Derian.

“Gue cuma mau minta lo buat sabar nunggu gue. Beberapa tahun lagi, gue bakal balik ke hadapan lo buat lamar lo, Na.” Derian menatap mata Denara semakin dalam.

“Seperti janji gue, gue bakal sukses dulu baru gue berani lamar lo. Gue mau hidup lo nanti terjamin sama gue, Na.”

“Gue mungkin masih gak bisa janjiin berapa lama waktu yang gue butuhin buat sukses. Tapi gue bisa pastiin kalo gue bakalan sukses dan datang buat lo, Na.”

“Kalau pun pada akhirnya gue membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk itu dan lo udah gak bisa nunggu gue. Lo boleh deket sama orang lain, Na. Tapi maaf, ketika gue balik lagi. Gue bakal rebut lo dari orang itu.”

“Mungkin terdengar egois, tapi gue mau berusaha sebisa gue sampai akhir. Sampai gue bener-bener gak ada harapan lagi. Jadi, lo mau kan nunggu gue?” Tanya Derian mengakhiri semua kata-katanya.

Denara sudah berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyangka kalau Derian akan menganggap serius omongannya. “Iya, gue mau.”

Derian tampak sangat senang. “Aduh! Gimana ya ngomongnya... Ini boleh izin meluk gak Na?”

Denara tertawa melihat tingkah Derian. Ia pun mengangguk sebagai tanda bahwa mengizinkan Derian untuk memeluknya.

Akhirnya Derian pun memeluk Denara dengan erat.

Selama beberapa bulan terakhir, baik Denara maupun Derian sibuk dengan kegiatan skripsi dan juga kerja. Sudah selama itu pula Derian tidak lagi mengirimi pesan kepada Denara. Entah hanya pesan menanyakan kabar maupun pesan gombalan seperti yang selalu dia lakukan dulu.

Sementara Denara mulai merasa ada yang hilang semenjak Derian tak mengiriminya pesan lagi. Bahkan tidak melihat Derian lagi selama di kampus.

“Lo tuh kangen kan sama dia, Na?” tanya Shanin.

Kini, Denara dan Shanin sedang berada di cafe. Pengunjung cafe siang itu tidak terlalu ramai sehingga mereka bisa mengobrol.

“Nggak, gue gak kangen.” Denara menyibukkan dirinya dengan menghitung uang.

“Dasar gengsi,” ujar Shanin lalu pergi dari sana.

Sementara Denara terdiam memikirkan perkataan Shanin. “Masa sih?” tanya nya pada dirinya.

Dia langsung menggelengkan kepalanya. “Gak mungkin lah. Iya pasti gak mungkin. Pasti gue cuma ngerasa aneh aja karena tiba-tiba gak diganggu,” ujarnya untuk meyakinkan dirinya.

Shanin yang melihat kelakuan sahabatnya dari kejauhan pun hanya menggelengkan kepalanya. Menurutnya, Denara terlalu gengsi hanya untuk sekedar mengaku bahwa dia mulai menyukai Derian dan merindukan pria itu.

Setelah memarkirkan motornya, Derian terburu-buru untuk menuju ke ruangan papanya. Setelah sampai di depan ruangan papanya, ia melihat ada banyak perawat dan juga dokter.

“Ini kenapa?” tanya Derian kepada ketiga sahabatnya yang berada di depan ruangan itu.

Belum sempat Jeandra menjawab, dokter keluar dari sana dan berkata bahwa papanya baru saja menghembuskan napas terakhirnya.

Derian melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar itu. Pandangannya menuju tempat papanya terbaring. Ia bisa melihat sudah tidak ada lagi alat yang berada di tubuh papanya.

“Sekarang papa gak perlu rasain sakit, Pa.” Derian menggenggam tangan papanya dan mengelusnya.

“Maafin Derian yang belum bisa jadi seperti yang papa mau,” tambahnya.

Ponselnya tiba-tiba saja berdering. Derian pun mengangkatnya. Mendengar kabar bahwa perusahaan papanya ternyata bangkrut membuat tubuh Derian meluruh dan duduk bersimpuh di lantai rumah sakit. Pandangannya kosong dengan ponsel yang masih ia genggam.

