justdoyit

— Bagian 22

Mahardika sedang menunggu teman-temannya. Matanya menatap jalanan di depan cafe yang masih ramai oleh kendaraan, namun pikirannya entah kemana. Ia memikirkan apa yang ia dengar di rumah Shanin tadi. Mungkin ini bukanlah kali pertama ia mendengar omelan ibu Shanin, namun kali ini semakin parah.

“Woy, ngelamun aja lo, Dik” seseorang menepuk bahunya.

Mahardika pun membuyarkan lamunannya dan menatap teman-temannya yang sudah berada di hadapannya.

“Kali ini ada masalah apa?” tanya Jiano yang langsung meminum kopi yang sudah dipesankan Mahardika.

“Paling ga jauh dari Shanin” tebak Derian. Mahardika pun mengangguk.

“Shanin kenapa?” kali ini Hasbi yang bersuara

Mahardika menghela napasnya berat. “Gue tadi nganterin Shanin pulang, dan gue denger Shanin diomelin”

“Bukannya udah biasa ya?” tanya Derian

“Iya, tapi kali ini beda. Sekarang gue paham kenapa Shanin ngotot banget buat cari double job” Mahardika mengusap wajahnya.

“Double job? Bukannya itu bakalan berat ya? Apalagi dia kuliah juga” Jiano pun mulai tertarik dengan pembicaraan ini

“Itu dia yang gue pikirin. Tapi ini semua emang tuntutan dari ibunya” ujar Mahardika.

“Yaudah kalo gitu lo kasih aja Shanin duit” usul Derian.

“Ga semudah itu, Shanin mana mau nerima uang cuma-cuma” ujar Mahardika.

“Udah jangan dipusingin, nanti kita-kita juga bakal bantu cari kerjaan yang ga terlalu berat” ujar Jiano. Mahardika menatap Jiano lalu tersenyum.

“Emang the best dah lo, Ji” Mahardika menepuk lengan Jiano.

“Nah udah kan, sekarang mari makan!” Seru Hasbi sembari mulai memakan kue yang ada di hadapannya.

Seperti biasa, malam itu mereka habiskan dengan obrolan, canda dan bernyanyi bersama. Tentunya diiringi gitar yang dimainkan oleh Mahardika.

— Bagian 19

Hari sudah malam dan jam menunjukkan pukul 8 malam. Shanin baru sampai di rumahnya.

“Makasih ya, Ka” ujar Shanin setelah turun dari motor Mahardika.

“Sama-sama, Shan. Yaudah masuk gih” ujar Dirga

Shanin menggeleng. “Gue liatin sampe lo pergi aja dulu”

“Nggak, Shan. Lo masuk aja” pinta Mahardika. Shanin pun mengalan dan masuk ke dalam rumahnya.

Baru saja Shanin menutup pintu rumahnya, ia sudah mendengar suara sang ibu dibelakangnya.

“Bagus, katanya cari kerja tapi malah pacaran. Pulang malam pula” ujar ibu Shanin.

“Shanin emang habis cari kerja kok bu” ujar Shanin seraya menunduk dan meremas kantong belanjaan di tangannya.

Ibunya pun mendekat. “Mana duitnya kalo gitu”

“Itu.. Shanin baru mulai kerja besok, jadi belum ada uang bu” lirih Shanin

“Terus ini dari mana?” Ibu Shanin merebut belanjaan yang Shanin genggam dan melemparnya ke lantai.

“Itu pake uang tabungan Shanin, bu” Shanin masih setia menundukkan kepalanya.

“Kan sudah saya bilang untuk ga usah kuliah. Harusnya uang itu bisa dipakai buat keperluan Nara” bentak ibunya.

Shanin sedikit tersentak dan hanya diam.

“Saya ga mau tau, kamu harus tepati omongan kamu tempo hari” ibunya pun mulai pergi meninggalkan Shanin yang kini tengah berlutut untuk memunguti barang belanjaannya yang berserakan.

Sementara di luar sana, Mahardika mendengar semuanya.

— Bagian 17

Mahardika dan Shanin masuk ke dalam cafe.

“Bang!” panggil Mahardika kepada pria yang berdiri di balik meja kasir.

Pria itu mendongakkan kepalanya dan tersenyum.

“Yoo, Dika” sapa pria dengan perawakan tinggi dan tampan itu.

“Udah lama ga ketemu” Mahardika dan pria itu bersalaman ala pria.

“Lo nya sombong sih, Dik” canda pria itu.

Mahardika hanya tertawa kecil. “Oh iya, ini Shanin yang gue ceritain di chat tadi” Mahardika memperkenalkan Shanin yang sejak tadi diam disampingnya.

“Hi, Shanin. Gue Dirga, sepupunya Mahardika” pria bernama Dirga itu pun mengulurkan tangannya dan tersenyum.

Shanin membalas uluran tangan pria itu dan menjabatnya. “Shanin, Kak”

“Kata Dika lo butuh part time ya?” tanya Dirga. Shanin pun mengangguk. Dan mereka pun melepaskan jabatan tangan tadi.

“Lo bisa kerja mulai besok, Shan. Untuk jam kerja bisa nyesuain sama jam kuliah lo nanti kok” ujar Dirga.

“Serius langsung diterima, Kak? Ga ada tes atau yang lainnya?” tanya Shanin yang cukup terkejut karena Dirga menerimanya dengan mudah.

Dirga pun tertawa. “Santai aja, Shan. Lo kan kenalannya si Dika, jadi gue percaya”

Shanin pun mengangguk dan tersenyum.

“Soal gaji, besok kita omongin lagi sekalian kontraknya ya” ujar Dika

Lagi-lagi Shanin hanya mengangguk.

“Yaudah bang, kita pamit ya. Besok kita dateng lagi” pamit Mahardika.

“Ga mau duduk dulu sambil ngopi sama makan gitu?” tawar Dirga.

Mahardika pun menggeleng. “Lain kali aja bang, sekarang masih ada keperluan lain”

“Yaudah, hati-hati” ujar Dirga.

Shanin dan Mahardika pun pamit lalu meninggalkan cafe tersebut. Sekarang tujuan mereka adalah mencari kebutuhan yang diperlukan untuk masuk kuliah mereka.

— Bagian 16

Setelah selesai sarapan, Shanin dan Mahardika pergi menuju cafe dekat kampus mereka untuk Shanin melamar part time.

“Shan” panggil Mahardika sedikit keras agar Shanin bisa mendengarnya.

“Apa?” Shanin sedikit memajukan kepalanya agar bisa mendengar Mahardika.

“Maaf ya tadi gue kayaknya kebawa kesel” sesal Mahardika.

Shanin tersenyum. “Gapapa, Ka. Lo bener kok, cuma gue juga ga ada pilihan lain lagi”

“Gue janji, Shan. Gue bakalan bantuin cari kerja buat lo, pokoknya gue bakal bantu apapun yang lo butuhin” ujar Mahardika.

Lagi-lagi Shanin hanya tersenyum. Ia merasa sangat bersyukur karena disaat dunia jahat terhadapnya, masih ada Mahardika di sana. Pria yang selalu membantunya sejak duduk dibangku SMA.

Shanin dan Mahardika sampai di sebuah tempat makan. Shanin pun turun dari motor, begitu juga dengan Mahardika.

“Di sini aja gapapa kan?” tanya Mahardika. Shanin pun mengangguk.

Mereka pun berjalan masuk ke dalam. Pagi itu suasana cukup ramai dan hanya tersisa meja di bagian pojok ruangan. Mereka pun akhirnya duduk di sana. Setelah memesan makanan, mereka pun mengobrol sambil menunggu pesanannya datang.

“Shan, lo udah ada rencana tempat buat lo kerja?” tanya Mahardika. Shanin pun menggelengkan kepalanya.

“Gue gatau, Ka” ujar Shanin sembari menghembuskan napasnya berat.

“Hmm gue ada kenalan sih di cafe deket kampus kita nanti, mau coba gue rekomendasiin buat masuk situ ga?” tanya Mahardika

“Duh gimana ya, Ka. Gue gamau repotin lo terus” jawab Shanin. Mahardika pun tersenyum.

“Santai, Shan. Nanti gue rekomen ya” ujar Mahardika final. Shanin pun mengangguk pasrah.

“Tapi gue rasa gue butuh tambahan pekerjaan lagi” ujar Shanin. Mahardika mengerutkan dahinya dan menatap Shanin.

“Lo gila, Shan? Kalo kebanyakan kerjaan lo bisa kecapekan. Belum lagi nanti kuliah dan organisasi lo” Mahardika menatap Shanin intens. Dia mencemaskan gadis itu.

“Gue tau, tapi ya emang harus. Soalnya kalo gajinya sedikit ibu bakal marah. Soal organisasi, gue ga bakal ikut apa-apa kayaknya” Shanin mengalihkan pandangannya ke luar tempat makan tersebut.

“Shan, lo ga bisa gini terus. Kenapa lo ga pergi aja dari rumah lo?” Mahardika mulai kesal mendengarnya.

“Ga bisa, gimana pun juga ibu udah rawat gue selama ini. Gue harus bahagiain dia dulu” ujar Shanin

Baru saja Mahardika ingin berbicara, namun sudah terpotong dengan pelayan yang membawakan makanan mereka. Akhirnya mereka makan dalam diam, terhanyut oleh pikirannya masing-masing.

Shanin pun keluar dari rumahnya dan mendapati Mahardika yang berdiri di dekat motornya sambil tersenyum. Shanin pun menghampiri Mahardika.

“Udah sarapan belum?” tanya Mahardika. Shanin hanya menggelengkan kepalanya.

“Kebiasaan lo, Shan. Yaudah kita cari makan dulu” ujar Mahardika.

Shanin hanya mengangguk dan segera memakai helm lalu naik ke motor.

“Pegangan dong!” pinta Mahardika

Shanin pun menuruti perkataan Mahardika. Ia memegang jaket levis yang dikenakan pria itu. Tanpa disangka Mahardika menarik tangan Shanin untuk memeluknya.

“Biar aman, Shan” ujar Mahardika seraya tersenyum. Shanin pun menurut saja.

Terlihat dua orang muda mudi sedang bersenda gurau sampai pada akhirnya sesuatu menginterupsi mereka.

“Kenapa, Shan?” Tanya Mahardika

“Gue harus balik, Ka. Gue lupa belum masak buat Nara” jawab Shanin.

“Emang Nara gak bisa masak sendiri?” Tanya Mahardika lagi. Shanin hanya menggeleng.

“Tolong anterin gue ya, Ka” pinta Shanin. Mahardika hanya mengangguk dan bangkit dari duduknya. Ia mengulurkan tangannya bermaksud untuk membantu Shanin berdiri. Shanin menerima uluran tangan Mahardika dan berdiri.

Mereka berjalan ke tempat Mahardika memarkirkan motornya.

“Pake, shan.” ujar Mahardika sambil memberikan helm pada Shanin. Shanin menerimanya dan langsung memakainya.

“Ayo naik!” ujar Mahardika. Shanin pun mengagguk dan naik ke motor.

Selama perjalanan mereka hanya diam. Mahardika melihat Shanin dari kaca spion motornya. Ia melihat wajah gusar Shanin. Dan ia pun menambah kecepatan laju motornya.