“Der..” Jiano membantu Derian untuk bangkit.

“Der, kita bakal selalu ada di sini buat lo.” Jeandra memeluk Derian. Hasbi dan Jiano pun melakukan hal yang sama untuk menguatkan Derian.

“Sekarang gue ga punya apa-apa,” lirih Derian.

“Gak, lo masih punya kita. Kita bakal selalu di sini. Kita bakal selalu berjalan bersama,” ujar Jeandra.

Dan pada akhirnya, siap atau tidak Derian harus menerima apa yang sudah ditakdirkan. Tanpa disadari, ia baru saja membuat tekad baru untuk keberlangsungan hidupnya kedepan.

Pukul 19.55 Derian sudah sampai di cafe tempat Denara bekerja. Derian memarkirkan motornya lalu masuk ke dalam cafe. Ia melihat Denara yang berada di balik meja kasir. Ia pun mengembangkan senyumnya.

Denara melihat Derian yang baru saja masuk pun berkata, “Tunggu, gue ambil tas dulu.”

Derian hanya mengangguk.

Tak lama kemudian Denara datang. Mereka memutuskan untuk langsung pergi dari cafe.

“Lo mau bawa gue kemana?” tanya Denara.

“Makan, kebetulan gue belum makan. Gapapa kan?”

“Iya”


Mereka pun sampai di salah satu tempat makan. Derian memarkirkan motornya.

“Turun, Na”

“Bentar dulu, ini helmnya susah dibuka.” Denara masih sibuk membuka helmnya.

“Turun dulu! gue yang bukain,” ujar Derian.

Denara pun turun dari motor sembari terus mencoba untuk membuka helmnya. Derian pun menarik lembut lengan Denara agar mendekat. Pria itu memegang tangan Denara. Hal itu membuat Denara menghentikan kegiatannya dan terdiam sambil menatap Derian. Sementara pria itu fokus untuk membantu Denara membuka helmnya.

“Udah nih,” ujar Derian.

Derian menaikkan pandangannya dan pada saat itu pula pandangan mereka bertemu. Untuk beberapa detik mereka saling menatap sampai akhirnya Denara memutus kontak mata.

“Ayo! Gue laper,” ujar Denara canggung.

Denara pun berjalan mendahului Derian. Pria itu masih dia sambil tersenyum senang. Akhirnya ia pun mengikuti Denara untuk masuk.

Derian baru saja selesai mandi di kamar mandi rumah sakit, bertepatan dengan itu pula Denara memasuki ruang rawat papa Derian.

“Lo belum sarapan kan?” tanya Denara dan Derian menggeleng.

“Nih gue bawain bubur” ujar Denara.

Derian mendekat ke arah Denara sambil tersenyum.

“Gausah senyum gitu, senyum lu kayak orang mesum” Denara menjauhi Derian dan berjalan menuju sofa.

Derian mengikuti Denara, ia memperhatikan gadis itu yang sangat cekatan menyiapkan sarapannya.

“Ngapain bengong? Makan”

Derian pun menurut, ia mengambil buburnya dan mulai menyuapkan bubur itu ke mulutnya.

“Na, kok lo baik sih? Jangan-jangan...” Derian menggantungkan ucapannya.

“Lo udah mulai suka ama gue ya?”

Denara memutar bola matanya malas. “Ngimpi.”

Derian menghentikan kegiatan makannya. “Jangan baik sama gue karena cuma kasihan ya, Na. Gue gak mau dikasihani.”

Derian pun mengambil tas ransel dan jaketnya. “Gue pergi dulu, makasih buburnya.”

Denara hanya bisa menatap kepergian Derian dengan heran.

“Padahal gue ngelakuinnya tulus.” ucap Denara pelan pada dirinya.

Ia pun menghendikkan bahunya acuh, menurutnya Derian itu aneh. Kadang bisa manis dan bisa seperti ini juga. Akhirnya Denara memutuskan untuk membereskan sisa makanan Derian.

Semenjak kejadian Shanin diusir dari rumahnya, Mahardika selalu ada untuk Shanin. Bahkan dengan rutin Mahardika berkunjung ke kosan Shanin entah hanya untuk mengecek keadaannya, mengantarkan makanan atau hanya sekedar mengobrol.

Hari-hari Shanin semakin membaik sampai pada hari itu tiba. Hari dimana Mahardika harus mengucapkan kata perpisahan karena Mahardika harus menuruti keinginan orang tuanya, yaitu melanjutkan studinya di Amerika Serikat.

Shanin merasa dunianya berhenti untuk sesaat karena orang yang dia harapkan untuk selalu ada di sampingnya akan pergi. Namun Mahardika mencoba meyakinkan Shanin. Mahardika mengatakan bahwa Shanin masih punya Denara dan juga teman-teman Mahardika yang siap membantu Mahardika jika Shanin membutuhkannya. Mahardika juga ingin Shanin berjanji untuk tetap mengejar mimpinya dan menjadi sukses walau Mahardika tidak bisa berada disamping Shanin.


Hari itu tiba, hari dimana Shanin bisa membuktikan bahwa ia bisa sukses. Ia sekarang sudah menjadi seorang audit keuangan yang bisa di salah satu perusahaan besar.

Shanin sangat ingin menghubungi Mahardika dan memberitahu pria itu bahwa sekarang dirinya sudah meraih mimpinya. Namun, setahun belakangan nomor ponsel Mahardika sudah tidak bisa dihubungi.

“Dika... gue kangen lo.”

“Andai lo di sini, lo pasti ikut seneng ngeliat gue yang udah bisa raih mimpi gue.”

“Gue gak akan pernah lupain semua kebaikan lo, Ka”

“Terima kasih Tuhan karena sudah mengirimkan sosok Mahardika di hidupku.”

“Teruslah kejar mimpimu walaupun ada seribu rintangan dihadapanmu.”

Sejak tadi Derian bolak-balik melihat jam tangannya. Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB. Namun, belum ada tanda-tanda kemunculan Denara.

“Apa dia gak jadi datang ya?” tanyanya pada dirinya sendiri

Dan tak lama kemudian sosok Denara berjalan di koridor rumah sakit. Derian yang melihatnya pun langsung berdiri dengan senyum mengembang.

“Malam cantik” sapa Derian

“Gimana keadaan papa lo?” tanya Denara.

Derian berjalan ke arah pintu kamar rawat papanya dan membukanya. Derian mempersilahkan Denara untuk masuk. Denara melihat sosok papa Derian yang terbaring dengan perban di kepalanya dan lehernya yang di gips. Keadaannya cukup mengerikan.

“Kecelakaannya parah ya?”

Derian hanya mengangguk. Lalu duduk di sofa yang tak jauh dari ranjang tempat papanya berbaring. Denara pun duduk di sebelah Derian.

“Lo sendiri, Der?”

Lagi-lagi Derian mengangguk. “Mama gue gak bisa jenguk”

Denara mengerutkan dahinya, ia heran dengan jawaban Derian.

Derian menghela napas berat. “Orang tua gue cerai sejak gue kelas 3 SMP. Setahun kemudian mama gue nikah lagi dengan orang kaya. Tapi orang itu selalu ngelarang mama gue buat ketemu atau ngasih uang ke gue. Jadi ya gitu deh”

Denara mengangguk paham. “Sorry ya, gak seharusnya gue nanya”

“Hahah... Santai aja, Na”

“Oh iya, tadi ke sini naik apa?” tanya Derian untuk mengalihkan pembicaraan

“Naik motor”

Derian hanya mengangguk. Ia menatap Denara sambil tersenyum.

“Ngapain lo liatin gue kayak gitu?” Denara mendelik.

“Cantik.”

Denara hanya mendengus.

“Makasih, Na”

“Buat?”

“Buat nyempetin datang ke sini padahal gue tau lo pasti capek abis kerja.” jelas Derian

“Gak masalah.”

Keduanya hening, nyali Derian tiba-tiba menciut ketika sudah berada dekat dengan Denara.

“Na, udah makan belum?” Derian membuka suaranya

“Udah, lo?”

Derian hanya menggelengkan kepalanya. “Gue gak sempet makan seharian ini. Dari pagi gue di sini jagain papa, gue gak bisa ninggalin dia sendirian. Tadi juga gue tinggal ngeband karena tante gue ke sini.”

“Yaudah, lo makan dulu aja. Gue yang jagain papa lo.” ujar Denara.

“Gak deh, gue gak laper.” tolak Derian.

Denara menatap tajam Derian. “Gak laper tapi lo udah pucat. Makan sekarang.”

“Serem banget, Na”

“Yaudah, gue makan dulu ya. Makasih cantik. Saranghae.” ujar Derian yang berjalan menjauh namun masih sempat memberikan finger heart.

Derian sudah sepenuhnya hilang dari pandangan Denara. Denara tersenyum mengingat kelakuan Derian barusan.

“Ternyata, dibalik sisi humoris Derian dia punya banyak luka.” ujar Denara pada dirinya.

Malam itu, Denara menyadari sisi lain seorang Derian yang selama ini terlihat humoris dan terlihat seperti tak memiliki beban.

“Dia menyembunyikan lukanya dengan tawa.”

Sejak tadi Derian bolak-balik melihat jam tangannya. Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB. Namun, belum ada tanda-tanda kemunculan Denara.

“Apa dia gak jadi datang ya?” tanyanya pada dirinya sendiri

Dan tak lama kemudian sosok Denara berjalan di koridor rumah sakit. Derian yang melihatnya pun langsung berdiri dengan senyum mengembang.

“Malam cantik” sapa Derian

“Gimana keadaan papa lo?” tanya Denara.

Derian berjalan ke arah pintu kamar rawat papanya dan membukanya. Derian mempersilahkan Denara untuk masuk. Denara melihat sosok papa Derian yang terbaring dengan perban di kepalanya dan lehernya yang di gips. Keadaannya cukup mengerikan.

“Kecelakaannya parah ya?”

Derian hanya mengangguk. Lalu duduk di sofa yang tak jauh dari ranjang tempat papanya berbaring. Denara pun duduk di sebelah Derian.

“Lo sendiri, Der?”

Lagi-lagi Derian mengangguk. “Mama gue gak bisa jenguk”

Denara mengerutkan dahinya, ia heran dengan jawaban Derian.

Derian menghela napas berat. “Orang tua gue cerai sejak gue kelas 3 SMP. Setahun kemudian mama gue nikah lagi dengan orang kaya. Tapi orang itu selalu ngelarang mama gue buat ketemu atau ngasih uang ke gue. Jadi ya gitu deh”

Denara mengangguk paham. “Sorry ya, gak seharusnya gue nanya”

“Hahah... Santai aja, Na”

“Oh iya, tadi ke sini naik apa?” tanya Derian untuk mengalihkan pembicaraan

“Naik motor”

Derian hanya mengangguk. Ia menatap Denara sambil tersenyum.

“Ngapain lo liatin gue kayak gitu?” Denara mendelik.

“Cantik.”

Denara hanya mendengus.

“Makasih, Na”

“Buat?”

“Buat nyempetin datang ke sini padahal gue tau lo pasti capek abis kerja.” jelas Derian

“Gak masalah.”

Keduanya hening, nyali Derian tiba-tiba menciut ketika sudah berada dekat dengan Denara.

“Na, udah makan belum?” Derian membuka suaranya

“Udah, lo?”

Derian hanya menggelengkan kepalanya. “Gue gak sempet makan seharian ini. Dari pagi gue di sini jagain papa, gue gak bisa ninggalin dia sendirian. Tadi juga gue tinggal ngeband karena tante gue ke sini.”

“Yaudah, lo makan dulu aja. Gue yang jagain papa lo.” ujar Denara.

“Gak deh, gue gak laper.” tolak Derian.

Denara menatap tajam Derian. “Gak laper tapi lo udah pucat. Makan sekarang.”

“Serem banget, Na”

“Yaudah, gue makan dulu ya. Makasih cantik. Saranghae.” ujar Derian yang berjalan menjauh namun masih sempat memberikan finger heart.

Derian sudah sepenuhnya hilang dari pandangan Denara. Denara tersenyum mengingat kelakuan Derian barusan.

“Ternyata, dibalik sisi humoris Derian dia punya banyak luka.” ujar Denara pada dirinya.

Malam itu, Denara menyadari sisi lain seorang Derian yang selama ini terlihat humoris dan terlihat seperti tak memiliki beban.

“Dia menyembunyikan lukanya dengan tawa.”